Awalnya Nayla tidak percaya dengan kalimat yang dilontarkan Mariska empat hari yang lalu. Namun, semenjak hari itu, Agung si laki-laki yang katanya akan menjadi suaminya sering datang ke rumah. Entah hanya untuk berbincang sejenak dengan Ayah Nayla atau mengajari Dion—adik tiri Nayla—matematika. Nayla juga sering memergoki Agung yang menatapnya diam-diam.
Agung adalah anak dari pemilik bengkel besar tempat Ayah Nayla bekerja. Hanya itu uang Nayla tahu.
Namun, tetap saja Nayla tidak peduli. Yang ia pedulikan sekarang adalah cara agar dirinya tidak keseringan di rumah yang sangat membosankan itu. Akhir-akhir ini ia lebih sering ke toko kue kakak sepupunya yang dipanggil Mba Ici untuk membantu dan mendapatkan upah.
Menurutnya itu lebih baik daripada diam di rumah dan dihakimi terus-menerus oleh Mariska. Intinya, Nayla lebih senang dengan hal yang berbau uang.
"Mau ke mana lagi kamu?" Suara berat nan serak khas itu menyentak Nayla yang sudah berdiri di ambang pintu utama rumah. Wartoni kini menegurnya, "Malam-malam begini masih mau ke rumah Mba Ici?"
Nayla membalikkan badan dan menghampiri sang ayah untuk menyalimi. "Iya, masih ada kerjaan yang perlu dibantu, Pak."
Agung yang selalu mengenakan pakaian rapi itu menyeletuk, "Biar saya antar." Ia hendak berdiri, tetapi ditahan oleh Nayla.
"Nggak usah, deket sini aja."
"Tapi bahaya."
"Gue lebih 'bahaya' buat mereka," sela Nayla cepat. "Nayla bakal pulang lebih cepet, kok, Pak malam ini. Cuma bantuin jaga toko kuenya aja," sambungnya dengan menatap Wartoni.
Wartoni menghela napas panjang. "Ya sudah Bapak izinin, tapi kamu berangkat sekalian sama Agung."
Mata Nayla melotot. Ayahnya benar-benar akan menjodohkannya dengan Agung? Seriuskah? Nayla baru berumur enam belas tahun, yang benar saja! Tak ada satu pun dalam imajinasinya perihal menikah dini, apalagi dengan pria dewasa. Jauh sekali selisih umurnya.
Daripada menikah, ia lebih baik putus sekolah karena bekerja untuk mendapatkan uang. Lagi pula, yang menjadi calon suaminya adalah Agung. Hei, ini Agung! Nayla tidak mau membuang waktunya demi buaya seperti itu. Penampilannya yang rapi itu hanya tipu muslihat.
"Enggak," tolak Nayla, kukuh dengan pendapatnya. "Nayla berangkat sendiri aja."
Agung terkekeh. "Ayo, dah! Nggak papa. Sekalian saya pulang."
Wartoni mengangguk. "Nah, itu. Bapak izinin kamu pergi kalau sama dia. Entar pulang juga bareng ya."
Agung tersenyum manis yang membuat Nayla makin merinding karena jijik. Agung sangat pandai berakting. "Oh, ya pasti, Om."
* * * * *
Nayla membuka pintu dengan hati-hati. Kali ini ia pulang lebih cepat, karena ia malas untuk pulang bersama Agung. Laki-laki itu akan menjemputnya di toko tepat di jam sepuluh, tetapi Nayla lebih dulu sampai ke rumah justru untuk menghindarinya.
"Bodo amat, intinya gue nggak pulang sama om-om itu," gumam Nayla sambil menyalakan lampu ruang tengah.
"Gimana? Udah ngerasa cocok sama Agung?" Suara Mariska itu menyentak Nayla.
Yang ditanya sibuk mengelus dada, terkejut melihat sang ibu tiri yang tampak seperti kuntilanak dengan daster putih dan rambut panjang hitamnya.
Wartoni datang dari dapur dengan sepuntung rokoknya. "Nayla, kita bisa ngomong sebentar?" tanyanya sambil mengalihkan pandangan ke sofa ruang tengah. "Ada sesuatu yang mau Bapak bahas."
Nayla menghela napas terlebih dahulu sebelum duduk di sofa berhadapan dengan orang tuanya. Ia sudah menduga bahwa hal yang akan dibahas oleh ayahnya ini pasti berkaitan dengan Agung atau tidak jauh dari itu.
"Minggu lalu Bapak dapat telepon dari wali kelasmu. Katanya, kamu itu anaknya males banget kalau di sekolah. Piket males, perhatiin guru ngantuk terus, ngerjain tugas males, kerja kelompok males, semuanya males! Bahkan latihan pramuka wajib kamu pun enggak datang tiga minggu berturut-turut. Terus jumlah absen kamu udah mencapai—"
"Iya-iya Nayla tahu, kita udah bahas itu Selasa lalu," potong Nayla dengan memutar bola matanya.
