"Wah, bagus juga nilaimu," ujar Wartoni sembari melihat satu per satu nilai Nayla di pertengahan semester ini. "Ada harapan juga ya kamu Nayl."
Nayla tersenyum semringah. "Iya dong Pak. Jadi, Nayla nggak jadi––"
Wartoni tiba-tiba berdiri begitu mendengar suara motor sampai ke pekarangan rumah. Sepertinya Nayla tahu siapa yang datang malam-malam begini.
"Rentenir itu lagi." Nayla menepuk dahinya dan kembali berbaring ke kasurnya untuk mendengarkan perdebatan yang terjadi cukup lama di ruang tamu.
Begitu mendengar alarm dari ponsel, Nayla menyadari bahwa ia harus ke toko kue Mba Ici lagi. Ia pun bergegas keluar sembari mengucir rambut.
"Samperin aja, Naylanya ada di dalam." Suara Wartoni pada seseorang membuat langkah Nayla terhenti tepat di ruang keluarga.
Agung datang menjemputnya.
"Ngapain lo di sini?" tanya Nayla, seolah bodoh tidak mengetahui tujuan Agung lagi.
"Jemput, kayak biasa." Agung menarik Nayla keluar dari rumah. "Ayo!"
Nayla memutar bola mata dan menghela napas kasar. "Kan, gue udah bilang, gue bisa sendiri Gung."
"Nggak papa, gue pengin ketemu lo aja," jawab Agung sambil menuntun Nayla menuju motornya. "Apa kabar?"
"Baik." Nayla naik ke motor.
"Udah makan?"
"Dah." Motor Agung pun berjalan meninggalkan pekarangan rumah Nayla.
"Tadi pembagian rapot, ya?"
"Ya."
"Gimana nilanya? Memuaskan?"
"Alhamdulillah."
"Peringkat berapa?"
"Lo kayak bokap gue aja, deh, nanya peringkat," celetuk Nayla.
Agung tertawa. "Jelek ya jangan-jangan?"
"Apanya?"
"Peringkat lo."
"Kagak, kok," jawab Nayla melipat tangan di depan dada.
"Oh ya? Masa? Berapa memangnya?"
"Lima," jawab Nayla langsung, mulai kesal dengan basa-basi Agung.
Selanjutnya, Agung pun tidak merespons atau bertanya lagi. Ia hanya diam menyetir sampai ke tujuan.
* * * * *
Sepulang kerja, Nayla menemukan kedua orang tuanya yang masih belum tidur dan memilih untuk berbincang di ruang tamu. Ah, Nayla tak habis pikir dengan keduanya, setiap minggu pasti selalu terjadi perdebatan. Kalau bukan utang, pasti berujung ke pembahasan nilainya dan nilai Dion yang jatuh.
Kalau memang berujung tidak harmonis seharusnya ayah Nayla tidak usah menikah saja, begitu pikirnya.
"Nayla!"
Nayla menghentikan langkahnya.
"Duduk dulu! Bapak mau bahas nilai mu," pinta Wartoni sembari mengusap kursi di sampingnya.
Nayla pun menuruti saja. Ia duduk dengan tenang tanpa bertanya lebih dulu, membiarkan sang ayah memulainya.
"Jadi begini, jangan dipotong dulu, ya?" Nayla mengangguk saja. "Kamu, kan, udah kerja, nih, Nayl. Uang yang kamu hasilkan itu juga lumayan walaupun cuma bantuin Mba Ici doang. Menurut Bapak, mulai sekarang kamu nggak perlu kerja lagi."
Nayla menaikkan sebelah alisnya.
"Kamu udah berkorban banyak Nayl buat keluarga kita. Mulai dari kamunya yang rajin bantuin Ibu, sekolah nggak diantar jemput di semester satu, sama kerja buat memenuhi kebutuhan sekolah mu sendiri. Bapak minta kamu sudahi aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Heiyo Nayl!
أدب المراهقينNayla merasa dirinya jelek, lusuh, gadis pemalas, pembangkang, dan beban orang tua. Ejekan dan bully dari teman-teman sudah menjadi makanan sehari-hari. Proses belajarnya di sekolah juga tidak berguna, tidak masuk di otak, dan tidak ikhlas. Nayla te...