Nayla menemukan sebuah undangan pernikahan di depan rumahnya. Dengan santai dan tak mau menduga-duga undangan itu milik siapa, Nayla membukanya. Nama seorang wanita yang sangat Nayla kenali tertera di sana.
Tubuhnya gemetar. Ia sangat mengenali nama itu. Nama yang membuatnya semangat selama ini. Nama seseorang yang selama ini ia cari. Nama wanita yang melahirkannya.
Ia langsung menggedor pintu rumah meskipun adzan magrib baru saja berkumandang. Perasaan Nayla bercampur aduk dalam satu waktu. Ia merasakan senang, sedih, dan kecewa bersamaan. Bingung harus bersikap seperti apa.
Apakah ibunya tadi datang ke rumah? Bagaimana rupanya? Seperti apa dirinya? Bagaimana penampilannya? Sehat sajakah ia? Apa pendapatnya ketika akhirnya bertemu lagi dengan Nayla yang selama ini ia tinggal?
Pertanyaan itu memenuhi kepala Nayla sekarang.
Baru saja Nayla melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, Wartoni sudah menyambutnya dengan ekspresi menyeramkan.
Nayla sudah dapat menebak bahwa ayahnya itu pasti baru saja mendapatkan telepon dari wali kelasnya mengenai hasil rapat guru tadi pagi.
"Kenapa baru pulang jam segini?" tanyanya dengan tegas.
"Lah?" Nayla bersikap heran. "Bukannya memang jam segini pulangnya?"
"Guru rapat dan murid dipulangkan cepat. Kamu ke mana lagi tadi?" Sudah jelas, Wartoni mendapatkan telepon dari wali kelas Nayla.
"Yah kayak biasa, ke rumah Mba Ici."
"Bohong!" bentak Wartoni. Ia menghela napas kasar, lalu duduk di sofa ruang tamu. "Sedih bapak ngeliat kamu, Nayla. Kamu nggak pernah mau jujur sekarang."
Nayla diam. Seketika niatnya untuk memberikan undangan pernikahan ibu kandungnnya sirna. Ia menyelipkan undangan di antara punggung dan tas diam-diam.
"Tadi bapak dapat telepon dari wali kelas kamu. Kata beliau, ulangan mid semester bakal diadain lusa. Memang dadakan, tapi ini kesempatan kamu untuk perbaiki nilai," jelas Wartoni, "masih inget perjanjian kita, kan? Nilaimu bagus, kamu lanjut sekolah. Kalau nilaimu jelek, kamu menikah sama Agung."
"Bukannya kalau begini caranya malah kayak ngasih Agung harapan doang ya?" protes Nayla. "Maksudnya, coba bapak liat kelakuan tu cowok, dia bener-bener bersikap kayak suatu hari Nayla bakal sama dia."
"Lah, kalau memang bakal sama dia gimana?" tanya Wartoni balik dengan nada serupa.
"Nayla nggak mau!" balas Nayla tegas. "Apa, sih, yang dimau sama Agung, Pak? Coba bapak pikir, Nayla ini jelek plus kurang mapan. Kalau dipikir pake logika, kenapa dia mau sama Nayla?" Gadis itu pun tertawa palsu, seolah mengatai dirinya yang tidak memiliki keunggulan apa pun.
Wartoni menghela napas sangat kasar. "Karena cuma dia yang bisa bantu keluarga kita yang susah ini."
"Apaan, Pak? Kok nggak nyambung gitu." Nayla berdecak. "Nayla tanya kenapa dia mau sama Nayla, bukan kenapa bapak mau jodohkan dia sama Nayla!"
"Ya, nanti kamu bakal tahu!" balas Wartoni dengan membentak balik. "Bapak pokoknya mau kamu belajar yang rajin dulu, perbaiki nilai, dan lanjut sekolah. Masih belum jelas?"
Nayla membuang pandangan dari ayahnya itu.
"Sana, belajar!"
Seketika Nayla menyunggingkan senyum semringah begitu di pikirannya terlintas bahwa niatan ayahnya itu hanya sebuah ancaman agar dirinya mau belajar. Segera ia melangkah masuk ke dalam kamar dan membuka undangan ibunya baik-baik.
* * * * *
Ulangan mid semester berlangsung selama empat hari dan Nayla menjalankannya dengan semangat. Ia benar-benar belajar ketika malam bahkan berhenti untuk bekerja menjaga toko selama seminggu. Ia tidak ingin nilainya turun pada mid semester kali ini karena kebetulan pernikahan ibunya diadakan tiga minggu setelah ulangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heiyo Nayl!
Fiksi RemajaNayla merasa dirinya jelek, lusuh, gadis pemalas, pembangkang, dan beban orang tua. Ejekan dan bully dari teman-teman sudah menjadi makanan sehari-hari. Proses belajarnya di sekolah juga tidak berguna, tidak masuk di otak, dan tidak ikhlas. Nayla te...