Sesuai perkataan Kevin yang katanya ingin menjadikan acaranya kali ini seperti acara di rumah Haryan, Nayla pun berkeliling ke setiap sudut rumah ini untuk menenangkan dirinya. Dimulai dari lantai dua, dapur kotor, dapur bersih, koridor penuh kamar, lantai tiga, lantai empat, dan yang terakhir adalah rooftop.
Tak disangka, rumah milik Kevin ini ternyata juga memiliki rooftop. Parahnya lagi, tidak ada satu pun orang yang mau datang ke rooftop, semuaya sibuk dengan pasangan dan teman masing-masing. Hanya Nayla yang sendiri, bebas berjalan ke mana pun semaunya.
Ya, ini juga karena Kevin yang membebaskan.
Nayla akui, cara itu salah.
Beberapa orang menegur Nayla ketika berkeliling, termasuk Kevin sendiri.
"Kok anak ini ada di sin sih? Nggak level."
"Dia ngapain di sini? Dia yang selalu dipanggil Gang Apollo, 'kan?"
"Loh bukan cuman dia. Jangan dianggap terlalu spesial, dih."
"Kenapa nggak pulang aja, sih? Ngerusak pemandangan acara."
"Coba usir aja."
"Nggak boleh dong, bukan pemilik acara."
Nayla ingat Kevin juga mengatakan, "Kan udah gue bilang hati-hati kalau di rumah ini."
"Iya Kev, makasih."
"Gue nggak ngingatin lo, tapi gue ngancem lo. Sebenernya gue nggak terlalu suka, sih, orang kayak lo diundang ke sini. Lo terlalu beruntung Nayl ada Rangga sama Raffael."
Kini, Nayla duduk di ujung railing rooftop dan menatap ke bawah. Nayla beruntung bisa hadir ke acara ini, kata Kevin. Beruntung katanya? Kalau kata orang yang lain, Nayla tak pantas hadir di sini, sangat merusak pemandangan. Kalau begitu, mending ia rusak sekalian acara ini.
Sempat, pikirannya kembali terbang ke masa-masa yang sudah dihadapi sejauh ini. Sepi rasanya. Omongan-omongan pedas yang sudah berlalu tidak akan terhapus dari otaknya.
Nayla tak mampu melakukan apapun sekarang.
Tak ada satu pun orang yang bisa mendengar, mengerti, dan melihat keluh kesah Nayla. Apabila Nayla mengeluh, kalimat menghakimi dan merasa lebih hebat selalu keluar dari mulut mereka tanpa tahu akibatnya terhadap batin Nayla.
Mereka tidak tahu apa yang dialami Nayla. Tak juga mencoba melihat sesuatu berdasarkan sudut pandang Nayla.
Jadi sekarang, untuk apa gue hidup, 'kan? pikir Nayla dengan yakin sambil duduk di atas railing rooftop. Tinggal menunggu waktu yang pas, ia akan membuang dirinya.
Ya, ke bawah.
Tinggi.
Jatuh dari sini untuk tubuh seperti Nayla pasti akan mati. Nayla sudah pasrah. Bila ia mati, bagaimanapun bentuknya pasrahkan saja. Jasadnya mau dibiarkan membusuk pun tidak ia pikirkan. Mau ini rumah Kevin atau rumah pengusaha terkaya di dunia juga tak peduli.
"Gue mending mati," gumam Nayla, sudah lelah menghapus air matanya. Tekanan demi tekanan sudah tak dapat menahan dirinya.
"EH LO YANG DI SANA, JANGAN LOMPAT!" Dhika tiba-tiba datang dari pagar rumah Kevin kini berdiri tepat di depan pintu utama rumah sambil mendongakkan kepala ke rooftop. Sesekali ia berbicara pada ponsel dalam genggamannya lalu berteriak lagi. "LO NGAPAIN DISITU? JANGAN CARI MATI!"
"NAIK KE ROOFTOP CEPAT!"
Rangga yang mendengar teriakan Dhika itu langsung berlari naik ke rooftop disusul seluruh orang yang masih bertahan di ruang tengah rumah. Dengan mengerahkan seluruh tenaga hingga kaki pegal tak karuan mereka semua akhirnya sampai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heiyo Nayl!
Teen FictionNayla merasa dirinya jelek, lusuh, gadis pemalas, pembangkang, dan beban orang tua. Ejekan dan bully dari teman-teman sudah menjadi makanan sehari-hari. Proses belajarnya di sekolah juga tidak berguna, tidak masuk di otak, dan tidak ikhlas. Nayla te...