Part 41 | Lugu

8.9K 1.6K 108
                                    

'Bagaimana jika aku membuat permainan baru ditengah permainanmu? Akankah akhirnya sesuai keinginanmu? '

~MuteVillainess

....

Waktu dengan cepat berlalu, secepat perubahan emosi yang dirasakan Thana. Setelah berusaha mencari lebih jauh mengenai informasi dirinya didalam rumah ini, hanya lelah yang ia rasakan.

Terdapat satu tempat yang belum ia kunjungi. Sebuah ruangan di sayap barat lantai 2, ruangan yang terkunci rapat seolah menyimpan sesuatu yang berharga didalamnya.

Untuk membukanya, Thana membutuhkan kunci. Namun, semua kunci yang ia temui di rumah itu tak ada satupun yang cocok dengan lubang kunci pada pintu itu.

Thana tidak dapat begitu saja membuat keributan dengan terus mengobrak-abrik rumah itu. Satu gerakan dari dirinya yang terlihat mencurigakan dapat membuat jalan keluar dari dalam rumah ini menjadi lebih sulit.

Seperti tertinggal didalam labirin, ia merasa tersesat oleh praduga dan pikirannya sendiri. Thana tak mengerti, apakah hidupnya yang terlalu sulit untuk dimengerti, atau ia yang terlambat untuk mengerti semuanya.

Setiap ia berjalan, hanya kebuntuan yang menyambutnya. Untuk mendapatkan pintu keluar, ia membutuhkan petunjuk arah. Bahkan kompas pun tak dapat ia andalkan dalam perjalanannya keluar dari labirin ini.

Sungguh memusingkan jika mengingat tak hanya satu, melainkan lebih dari 5 variabel yang mengisi labirin ini. Semua terhubung, namun terasa bertolak belakang.

Kunci satu dengan lainnya memiliki sifat yang berbeda, saling bertolak belakang, namun memiliki satu garis persamaan. Yang dibutuhkan Thana untuk keluar dari labirin ini, hanya sebuah garis yang menghubungkan semuanya.

Setelah mendapatkan garis itu, maka semua akan mudah untuk ditebak hingga ia dapat terbebas dari labirin ini.

Satu atau dua kunci yang ia tahu, berada pada seseorang yang tinggal satu atap dengannya.

Thana, mencoba sesuatu yang berbeda. Berbeda dengan sifat dasar Cecil yang diketahui semua orang.

"Clein, kau telah tiba? "

Menatap berbinar pada pria yang baru saja masuk kedalam ruang makan masih dengan ransel di punggungnya, Thana menghampiri Clein dengan celemek merah muda di tubuhnya.

"Iya. " Kening lelaki itu berkerut menanggapi sambutan yang tak pernah terbayang di pikirannya. Bukan lemparan sandal, tamparan pipi, atau bahkan acungan pisau yang menyambutnya, kini hanya sapaan hangat bersama senyum cerah yang jarang terbit dari bibir itu.

Haruskah ia bersyukur atau merasa waspada, anehnya dia tak merasa itu menyebalkan. Clein menyukai wajah pongah gadis itu, tapi senyum hangat yang menyapanya saat ini, juga bukan hal buruk. Malah, itu terasa seperti sumber daya yang mengisi kembali energinya yang terkuras habis.

Pada dasarnya, Clein tak menyukai gadis yang tersenyum lebar seperti itu, baginya semua senyum itu menyebalkan dan mengganggunya. Sama seperti senyum gadis lugu di sekolahnya yang seolah tak pernah lelah memamerkan senyum lebarnya, ia muak dengan semua itu.

Baginya, yang berhak untuk memiliki senyum paling indah adalah dirinya sendiri. Senyum itu sendiri terasa seperti kebanggan dirinya. Jika ada seseorang yang tak memiliki emosi dalam dirinya, maka ada pula seseorang yang kelebihan emosi didalam dirinya.

Seperti Clein, ia seperti anak yang memiliki lebih dari 100 emosi yang dapat terkontrol dengan baik. Dan sebagian besar dari semua emosinya adalah kepuasan yang menyimpang.

Mute VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang