Ketika bel pulang sekolah berdering, Sarah termenung di bangku panjang depan kelas. Ia menunduk dan hanya memainkan ponselnya, seperti sedang menunggu seseorang. Beberapa siswa di kelasnya sudah berhamburan menuju lantai bawah untuk pulang, termasuk Nayla.
Gadis itu terlihat biasa saja melangkah di hadapan Sarah. Mungkin Nayla sudah tidak peduli lagi.
Sarah cepat-cepat mengambil langkah. Ia berpura-pura menelepon seseorang di detik Nayla hampir saja berbelok ke tangga turun ke lantai bawah. Sarah tiba-tiba berteriak, "KOK LO GITU, SIH?"
Tepat sekali, hati Nayla tergerak untuk berhenti melangkah. Ia berhenti tepat di balik dinding pembatas antara tangga dan kelas untuk mendengarkan apa yang dipermasalahkan Sarah.
"Aih, masa gue pulang jalan kaki sendirian?" Sarah yang mengobrol paksa dengan Raffael di seberang sana pun semakin mengeraskan suaranya, namun ia tidak mengeraskan speaker ponselnya.
Pastinya, Raffael terkejut dan merasa sangat heran dengan kelakuan adiknya itu. Sudah tahu, ia sedang lomba pakai ditelepon segala. "Paansi? Bukannya lo emang biasa pulang sendiri ya? Tumben manja banget ampe nelpon. Lo kangen apa gimana?" tanya Raffael dari seberang sana.
"Masa lo tega?"
"Hah? Bukannya lo emang dari dulu maunya ditegain ya?" Di seberang sana Raffael terdengar menggerutu. "Lo kenapa si? Gue masih sibuk lomba juga."
"Iya ya udah."
"HAH? Gimana?"
"Iya."
"Apaansi?"
"Gue tunggu kalau gitu sekitar dua jam."
"Apaan lagi? Ya Allah, nggak paham."
"Dah."
"EH BENTAR LO JANGAN BIKIN OVERTHINK—"
Panggilan dimatikan secara sepihak. Sarah segera berdiri dan turun dari lantai dua untuk duduk di bangku panjang kelas bawah saja. Saat ia melangkah melewati dinding pembatas, ia melihat Nayla tergesa melangkahi anak tangga untuk turun ke bawah. Sarah tersenyum miring.
Ternyata, Nayla mudah terpancing.
Sarah pun duduk di bangku depan kelas XI. Sekolah sudah cukup sepi sekarang. Begitulah siswa-siswi Smantaraya. Ketika pagi semuanya datang terlalu cepat, ketika pulang semuanya langsung bergegas menuju gerbang utama untuk pulang pula. Bel pulang belum berdering, kelas yang mendapatkan jam kosong akan rusuh di depan gerbang utama untuk meminta satpam membukanya.
Tak lama kemudian, Nayla datang untuk duduk di bangku panjang yang terletak di kelas sebelah. Jaraknya cukup jauh, sehingga tak membuat Sarah beranjak untuk menjauh. Nayla masih ingin mengajak Sarah berbincang sekali lagi saja. Apalagi, keadaan saat ini sangat mendukung. Sekolah sudah sepi, jadi Sarah bisa mengeluarkan unek-unek atau segala rahasia yang disembunyikan.
Jika memang perkataan Sarah di pagi tadi memang benar adanya, berarti Nayla harus mencari cara agar ia bisa membantu Sarah. Setidaknya, membantu agar Sarah tidak membencinya seperti ini.
"Rah, gue mau lanjutin omongan yang tadi," ujar Nayla sambil meyilakan kakinya di atas bangku dengan pandangan lurus ke depan, menatap lapangan yang luas.
Sarah mengabaikan Nayla, lebih memilih fokus mengotak-atik ponsel.
"Rah," panggil Nayla dengan nada lembut.
Sarah masih mengabaikan.
"Lo beneran segitunya sama gue Rah?" Nayla menoleh, menghadapkan diri ke Sarah, dan menurunkan kakinya kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heiyo Nayl!
Teen FictionNayla merasa dirinya jelek, lusuh, gadis pemalas, pembangkang, dan beban orang tua. Ejekan dan bully dari teman-teman sudah menjadi makanan sehari-hari. Proses belajarnya di sekolah juga tidak berguna, tidak masuk di otak, dan tidak ikhlas. Nayla te...