✨ EPILOG ✨

2.3K 301 212
                                    

Saat kau menyadari hidupmu takkan lagi sama, disitulah kau akan merasa hidupmu yang dulu ternyata juga berharga.


= Heiyo Nayl! =

"Did i mention that i'm in love with you?"

Kalimat yang diucapkan oleh Raffael dengan menggunakan bahasa Inggris itu memenuhi pikiran Nayla sekarang yang sedang berjalan kaki pulang ke rumah indekos dengan tergesa. Untungnya, tak jauh dari sekolah.

Nayla kaget saja.

Bagaimana mungkin setelah sekian lama akhirnya ia mengetahui fakta bahwa dua anggota Gang Apollo yang selama ini masuk dalam list orang-orang yang dibenci ternyata menyukainya? Atau, yang lebih dibingungkan lagi, bagaimana tepatnya perasaan Nayla sekarang?

Bentrok.

Sekali lagi perasaan dan pikiran Nayla bentrok untuk membuat keputusan. Pilihannya hanya ada dua, lanjut tinggal di sini atau memulai hidup baru dengan Marnita di negara yang berbeda.

Bagusnya tinggal di sini karena keadaan sudah membaik, Nayla punya banyak orang yang mendukungnya, ia juga sudah mulai terbiasa dengan perubahan mendadak yang besar. Namun, sisi buruknya adalah tak mungkin Nayla tinggal di kos terus-menerus dan pastinya orang-orang yang membenci Nayla akan terus membenci. Nayla juga pasti harus pulang ke rumah Wartoni.

Ah, dilema lagi.

Mobil yang disewa Danu selama tinggal di Indonesia kini terparkir tepat di depan indekos Nayla. Buru-buru gadis itu melangkah masuk ke rumah indekos, ke kamarnya, dan membawa semua barang-barang miliknya. Begitu turun, ia makin terkejut ketika melihat Raffael berdiri di sebelah mobil.

"Gue nggak terima ya lo pergi maen gantungin aja!" tegas laki-laki dengan lesung pipi di sebelah kiri itu.

Nayla langsung menyerahkan koper dan tasnya ke orang suruhan Danu. "Jangan bikin gue bentrok sama perasaan gue sendiri Rap," jawab Nayla jujur. Ia terdiam di tempat, ingin mendengar respons Raffael.

"Lah, berarti perasaan gue selama ini nggak sepihak dong?" Raffael tetap kukuh berdiri di hadapan Nayla. "Lo mungkin punya rasa yang sama kayak gue, 'kan, Nayl? Cuman, lo selalu terhalang logika sendiri. Ya udah, nggak pa-pa. Ungkapin aja. Walaupun ujungnya bakal lebih pahit, ya udah, gue siap. Gue pengin denger pengakuan lo sekali lagi."

Raut wajah Nayla menjadi keruh ketika sahutan Danu dari dalam mobil terdengar. Gadis itu menjadi bingung. Nayla memang suka kebingungan ketika harus menentukan keputusan dalam waktu sedikit. Ia pun terpaksa menarik Raffael menjauh dari mobil agar dapat berbicara dengan fasih.

"Nggak. Lebih tepatnya gue nggak ngerti perasaan gue ke lo itu gimana, gue rasa selama ini lo ... yang selalu ada bahkan lebih dari Sarah, lo udah kayak kakak gue yang rusuh nan nyebelin sepanjang masa," jawab Nayla spontan.

"Tapi seperti yang lo tahu sendiri, gue ... belajar dari pengalaman yang terjadi di antara bokap sama nyokap gue yang sekarang. Kesalahan mereka bermula dari pacaran, sebisa mungkin gue hindarin itu walau diri gue juga mau. Enggak. Oke? Enggak. Gue berterima kasih juga ke lo Rap. Tanpa lo, mungkin gue udah luka parah dicambuk bokap, mati tenggelam di sumur, atau kehabisan darah kalau seandainya lo jahat. Walaupun mulut lo kasar, tapi tindakan lo ke gue baik." Ucapan Nayla terhenti, seketika ia ingin menangis.

"Iya Nayl, gue paham."

Nayla tersenyum lalu mengusap matanya. "Gue juga nggak mungkin bisa kayak begini." Ia melirik ke mobil. "Kalau lo nggak nemenin gue untuk hadir di acara pernikahan nyokap, mungkin sampai sekarang gue nggak bakal ikut mereka." Ia menangis lagi. "Makasih, maaf kalau gue ngerusak perasaan lo juga."

Heiyo Nayl! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang