Gadis dengan sepatu bertali yang tidak diikat itu masuk ke kelas begitu saja, meskipun jelas di depan mata, seorang teman tengah menyapu. Bukankah Nayla tidak sopan? Tentu saja itu mengundang amarah Sarah yang hari itu juga piket.
"Eh Nay!"
"Iya nanti gue beresin!" sahut Nayla sudah tahu dengan protes yang akan dilontarkan Sarah. Ia keluar lagi dari kelas begitu mendengar sirene.
Gadis yang rambutnya selalu dikucir kuda itu duduk di bangku depan kelas sembari memasukkan tali sepatunya ke dalam untuk diinjak, tanpa diikat.
"Gile." Seseorang menegur Nayla ketika hendak pergi ke lapangan untuk apel pagi. Namanya Riko, salah satu petugas OSIS perwakilan kelas Nayla. Jelas, ia siswa teladan. "Lo cewek emang begini banget, ya?"
Nayla mendongak untuk menatap Riko. "Hah?"
"Sepatu lo bertali, tapi males banget diiket ampe main dimasukkan ke sepatu, terus diinjak gitu aja. Rok lo juga kusut, rambut kayak jarang disisir. Kalah banget sama adek gue yang SD kelas enam sekarang, gue kalau nunggu dia siap-siap sekolah berasa nunggu Putri Aurora," ujar Riko yang malah kebablasan curhat.
Nayla mengendikkan bahunya. "Itu adek lo, gue beda. Nggak peduli, yang penting sekolah," katanya sebelum melangkah ke tangga.
Sebenarnya, perkataan Riko barusan terasa seperti batu berat yang membentur tubuhnya.
* * * * *
Di jam pelajaran seperti biasa, di saat seluruh siswa memperhatikan guru yang menjelaskan, Nayla malah sibuk dengan lembar belakang bukunya. Hal ini berhasil mengundang perhatian Sarah. Pasalnya, Nayla selalu tidur di jam ini, apalagi saat pelajaran PKN.
"Lo ngapain, sih?" teguran dan senggolan Saran membuat Nayla tersentak.
Beberapa detik kemudian, Sarah sama sekali tidak mendapat respons. Sambil sesekali memerhatikan guru PKN yang menjelaskan, gadis itu akhirnya melirik ke Nayla yang sedang mencorat-coret bukunya.
Nayla yang sedang fokus itu mengabaikan guru yang bercerita panjang lebar mengenai pengalamannya sebagai guru PKN di sekolah negeri.
"Kenapa kalau guru jelasin lo selalu asik sendiri?" Sarah bertanya.
Nayla terkekeh. "Karena gue males sekolah."
"Loh kok gitu, sih? Kenapa?"
Nayla memerlihatkan coretannya di halaman belakang buku. "Gue lagi nyusun strategi kerja gue untuk pindah dari rumah. Gue nggak betah banget satu rumah sama nenek lampir yang kalau mandi harus nyanyi minimal tiga lagu dulu, dandan kelamaan, jajan kebanyakan. Pusing asli."
"Nenek lampir?" Sarah mengernyitkan dahinya.
"Step monster," jawab Nayla asal, malah membuat Sarah semakin bingung. "Step mother, alias nyokap tiri. Paham?"
Sarah pun mengangguk antusias dan membuka mulut membentuk O selebarnya. "Kok kayaknya seru ya imajinasi lo soal kehidupan lo selanjutnya. Kalau gue, belum ada. Gue masuk sekolah ini aja karena nggak keterima di SMA sebelah."
Nayla pun menjelaskan maksud dari coretan yang ia buat, "Lingkaran di tengah ini adalah tujuan besar gue, pindah ke sekolah jauh dan ngekos. Terus, lingkaran setengah gede di bawahnya itu adalah cara-cara gue ngewujudin impian, salah satunya adalah kerja paruh waktu ke toko kakak sepupu gue dan nabung. Di samping kirinya ini adalah hambatan untuk kerja paruh waktu adalah bokap gue, monster, sekaligus anaknya monster. Oh iya jangan lupakan si om-om burik itu, Agung, iyuh jijik deh gue." Nayla menggambar satu lingkaran lagi dengan huruf A, G, N, G, Gila di tengahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heiyo Nayl!
Teen FictionNayla merasa dirinya jelek, lusuh, gadis pemalas, pembangkang, dan beban orang tua. Ejekan dan bully dari teman-teman sudah menjadi makanan sehari-hari. Proses belajarnya di sekolah juga tidak berguna, tidak masuk di otak, dan tidak ikhlas. Nayla te...