Part 7 | Satu Kupu-Kupu yang menjadi Tumpu

12.1K 2K 38
                                    

30 menit sejak aku terduduk disini. Di bangku taman belakang sekolah setelah sekolah usai.

Sendiri sambil menatap kosong ke depan. Tak ada niat untuk ku beranjak sedikitpun. Aku termenung untuk waktu yang lama.

Tak ada pikiran dalam otakku. Aku hanya menatap tanpa arti pemandangan didepan sana. Ah, bahkan aku hampir melupakan penyebab diriku terduduk kaku disini.

Sebelum jatuh dalam lamunan, aku berpikir untuk menunggu sopir yang menjemput ku datang di taman belakang sekolah.

Tak ku sangka, aku malah ketagihan untuk menatap kosong ke depan. Kini jam sudah menunjukkan pukul 17.00

Ku rasa, sopir yang menjemput sudah berada di luar. Aku beranjak dengan ransel di punggung. Melangkah lambat meninggalkan taman belakang sekolah.

Ku rasa, taman belakang sekolah dapat menjadi salah satu tempat yang akan sering ku kunjungi. Udara sejuk di sana dengan beberapa pohon rindang membuatku nyaman berada di sana untuk waktu yang lama. Belum lagi saat aku mengetahui kebanyakan siswa-siswi di sekolah ini tidak begitu tertarik dengan taman belakang sekolah.

Betapa beruntungnya aku.

Hembusan napas panjang keluar dari bibirku sebelum beranjak lebih cepat menuju gerbang.

Sampai di sana, berbeda dengan perkiraan ku, tak ada seorang pun yang menunggu ku.

Sepi, satu kata yang pas untuk situasi saat ini. Getaran ponsel di saku mengalihkan perhatian ku.

Sebuah pesan masuk terlihat di layar ponsel. Aku membukanya.

'Nona, bapak tidak dapat menjemput anda. Istri bapak ingin melahirkan siang tadi, jadi bapak buru-buru ke rumah sakit. Bapak sudah meminta izin pada tuan muda. Beliau menginzinkan bapak untuk mengambil cuti selama 2 hari. Maafkan bapak sudah membuat nona menunggu. Sekali lagi, maafkan bapak, nona. '

Helaan napas lelah menjadi penutup setelah membaca pesan singkat itu.

Tanpa membalas aku memasukkan kembali ponsel ke dalam saku. Memandang ke depan dengan nanar sebelum memutuskan untuk berjalan pulang.

Satu pikiran yang bergelayut dalam pikiran ku saat ini, 'apakah keluarga cecil begitu pelit hingga sopir keluarga hanya terdapat satu orang?! '

Hah, berpikir keras pun percuma. Tak ada gunanya saat semua masih abu-abu dalam pikiran ku.

Memori Cecil, ya, memori Cecil berada dalam pikiranku. Tapi, hal itu tak lagi berguna jika menyangkut perjalanan pulang kali ini.

Nyatanya, memori yang ditransfer hanya sebagian. Hanya terisi hari-harinya di rumah dan kebiasaan lainnya yang terbilang cukup biasa. Tak ada memori menyangkut orang-orang penting seperti ke-4 orang yang kutemui tadi di kantin dan jalanan menuju sekolah. Rute yang biasa ia lewati, itu tak ada di dalam memori yang di transfer ke otakku.

Ingin menaiki taksi, aku tak mengetahui alamat perumahan tempat Cecil tinggal. Buku novel itu tak menjelaskan rincian daerah tempat tinggal Cecil.

Ingin menaiki bus, aku tak mengetahui jalur masing-masing bus yang lewat. Satu-satunya cara agar aku dapat sampai di rumah dengan selamat adalah mencoba mengingat memori yang ku rekam tadi pagi.

3 persimpangan jalan dengan lampu merah dan 4 pemberhentian bus. Aku hanya dapat mengandalkan itu. Ku harap aku dapat kembali dengan selamat.

Tak apa jika aku kembali saat matahari sudah tenggelam di ufuk barat, asalkan aku dapat kembali dengan utuh, aku sudah sangat bersyukur.

Jalanan ini cukup ramai. Setidaknya, pada jam ini memang cukup ramai. Selain masih sore, saat ini bertepatan dengan jam pulang kantor. Beberapa pekerja terlihat memenuhi jalanan hingga padat.

Trotoar yang ku lewati kali ini juga terlihat ramai oleh pejalan kaki.

Langit mulai menggelap saat aku tiba di persimpangan jalan dengan rambu lalulintas ke-3. Titik terakhir sebelum sampai di depan perumahan mewah dengan keamanan ketat.

Kakiku sudah pegal hingga terasa mati rasa. Bagian telapak kaki ku terasa berdenyut nyeri. Kelingking ku juga terasa perih. Mungkin lecet karena terlalu jauh di bawa berjalan.

Belum lagi dengan kepalaku yang terasa pusing. Aku hanya memakan 2 bungkus roti dan satu botol air mineral di sekolah. Asupan yang tak bisa dikatakan banyak.

Kenyataan lainnya yang membuatku semakin lemas adalah tubuh ini yang tidak cukup kuat seperti kelihatannya.

Bagaikan styrofoam, ia terlihat utuh dari jauh namun terdapat kekosongan saat diperhatikan. Yah, seperti itulah tubuh Cecil.

Hah, aku tak dapat mengeluh saat ini. Aku masih membutuhkan energi untuk sampai didepan Mansion keluarga Cecil. Akan menguras tenaga jika aku mengikuti keinginan ku untuk terus mengeluh.

Saat masuk dalam area perumahan, suasana berbanding terbalik dengan di luar perumahan. Suasana sepi. Kebiasaan orang-orang penghuni perumahan mewah, mereka jarang terlihat. Kebanyakan dari mereka hanya tinggal di rumah selama satu minggu dalam sebulan, selebihnya mereka berada di luar negeri atau luar kota untuk mengurusi bisnis masing-masing.

Jarak satu rumah dengan rumah lainnya tak bisa dibilang dekat. Jarang paling dekat yang dapat di lihat adalah 1 km antar rumah. Sedangkan untuk Mansion keluarga Cecil, mereka memilih lokasi paling jauh dari rumah lainnya di komplek ini.

➹➷

1 jam 30 menit waktu yang ditempuh Thana dari lokasi sekolah hingga sampai Mansionnya.

Langit sudah gelap, menandakan hari tak lagi sore. Dengan lemas, Thana melepas sepatu dan berjalan masuk dengan tas di punggung.

Jalannya tak lagi cepat, ia terlihat beberapa kali berhenti untuk mengatur napas. Sampai dikamar, ia merebahkan tubuh dan memejamkan mata. Meresapi letih yang memeluk tubuh.

Kakinya terasa amat sakit. Perjalanan jauh tak pernah ia lakukan. Terbiasa menggunakan mobil dalam bepergian membuat tubuhnya tak mampu menanggung lelah karena berjalan.

Setelah 15 menit mengistirahatkan tubuh, Thana berjalan kearah kamar mandi. Mengguyur tubuhnya dengan air sepertinya dapat menyegarkan kembali tubuhnya yang penuh dengan peluh.

Setelah segar, ia beranjak menuju meja belajar. Di sana, ia melihat-lihat koleksi buku Cecil.

Thana bingung, Cecil tidaklah pintar, tapi buku yang ada di meja belajarnya tidak dapat dikatakan sedikit.

Bukan maksud Thana ingin mengejek, hanya saja, untuk orang seperti Cecil, ia tak pernah membayangkan jika Cecil sangat gemar membaca.

Buku yang dikoleksinya pun tidak sembarang. Beberapa buku dengan pembahasan berat terlihat di rak bagian atas. Sedangkan untuk bacaan yang lumayan ringan, itu terlihat menumpuk di sudut meja.

Orang yang tak jeli memperhatikan, akan melihat jika kebanyakan bacaan yang berada di rak dan mejanya hanyalah bacaan sepele. Tak layak untuk orang jenius baca.

Thana tak melihat novel satupun. Kumpulan buku Inggris dan pemahaman reaksi kimia mendominasi koleksi buku Cecil.

Thana mengetahuinya. Sebelumnya, ia yang kadang mengalami masa jenuh karena membaca novel yang inti sari nya hanya itu-itu saja, menyelingi nya dengan bacaan berat untuk menambah ilmu.

Meski tak melanjutkan sekolah, Thana tak pernah putus dalam hal belajar. Koleksi buku di kamarnya hampir mendominasi ruangan. Jadi, buku yang berada di kamar Cecil hanya sebagian kecil dari yang pernah ia punya dulu.

Satu buku dengan sampul berwarna biru langit dengan gambar 1 kupu-kupu mengalihkan perhatiannya.

Berbeda dengan buku lain yang dibiarkan berkelompok, buku itu terlihat menyendiri diantara banyaknya buku.

Thana mengambilnya, kemudian membukanya perlahan.

Kosong.

Tak ada apapun didalamnya. Seperti buku diary yang belum sempat di isi. Thana tak tahu apa maksud Cecil dengan menyimpan buku diary tanpa menulisnya.

Kini, sosok Cecil menjadi misteri untuknya. Banyak yang tidak ia tahu dari Cecil. Termasuk, sifatnya yang sebenarnya.

➹MuteVillainess➷

December 10 2020

Mute VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang