'Rasa ini membunuhku
Rasa ini menyakitiku
Fisik sempurna tak ayal
Jika jiwa terluka. '.....
"Baik anak-anak. Dikarenakan besok adalah hari ibu, maka pihak sekolah akan menyelenggarakan sebuah acara yang didedikasikan untuk peringatan hari ibu. Masing-masing kelas wajib memberikan perwakilan untuk di persembahkan saat acara. Setiap siswa-siswi yang berpartisipasi boleh mempersembahkan apapun selama itu berkaitan dengan tema yang di ambil. "
Besok hari ibu, itu terasa tak asing. Thana kini ingat, dalam plot aslinya, Cecil terpilih sebagai perwakilan Kelas bersama 2 orang lainnya berdasarkan undian.
Semua itu karena tak ada satupun anak kelas yang memiliki minat untuk berpartisipasi di dalamnya. Pak Wira, selaku wali kelas, sudah mengetahui tabiat siswa-siswi nya memilih jalan tengah, yaitu dengan undian.
Setelah pengumuman, Pak Wira membuat sebuah undian. Masing-masing nama siswa penghuni kelas di tuliskan dalam kertas kecil oleh sekretaris kelas yang kemudian di gulung-gulung kecil. Setelah semua nama sudah di tuliskan dan membentuk gulungan kecil, kertas itu di masukkan ke dalam sebuah gelas.
Seperti kocokan arisan, itu berlaku dalam undian kelas. Kertas pertama yang keluar berisi nama seorang siswa di kelas. Pak wira bertanya mengenai apa yang akan ditunjukkannya nanti. Ia menjawab belum memikirkannya.
Pak Wira tak mempermasalahkannya, Ia meminta untuk memikirkannya selagi undian terus berlanjut.
Kertas kedua keluar sedikit lebih lama. Nama seorang siswi keluar. Seperti siswa tadi, Pak Wira bertanya mengenai apa yang akan ia tampilkan. Jawabannya pun sama. Siswi itu sama-sama belum memikirkan apa yang akan di tampilkannya.
Tapi, segera setelah Pak Wira bertanya mengenai keahlian gitar yang dimiliki siswa tadi, mereka sepakat untuk mempersembahkan sebuah lagu dalam acara itu.
Kini tersisa satu nama lagi yang akan di undi. Pak Wira mulai mengocok kembali undian, kini nama seorang siswi yang keluar lagi.
Dan, sepertinya plot berjalan tanpa kendala. Nama Cecil keluar setelah 2 orang lainnya terpilih.
Di dalam novel, Cecil menampilkan sebuah puisi dalam acara itu. Tapi, acara menjadi kacau begitu ia mulai membuka suara untuk membacakan puisi yang di tulisnya.
Puisi yang di bawakannya tidaklah bagus. Ia seperti membuatnya dengan asal. Tapi, itu bukanlah intinya. Permasalahan sebenarnya terletak pada apa yang di bacanya dan pada siapa puisi itu di tujukan.
Seperti curahan hati seorang gadis, ia membacakannya dengan sembrono kepada lelaki idamannya, Aldy.
Pihak sekolah merasa malu atas kejadian itu. Berbeda dengan para orang tua yang merasa terhina sekaligus terhibur dengan apa yang dibawakannya.
Tapi, kini yang menempati tubuh ini adalah Thana, bukan Cecil. Disini, Thana ingin menunjukkan sesuatu. Sesuatu yang sudah lama ia dambakan untuk bisa terlaksana.
Thana beryukur atas ini. Hari pementasan akan diadakan 2 hari lagi. Tepat di hari sabtu, ia akan membawakannya. Membawa keinginannya untuk mengucapkan dengan penuh penghayatan atas apa yang di bacanya.
Tak sabar dengan itu, Thana melengkungkan bibir dengan hangat. Tangannya saling terjalin untuk menekan perasaan meletup-letup yang menyenangkan.
Di bawah tatapan banyak orang, ia menstabilkan emosinya. Tidak, ia tak boleh memperlihatkan emosinya. Ia akan membuat kejutan untuk semua.
Tidak hanya para orang tua, ia ingin semua melihat talentanya. Ia ingin di lihat dari sudut pandang berbeda. Ia ingin mereka tahu, jika ia juga memiliki sisi yang sama dengan mereka.
