47 - Hidup Sepi ✨

1.2K 260 17
                                    

Hari yang membosankan. Itu kata pikiran Nayla saat ia melangkah pulang ke rumah. Lagi-lagi ayahnya tak menjemput, mungkin karena kesibukan yang ada. Selalu saja itu terjadi.

Hanya Nayla yang harus memahami situasi ini.

Ya, Nayla yang dituntut untuk mengerti keadaan.

Ketika langkahnya sampai ke rumah, mata Nayla tertuju pada sebuah mobil yang terparkir di halaman rumah. Sebelumnya, ia tak pernah melihat mobil itu sama sekali.

Hingga akhirnya, mata Nayla tertuju pada seorang wanita berhijab di ruang tamu. Harapan kembali datang, sontak Nayla berlari masuk ke dalam rumah tanpa salam.

Ia melihat Marnita sedang duduk di sofa dengan wajah seriusnya.

"Nah itu Naylanya," ujar Mariska sambil memberikan tatapan heran ke Nayla. "Kamu nggak ketemu bapak, Nayl?"

Baru saja dibicarakan, Wartoni sudah berdiri di ujung pintu dengan jaket hitam yang selalu ia kenakan sepulang kerja. Ia menatap Marnita dan Nayla secara bergantian.

Tergesa, Nayla memeluk ibunya itu dan langsung berkata, "Ma, bawa Nayla pergi dari sini." Ucapannya itu sempat beberapa kali terjeda akibat tarikan napas yang tidak stabil.

Marnita menatap anak perempuannya iba. Dia mengusap rambut Nayla, lalu melirik ke Wartoni yang tampaknya tidak senang.

"Sini dengerin mama ya Nayla. Mama tau Nayla anak yang kuat. Mama ke sini karena tau Nayla kangen banget sama mama." Nayla mengangguk antusias.

Wartoni kini duduk di sofa sebelah Mariska. Berjaga-jaga jika Marnita melakukan hal seperti dulu lagi.

"Tapi Nayla perlu tau, mama nggak bisa ajak Nayla ikut," ucap Marnita dengan sedikit penekanan.

Nayla yang mendengar itu langsung menggeleng kuat. Air matanya kembali turun. Sudah tak tahu lagi apa yang seharusnya dilakukan setelah ini. Seolah, tak ada siapapun dan alasan apapun untuk menyambung kehidupan.

Rasanya sepi dan terkekang.

Tak ada yang mengerti keadaannya sekarang. Termasuk Rangga yang entah mengapa malah kembali dan bersikap semua baik-baik saja. Laki-laki itu bersikap seolah tak pernah terjadi apapun sebelumnya.

"Nggak. Nggak mau. Nayla mau ikut!" tegas Nayla.

"Nggak bisa Nayla." Sesekali Marnita melirik ke Wartoni yang menujukkan wajah tak terima. "Nggak mungkin kamu ikut mama." Wanita itu berdiri dari sofa.

Nayla menarik tangan ibunya. "Nggak ma, Nayla mau ikut! Please bawa Nayla."

"Kamu bisa tinggal sama bapakmu." Marnita berusaha melepaskan cengkeraman Nayla pada tangannya.

Nayla menggeleng semakin kuat. Air matanya kembali turun. Matanya melirik ke arah Wartoni yang kini sudah berdiri dan menghampiri mereka berdua.

"Ma—"

"DIAMMMM!"

Satu kata teriakan itu menyentak semuanya. Tiba-tiba saja, Danu yang tadinya menunggu di mobil kini sudah berdiri di tuang tamu setelah mendengar teriakan Marnita.

Heiyo Nayl! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang