Semenjak dicaci-maki oleh Calissa, diejek oleh satu sekolah karena terlambat, dan direndahkan oleh Valro meskipun nilai hasil ulangannya tinggi, Nayla akhirnya sadar diri.
Perlahan ia mulai melengkapi perlengkapan sekolah dan tak lupa memberinya nama disertai sumpah serapah agar tidak hilang bila ada yang meminjam. Selanjutnya, ia mulai rajin membawa buku paket agar tidak bergantung dengan Sarah lagi. Sekarang, Nayla akhirnya terpaksa memilih untuk berjalan kaki ke sekolah daripada ikut dengan ibu tirinya yang super-duper menyengajakannya terlambat.
Perubahan demi perubahan ia jalani setiap hari dan berharap Nayla yang dulu hilang sesegera mungkin.
Gadis itu melangkahkan kaki masuk ke perpustakaan di jam istirahat pertama seperti biasa. Ia membawa buku dan alat tulis untuk mencatat materi yang pernah disampaikan guru melalui buku lain. Ia duduk di meja yang dekat jendela agar tidak terganggu suara siswa lain di ruangan tersebut. Ia benar-benar niat untuk memperbaiki nilanya semester ini.
Alasan Nayla tidak ke kantin saat istirahat hanya satu, yaitu karena uang saku yang diberikan hanya sedikit. Ia akan makan bila tenaganya sudah benar-benar terkuras.
Kursi kosong di samping Nayla tiba-tiba diduduki oleh seseorang. Firasat buruk dalam benaknya mulai bermunculan, terutama dugaan mengenai kedatangan salah satu anggota Gang Apollo. Nayla pun memilih untuk tidak melirik dan kembali fokus mencatat materi.
"Heiyo Nayl!" sapa orang di sampingnya tapi tidak dengan nada khas seperti biasa dan suaranya pun tidak Nayla kenali. Kemungkinan besar, dia bukanlah anggota Gang Apollo.
Nayla menoleh dengan ragu.
Dhika tersenyum dan menganggukkan kepalanya sebagai sapaan sekilas, lalu kembali membaca bukunya.
Loh, maksudnya manggil begitu apa? protes Nayla dalam hati, tahu ah, bodo amat.
Gadis itu pun kembali menulis dan mengabaikan laki-laki blasteran Belanda yang ganteng, putih, manis dengan iris mata biru di sampingnya.
"Eh, Dhika!" panggil seseorang dari ujung perpustakaan ke arah Dhika dengan langkah tergesa. "TADI GUA MASA KENA MARAH PAK—"
"Ssst!" Dhika meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya, menyuruh temannya itu mengecilkan volume suara. "Lo nggak lihat ada orang belajar apa, Ngga?"
Rangga melirik ke arah Nayla, bertepatan dengan gadis itu yang mendongakkan kepalanya. Ia mendelikkan bahunya dan terkekeh. "Hehe, maap Nayl. Gue kira anak satu ini sendirian," katanya sambil menepuk bahu Dhika kemudian duduk di kursi di hadapan Nayla.
Nayla yang malang, Rangga duduk membelakangi jendela sehingga cahaya yang masuk terhalang.
Rangga yang masih belum sadar diri mulai berbincang lagi dengan Dhika. "Abaikan kita aja, Nayl." Ia duduk serong ke kanan, alias menghadapkan diri ke Dhika, lalu menceritakan masalah yang terjadi dalam ekskul teaternya.
Ck, mereka pikir kayak begini gue bisa belajar apa? protes Nayla dalam hati lagi, tetapi ia tetap berpura-pura membaca.
"Jadi intinya di situ, lo kekurangan pemusik, gitu?" tanya Dhika setelah mendengarkan penjelasan Rangga.
Yang ditanya mengangguk. "Please Dhik, gue butuh banget. Lo, kan, bisa main alat musik cajon, tuh."
"Kenapa nggak suruh adek-adek kelas yang baru ikut teater itu yang main? Kenapa harus rekrut gue?" protes Dhika dengan volume suara yang mulai meninggi.
"Jangan keras-keras, Nayla lagi belajar," tegur Rangga sambil menepuk bahu Dhika, kemudian terkekeh. Ia sendiri tak sadar bahwa suaranya sudah keras sedari tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heiyo Nayl!
Teen FictionNayla merasa dirinya jelek, lusuh, gadis pemalas, pembangkang, dan beban orang tua. Ejekan dan bully dari teman-teman sudah menjadi makanan sehari-hari. Proses belajarnya di sekolah juga tidak berguna, tidak masuk di otak, dan tidak ikhlas. Nayla te...