Melalui goresan tinta pada kertas, ia menuangkan semua rangkaian kata yang tak bisa keluar dari bibirnya.
Tangannya mengambil alih atas tugas bibir yang terbungkam diam. Dengan jemari lentik yang menggenggam pena, bibirnya menarik garis tipis di sudut perpustakaan.
Keadaan disini sangat cocok untuknya menemukan inspirasi atas semua yang akan ia persembahkan.
Bagian pojok adalah yang terbaik dari semuanya. Ia tak perlu terganggu dengan penghuni lainnya yang mungkin akan menatap bingung ke arahnya.
Meski ia tak perduli sekalipun, hal itu kadang bisa membuatnya risih jika terus berlanjut.
Dengan jendela sebagai penerangan alami, ia menggerakkan tangan tanpa kesulitan. Kertas di didepannya terpenuhi dengan kata-kata yang indah terbentuk.
Selesai, ia menggosok ujung pulpen yang dipegangnya ke dagu dengan mata yang menelusuri kata-kata di atas kertas.
Senyum kembali terlihat di bibir tipisnya saat semua sesuai dengan harapannya. Pandangannya teralihkan ke jendela. Menatap pepohonan tinggi diluar.
Terdapat burung kecil di sana. Dia sendirian, dengan menatap ke arahnya dengan lugu.
Perasaan ini, ia merasa akrab dengannya. Melihat burung itu sendiri di tangkai pohon yang lebat mengingatkannya akan dirinya kini.
Di tengah keramaian dunia, ia merasa sendiri. Semua berjalan tanpa kehendaknya, tapi ia tidak di perbolehkan untuk begitu saja mengikuti alur.
Ia ingin seperti burung di sana. Bergerak bebas meski sendiri. Merasa tenang di bawah lindungan pohon lebat. Dan, dapat terbang tinggi jika bahaya mengancam.
Andai dia bisa, ia menginginkan sekali dalam hidupnya untuk bergerak tanpa pengekang seperti ini.
Tubuhnya mungkin memang sehat, bebas, dan tumbuh tanpa halangan. Tapi, bagaimana dengan jiwanya, mentalnya?
Apakah sama bebasnya dengan tubuhnya kini?
Nyatanya itu tidak mungkin. Meski tubuhnya sangat indah terlihat, jiwa yang mengisi tidaklah sesempurna tubuhnya.
Ia hanya jiwa rusak yang menumpang hidup di tubuh maha sempurna ini. Bahkan untuk memikirkan ini, ia sudah merasa terbebani.
Ada alasan khusus apa ia hingga dapat menempati tubuh ini?
Apa yang sudah dilakukannya di kehidupannya dulu hingga ia diberikan tubuh sempurna yang dapat menutupi kekurangannya ini?
Ia bersyukur akan ini. Meski logikanya tak bisa memecahkan pertanyaan ini, ia masih harus bersyukur atasnya.
Jika saja ia berada di tubuh yang keadaannya tak jauh berbeda dengan jiwanya, bagaimana ia akan hidup?
Apakah seperti kehidupannya yang lalu? Terkurung dalam ruangan tanpa mampu untuk menatap matahari di luar?
Tidak. Itu hal buruk yang pernah ia pikirkan. Ia tak akan pernah ingin merasakannya lagi. Sudah cukup di masa lalu, kini ia ingin terus hidup di bawah sinar matahari.
Tidak perduli masalah seperti apa yang harus ditanggungnya sebagai bayaran atas keadaannya kini, Ia akan menghadapinya selalu.
Ia percaya, dengan tubuh ini bahkan jika semua mencacinya, Ia masih dapat menantang dunia dengan angkuh.
Seperti burung di sana, Thana percaya jika akan tiba hari dimana ia bisa seperti itu.
Terbang bebas tanpa khawatir akan badai yang menerpa.
➷MuteVillainess➹
January 5 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Mute Villainess
FantasiR16+ Dulu, kupikir selama aku diam semua akan baik-baik saja. Kini aku sadar, bahkan dalam sunyi, tak ada tempat bagiku untuk bersembunyi. Dia mampu mengetahui keberadaan ku, bahkan di tempat paling sunyi, dengan bibir tertutup rapat. ➹➷ "Padahal a...