Tawa menggema ke seluruh ruangan. Ada yang cekikan, malu-malu, dan terbahak-bahak.
Dua puluh menit kemudian, ruangan menjadi hening. Suasana menjadi sedih dengan lampu biru yang menyorot ke seorang perempuan yang menangis sesunggukan di bawah sebuah meja.
Selanjutnya, terdengar beberapa desisan dan isakan kecil. Ah, sebagian penonton menangis.
Nayla yang sudah masuk ke dalam suasana pementasan nyaris saja menangis sampai bahunya terasa berat sebelah.
Arga tengah meletakkan kepalanya di sana, tanpa gengsi dan terkesan lancang.
Nayla berdeham sedangkan Arga berpura-pura tidak mendengar.
Nayla berdeham sekali lagi.
Arga tersenyum simpul. "Hm?" Ia menjeda. "Gimana? Seru, 'kan? Feelnya dapet banget. Risvia mendalami peran kali ini."
Nayla semakin bingung harus bergeser ke mana. Di sebelah kanannya dinding, depannya orang, dan belakangnya orang.
Arga meletakkan tangan kirinya di paha Nayla sedangkan tangan kanannya beringsut merangkul pinggang.
"Ga?" panggil Nayla memastikan laki-laki ini waras.
"Nggak papa," ujar Arga tidak merasa bahwa Nayla yang harusnya mengatakan itu jika ia setuju.
Semakin lancang, Arga menggerakan tangan kirinya, mengelus paha Nayla.
Merasa alarm dalam dirinya berbunyi di pikiran, Nayla cepat-cepat berdiri tanpa bicara.
Arga bertanya, "Loh, mau ke mana?"
"Ssst!" Penoton di belakang mereka menegur. "Mba, duduk mba!"
Nayla buru-buru meminta orang di belakangnya itu bergeser, memberinya jalan. Kemudian, ia berjalan melewati sekumpulan penonton di dekat dinding.
Sepertinya, acara menonton kali ini akan berhenti di sini saja. Pandangan Nayla fokus ke pintu keluar yang tertutup rapat dan mengabaikan panggilan Arga yang sengaja tidak dinyaringkan.
Maap Ngga gue nggak nonton, jujur, temen-temen lo sama bahayanya kayak lo, batin Nayla menahan napasnya yang tercekat. Ia kecewa.
Arga pun berdiri dan menyusul Nayla. "Nayla!" panggilnya dengan suara kecil yang tetap diabaikan.
Satu penonton lagi, Nayla akan sampai ke pintu.
"Dek?" Kaki kanan Nayla terasa dicengkram oleh seseorang. Panggilan itu menyentaknya.
Nayla menoleh dan mendapati wajah penonton terakhir yang menarik kakinya itu, sangat tidak asing. Nayla pernah bertemu dengannya di mana?
"Duduk!" titahnya. Ia adalah seorang laki-laki yang pernah dikenalkan Rangga. Nayla menjadi ingat dengannya.
"Saya mau keluar kak."
"Nggak bisa, duduk." Laki-laki itu bergeser memberikan Nayla tempat untuk duduk, juga di samping dinding.
"Bisa nggak Kak, kalau aku nggak duduk di samping dinding?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Heiyo Nayl!
Novela JuvenilNayla merasa dirinya jelek, lusuh, gadis pemalas, pembangkang, dan beban orang tua. Ejekan dan bully dari teman-teman sudah menjadi makanan sehari-hari. Proses belajarnya di sekolah juga tidak berguna, tidak masuk di otak, dan tidak ikhlas. Nayla te...