"Kamu ini niat sekolah nggak, sih?" tanya Wartoni tegas.
Nayla menghela napas lagi. "Seperti yang Bapak lihat."
"Oh ya sudah, daripada bikin malu, lebih baik kamu Bapak nikahkan sama Agung aja," tutur pria paruh baya itu dengan tatapan tajamnya.
"Nayla mau kerja, bukannya nikah."
"Kalau mau kerja, sekolah dulu dong yang baik. Biar nanti bisa dapat kerjaan yang berbobot juga," sela Mariska.
"Nayla mau kerja, bukannya sekolah!" balas Nayla dengan membentak ke arah Mariska. "Siapa, sih, yang paksa Nayla masuk ke SMA Nusantara Jaya? Nayla kan maunya masuk SMK! Karena kalau masuk SMA itu pusing, perlu kuliah lagi. Udah tahu Nayla bego, otak cuman setengah, kenapa malah—"
"Kalau begitu LEBIH BAIK KAMU BERHENTI SEKOLAH!" Mariska pun balik membentak.
Nayla mengangguk antusias. Tanpa sadar wajahnya sudah memerah dan penuh keringat. "OKE, ide yang brilian!"
"Nggak!" Wartoni akhirnya bersuara. Ia menunjuk Nayla. "Saya nggak mau kamu berhenti sekolah! Kamu harus sekolah gimana pun caranya!"
"Loh bukannya udah jelas ya perkataannya Mariska tadi? Itu keputusan TERBAIK yang pernah Nayla denger. So, kapan berhenti? Besok?" Nayla mulai melunjak.
"Heh!" Wartoni berdiri dan menunjuk-nunjuk Nayla, lalu menunjuk Mariska. "Beri rasa hormat Nayla, dia Ibumu!" Rahangnya yang mengeras dan pupil matanya yang membesar itu membuat Nayla bungkam seketika.
Tiga detik setelahnya, Wartoni menarik napas dan duduk kembali. "Kemarin Bapak juga diberi tahu sama wali kelas mu, kalau kamu belum ulangan harian PKN dan bahasa Indonesia. Bapak mau, besok kamu susul gurumu untuk itu karena risiko kamu nggak naik kelas makin meningkat."
Nayla diam.
"Naylavia Aniendranova, Bapak kasih kamu dua pilihan. Yang pertama, perbaiki nilaimu dan lanjut sekolah. Atau yang kedua, berhenti sekolah dan langsung nikah sama Agung. Bapak kasih waktu sampai kenaikan kelas sepuluh ini. Kalau kamu nggak naik, oke kamu nikah. Deal," ujar Wartoni.
"Nggak ada calon suami lain apa?" protes Nayla. "Agung itu buaya, Pak."
"Kalau begitu, kamu harus pintar-pintar perbaiki nilaimu untuk naik kelas. Ingat, bapak hanya minta kamu untuk naik kelas, nggak peduli ranking-mu seberapa. Cuma itu Nayl. Kamu boleh kerja bantuin Mba Ici asalkan kamu pertahankan juga sekolahmu. Bapak nggak mau kamu sama kayak ibu kandungmu dulu, sampah—"
"Kalau gitu Nayla juga minta sesuatu," sela Nayla ketika ayahnya hampir membahas ibu kandungnya lagi. Demi apa pun, ia mencoba untuk mengatur emosinya yang meluap-luap. Rahangnya yang mengeras dan napas yang tercekat itu sayangnya tak bisa ia cegah. Tubuhnya gemetar tiba-tiba.
"Seenggaknya Bapak belikan Nayla kendaraan untuk ke sekolah. Minimal sepeda bekas, juga nggak papa. Nayla capek jalan dari rumah ke sekolah. Ya emang, sih, nggak secapek Bapak yang kerja. Tapi, masalahnya Nayla di sekolah juga mutar gedung dan naik ke kelas di lantai dua, terus turun lagi untuk apel pagi. Itu alasan Nayla malas sekolah, kalau Bapak mau tahu. Terserah kendaraan apa, sepeda kecil anak cowok bekas Dion juga ayo aja."
"Kamu bisa ikut Mariska naik motor bareng Dion setiap pagi," putus Wartoni yang diberi anggukan oleh Mariska di sampingnya.
Nayla menghela napas lalu berdecak. "Oke, tapi Nayla nggak mau banget sampai terlambat ke sekolah gara-gara nungguin dia dandan dulu kayak pas dulu itu. Di bulan Oktober." Ia akhirnya berdiri dan berjalan masuk ke kamar kapal pecahnya.
= Heiyo Nayl! =
KAMU SEDANG MEMBACA
Heiyo Nayl!
Teen FictionNayla merasa dirinya jelek, lusuh, gadis pemalas, pembangkang, dan beban orang tua. Ejekan dan bully dari teman-teman sudah menjadi makanan sehari-hari. Proses belajarnya di sekolah juga tidak berguna, tidak masuk di otak, dan tidak ikhlas. Nayla te...