Epilogue

9.4K 1.1K 117
                                    

Di sore yang cerah, sebuah keluarga tengah menikmati quality time-nya. Dengan pasangan muda yang tengah bermesraan di bawah pohon rindang ditemani beberapa camilan, dan seorang anak laki-laki yang sibuk menggambar di tepi danau Mansionnya.

"Sudah 10 tahun, aku tak menyangka jika waktu berlalu begitu cepat. " Wanita itu bersandar pada dada sang pria, menikmati momen sederhana mereka dengan senyum bahagia.

Pria itu menatap istrinya sejenak, sebelum merangkul bahu sang istri dan mengusapnya pelan. "Yah, waktu selalu terlewati tanpa disadari. "

"Aku masih tidak menyangka jika kita ditakdirkan untuk bersama. Benang merah kita memang sudah terjalin sejak lama, ya? " Wanita itu terkekeh pelan mengingat masa lalu.

"Kamu benar. Sejak kamu datang waktu itu, aku sudah yakin dengan takdir yang membawa kita. "

Wanita itu semakin tertawa lucu. "Kamu masih kecil waktu itu, bocah delapan tahun, memang tahu apa? "

Sang pria terdiam, menikmati tawa bahagia dari istrinya. Istrinya? Ya, 10 tahun lalu mereka menikah, tepat setelah wanita itu lulus SMA.

Terlalu terburu-buru mengambil keputusan, itu yang diucapkan sebagian orang yang hadir dalam resepsi pernikahan mereka. Tapi, baginya itu bukanlah keputusan yang terburu-buru.

Menunda dua tahun lagi pernikahan mereka hanya akan membuat dirinya semakin gila. Rasa ingin menjaga wanitanya selalu berkeliaran disaat ia tak ada disampingnya.

Pikiran-pikiran negatif mengenai siapa saja yang mendekati wanita itu membuat ia tak bisa untuk tidak menahan emosinya.

Beruntung, wanita yang ia nikahi memaklumi keadaannya, menerima dirinya apa adanya, dan setia berdiri disisinya.

Dua tahun berlalu, seorang bayi laki-laki lahir dari pernikahan mereka. Kebahagiaan tak lagi bisa dibendung olehnya. Wajahnya boleh saja selalu menampilkan ekspresi batu. Tapi, perihal rasa, dia yang paling tahu.

Menjadi orang tua diusianya yang terbilang muda tak membuat pria itu kesusahan. Dengan bantuan mertuanya, mereka melewati hal rumit dengan mudah.

Meski harus membagi waktu antara keluarga dengan perusahaan yang baru saja ia akuisisi, hal itu tak membuat hubungan keduanya menjadi senggang. Komunikasi yang dijaga menjadi salah satu kunci keharmonisan keluarga itu.

Bertahun-tahun tinggal bersama membuat mereka mengerti kepribadian satu sama lain, hingga tak lagi ada kesalahpahaman yang bisa merusak rumah tangga mereka.

Kini, buah hati mereka telah tumbuh menjadi bocah laki-laki tampan. Usianya menginjak 8 tahun, tapi sudah memiliki segudang fans tanpa klub di luar sana.

Bibit unggul yang diperoleh bocah itu kadang membuat orang-orang iri melihat bagaimana paras tampan yang dimilikinya.

Kadang, bocah itu akan mengeluh saat pulang sekolah. Membicarakan bagaimana anak-anak perempuan di sana akan datang mendekati mejanya dan menyodorkan bekal makan siang mereka padanya.

Ia sering menolak mentah-mentah tawaran mereka, tapi agaknya mereka tak kapok juga. Hingga akhirnya, bocah itu memilih menghilang saat jam makan siang. Membiarkan perut kecilnya keroncongan karena menahan lapar demi ketenangannya.

Beruntung, fisik yang di miliki bocah itu terbilang kuat, hingga mampu menahan lapar hingga pulang sekolah.

"Mama, papah! " Bocah lelaki itu berlari kearah mereka dengan kanvas ditangannya, senyum lebar ia keluarkan saat melihat ayah dan ibunya tengah bermesraan di bawah pohon rindang.

"Mah, aku melukis ini. Apakah menurutmu itu bagus? " Dia bertanya sembari menyodorkan kanvas ke arah orang tuanya.

Kedua orang dewasa itu menatap intens lukisan anaknya. Begitu cantik, mengingat orang yang melukis baru berusia 8 tahun.

Mute VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang