Degup jantungnya sudah tidak karuan. Nayla menyentuh dadanya, lalu menarik napas yang panjang saat wali kelasnya, Bu Bahar, sedang membacakan nama sejumlah siswa yang masuk dalam peringkat sepuluh besar dan peringkat sepuluh terakhir.
Beliau membacakan peringkat siswa terbelakang dulu. Tujuh nama telah disebut, Nayla lumayan bisa bernapas karena lolos.
Kini, tinggal tiga nama lagi yang harus wanita paruh baya itu sebut untuk beralih menyebutkan sepuluh nama peringkat tertinggi di kelas.
Deg.
Deg.
Deg.
"Andrio Dermata," sebut Bu Bahar sambil menyerahkan rapot sang pemilik nama. "Belajar yang rajin lagi ya, Nak."
Tangan Nayla terasa makin dingin. Ingin sekali dirinya pingsan saat itu juga. Hitung-hitung sebagai pengalaman untuknya yang tidak pernah merasakan pingsan.
Dua nama lagi, please bukan gue, please! batin Nayla.
Nayla menutup matanya dan mencoba untuk mengatur napas diam-diam agar Sarah tidak menyadarinya. Sungguh keadaan yang sangat menegangkan. Nayla terus berdoa dalam hatinya agar namanya tidak disebut karena di sinilah ketentuan hidupnya dimulai.
Ia tidak mau berakhir dengan Agung.
Sama sekali tidak!
Degup jantung Nayla sudah terasa seperti acara beduk sahur atau pertandingan pacuan kuda di mana kaki kuda yang berlari menyentuh tanah hingga menghasilkan bunyi gedebuk yang nyaring. Jantungnya terus berpacu, bertalu-talu. Nayla merasakan keributan tersendiri dalam dirinya.
Nayla kontan memikirkan hal yang akan ia lakukan ketika namanya disebut di antara dua nama peringkat terakhir itu. Mungkin ia tidak akan pulang hari ini, kabur, menggembel, atau tidur di sekolah. Pokoknya, ia tidak ingin pulang ke rumah.
"Frissy Anita dan Fajar Pranata," ujar Bu Bahar yang membuat Nayla bisa bernapas lega seketika.
Beduk sahur dan pacuan kuda itu akhirnya berhenti di dalam diri Nayla. Gadis itu pun dapat mengembuskan napas lega, terdengar seperti orang yang habis berlari sekian putaran di lapangan. Ia jadi sesak napas sendiri, memancing perhatian Sarah yang kontan melotot.
"Sekarang Ibu akan membacakan sepuluh nama siswa peringkat tertinggi." Bu Bahar melanjutkan kalimatnya, membuat Nayla kembali tegang lagi. "Peringkat sepuluh...."
Oke, udah lulus sepuluh terbelakang, Ya Allah semoga Nayla masuk, please!
"Na-uhuk, uhuk, maaf Ibu batuk."
Nayla melotot dan sangat mengharapkan namanya disebutkan. Ia refleks mengatupkan bibir dan menyandarkan kepala di atas meja. Degup jantung bagai beduk sahur serta pacuan kuda itu terjadi lagi. Nayla menutup matanya.
"Nadia Ekazdiva."
Tubuh Nayla terasa dingin seketika. Itu bukan dirinya. Habislah harapan. Namun, dalam hati ia meyakinkan bahwa ia mungkin bisa mendapatkan peringkat di atas peringkat sepuluh.
"Peringkat sembilan."
Deg.
"Na...."
Nayla berharap lagi.
"Nazaruddin Jafaryo."
"Ah!" Nayla menjambak poninya. Percuma saja ia berharap, mustahil pasti. Ia tidak akan masuk ke peringkat sepuluh besar, tapi setidaknya ia juga tidak masuk ke peringkat sepuluh terakhir di pertengahan semester ini.
Intinya gue lolos dari Agung nyebelin, batin Nayla terus dalam hati, lega.
"Peringkat delapan. Adibadyo Pratama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Heiyo Nayl!
Ficção AdolescenteNayla merasa dirinya jelek, lusuh, gadis pemalas, pembangkang, dan beban orang tua. Ejekan dan bully dari teman-teman sudah menjadi makanan sehari-hari. Proses belajarnya di sekolah juga tidak berguna, tidak masuk di otak, dan tidak ikhlas. Nayla te...