38. naked truth

6.2K 1.1K 213
                                    

"No, I feel better now. Thanks to you."

Menit demi menit berlalu, hanya ada suara tangisanku yang menggema di seluruh penjuru kamar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menit demi menit berlalu, hanya ada suara tangisanku yang menggema di seluruh penjuru kamar.

Lee Jeno masih di sini, di dekatku, mendekapku erat dalam pelukannya yang hangat, seakan dia tidak berencana melepaskanku barang sedetik saja.

"Sudah selesai menangisnya?" Jeno bertanya lembut saat tangisku mulai reda, menyisakan isakan-isakan kecil. "Mau minum?"

Aku mengangguk lemah sebagai respon, belum bisa bicara karena masih sesenggukan. Jeno tersenyum kecil mengusap kepalaku penuh kelembutan, sebelum dia melepas pelukannya dan menuang cairan darah ke dalam gelas kaca sampai hampir penuh.

"Minum dulu, sayang."

Biasanya aku akan memberi Jeno pelototan galak atau reflek memukulnya pelan jika dia memberi panggilan-panggilan menggelikan untukku ㅡbeberapa hari terakhir ini, presensi Lee Jeno agak meresahkan kinerja jantungku.
Namun saat mendengar nada suaranya yang selembut kapas, aku mengurungkan niat. Toh, aku juga sedang tidak punya tenaga untuk berdebat.

"Thanks," ucapku, lalu meneguk minuman berwarna merah itu sampai tandas.

"Anytime. Mau dipeluk lagi?"

Agaknya kedua pipiku berubah rona, karena mereka terasa panas, seperti terbakar. Aku malu mengakuinya, tetapi pelukan Jeno terasa sangat nyaman. Jujur saja, I can do this all day ㅡhugging him, I mean. Tetapi tentu, rasa gengsi dan malu masih lebih mendominasi.

Karena itu, alih-alih mengiyakan tawarannya, aku justru bertanya balik,
"Mau mendengarkan ceritaku?"

Kedua iris Jeno menatapku teduh. "Jangan dipaksa kalau kau belum siap dan masih takut, Livia."

Aku sontak menggeleng.
"No, I feel better now. Thanks to you," kataku tulus.

Tangan lelaki itu mengusap kepalaku lembut, lantas menyelipkan helaian rambutku ke belakang telinga. Sialan, perlakuan kecil Jeno selalu berhasil membuat jantungku berdetak di luar kendali.

Astaga, sekarang bukan saatnya menikmati suasana.

"Mark Lee pelakunya." Aku memulai cerita. Seperti yang sudah kuduga, raut wajah Jeno berubah ketika mendengar nama sepupunya itu. Kilatan amarah terpancar jelas dari manik Jeno.

Aku melanjutkan, "Dia yang menculik gadis-gadis itu, dan melukai mereka untuk mengambil darah para korban. Haechan dan Jisung juga ada di sana, kedua anak itu menjadi kaki tangan Mark."

Jeno mendengarkan ceritaku dalam diam, dia tidak menyela sama sekali, meski sesekali aku bisa melihat eskpresi wajahnya mengeras. Sampai aku menceritakan bagian tangan Mark yang terbakar karena terkena darahku, dia masih tetap bergeming.

"Haechan bilang darahku terkutuk," kataku dengan suara bergetar. "Aku berbahaya, Jeno. Aku monster."

Rasa-rasanya, air mataku hendak tumpah lagi. Jeno sepertinya menyadari itu karena dia langsung menggenggam kedua tanganku, seolah memberi kekuatan.

THE CURSED BLOOD ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang