Kalau kalian sedang down dan merasa kondisi mental sedang nggak baik, aku sarankan untuk berhenti sementara baca cerita ini. Semoga cepat membaik :)
Mohon pengertiannya, terima kasih.
Para pembaca yang kondisi mentalnya baik-baik aja, selamat membaca!
= Heiyo Nayl! =
Raffael melangkah penuh semangat. "Senyum dikit dong."
Nayla menatap laki-laki di hadapannya dengan wajah datar. Ia berhenti melangkah ketika Raffael menghampirinya. "Males."
"Ayo turun ke bawah dong, jangan sedih terus. Gue jadi sedih dengernya." Raffael merangkul Nayla untuk turun dari tangga rooftop. "Ya ampun masa turun tangga rooftop aja lama banget kayak tuan putri." Ia memaksa Nayla agar cepat sampai ke lantai empat sambil mengoceh yang tidak jelas.
Nayla diam, bertingkah seolah ia menyimak saja.
"Terus tuh ya, masa kemarin gue pas mau nunjukkin rapot ke bokap, gue diajak gelut gara-gara ada tiga nilai di bawah KKM. Gue males remidi, sih, untung naik kelas." Raffael menoleh ke Nayla. "Lo ... gimana? Cerita aja nggak pa-pa. Janji gue nggak ngejek kali ini."
Lantai empat kosong, tidak ada satu pun orang di sana.
"Semua orang ke mana?" tanya Nayla.
"Kan adeknya Rangga kerasukan di lantai ini tadi, ya pada turun lah. Haduh kesian si Rangga. Banyak betul beban yang dia tanggung jadi anak pertama. Gue anak pertama tapi nggak segitunya. Rangga itu udah nanggung nilai yang harus dijaga, organisasi, pertemanan, sama adek-adeknya juga. Tapi yah, balik lagi, Rangga beruntung bisa bebas speak up," jelas Raffael yang kini selangkah di depan Nayla. Ia terus berjalan dengan ocehannya. Kali ini langkahnya dibuat cepat agar Nayla cepat menyusul.
"Gue nggak minta cerita Rangga."
"Eh, bukan maksud untuk adu atau menghakimi lo supaya bisa kayak Rangga ya. Maksud gue itu, lo bisa dapet cerminan dari Rangga untuk nggak nyerah aja sama kehidupan. Yah, gimana ya Nayl, jangan kayak gitu lagi deh, gue suka sawan liat lo yang mau lompat begitu. Takut banget kalau lo lompat ke bawah terus bersimbah darah. Gue nggak bisa bayangin." Nada Raffael perlahan melemas. "Untuk sambung hidup lo, lo perlu punya orang yang auranya positif."
Nayla masih diam.
"Rangga, contohnya. Lo bisa belajar banyak dari Rangga. Gue dukung lo sama dia." Tak terasa mereka sudah menapaki lantai dua, Raffael kini berhenti di hadapan Nayla. "Nayl, sama Rangga ya?"
"Maksud?"
"Yah, lo ehm sama Rangga lebih baik ketimbang lo ngerasa sendiri begini. Rangga selama ini peduli banget sama lo, lo harus tau itu," ujar Raffael lalu meneguk salivanya, "gue saksi. Lo bakal ... bahagia sama dia."
"Males," jawab Nayla dengan wajah mengerut. "Ada Luthvia."
"Rangga juga udah tau itu Nayl. Rangga bakal kasih balesan yang setimpal ke Luthvia. Dia bakal nggak segan-segan buat jaga lo dari Luthvia." Raffael tetap berusaha meyakinkan.
Nayla menggigit bibir bawahnya. Ia terlihat sempoyongan dan mendadak lemas. "Lo juga seharusnya sadar sama kelakuan Arista."
"Lupakan soal itu dah. Gue liat, dari tadi lo kesakitan kalau bahas itu. Sorry Nayl." Raffael memasang senyumannya. "Mulai sekarang, janji dulu dong kalau lo nggak bakal ngelakuin hal-hal yang ngancam nyawa lo lagi?"
Nayla tersenyum menyeringai sebelum akhirnya terhuyung tanpa kata lagi.
"LOH NAYL?" Raffael menahan tubuh Nayla yang hampir terjatuh ke lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heiyo Nayl!
Novela JuvenilNayla merasa dirinya jelek, lusuh, gadis pemalas, pembangkang, dan beban orang tua. Ejekan dan bully dari teman-teman sudah menjadi makanan sehari-hari. Proses belajarnya di sekolah juga tidak berguna, tidak masuk di otak, dan tidak ikhlas. Nayla te...