"Masih belum bisa nulis ya Nayl?" Pertanyaan Rangga itu membuat Nayla mengernyitkan dahi. Sambil menulis nama Nayla, laki-laki berkacamata itu sesekali melirik.
Nayla tersenyum. "Bisa, sih. Yah, lo tau lah ya."
Rangga mengangguk saja, seolah paham maksud Nayla. Ia tahu pasti luka di tangan kanan Nayla, juga tahu seberapa bisa perkiraan Nayla merenggangkan tangannya. "Nih, udah gue tulis," katanya sambil menunjuk nama Nayla yang berada di urutan ke enam.
"Makasih." Nayla berbalik cepat-cepat.
"Eh Nayl."
Gesit, Nayla menoleh. Ia terlihat tak nyaman jika harus berbicara dengan Rangga lama-lama. Semoga saja laki-laki ini tak berbasa-basi.
"Pulang bareng mau?"
Nayla menggeram dalam hati. "Ehm kayaknya ...."
"Ada yang pengin gue omongin."
Nayla melirik ke segala arah yang dapat membuat dirinya tenang, asal tidak menatap mata Rangga. "Ngomongin apaan ya?"
"Pengin bahas aja, sesuatu yang ganjel selama ini," jawab Rangga. "Keberatan nggak?"
Nayla menatap serius ke arah Rangga di hadapannya. "Seberapa penting?"
"Penting bagi gue."
"Sebenernya gue enggak mau."
"Oh ya udah, nggak pa-pa." Rangga melangkah mundur, hendak berbalik.
"Bentar!" Nayla menahannya. "Oke, gue mau. Hari ini pulang cepet juga."
Rangga tersenyum mendengarnya, lalu kembali ke lapangan. "Gue kelarkan ini secepetnya."
Raffael yang sibuk memunguti dedaunan kering sempat beberapa kali mencuri pandang ke arah mereka. Sebenarnya, dalam benak ia memiliki rasa tidak terima bila dirinya diam saja. Selalu ada hasrat untuk menyahuti Rangga.
Namun, jika ia tidak menahan sikapnya itu, takut akan berdampak ke batin Nayla lagi. Maka, Raffael putuskan untuk berdiam dan menghalangi siapapun dari Gang Apollo yang hendak menyahut seperti biasa.
Berikan Rangga kesempatan.
* * * * *
Pandangan Nayla menerawang ke sekeliling kafe ini, tempat Rangga mengajaknya.
"Pesen apa?"
"Ngikut."
"Yoi." Setelah memesan dan ditinggal berdua, Rangga mulai berbicara, "Lo nggak usah takut. Ini tempat gue nyari ide pementasan atau film pendek baru, btw." Ia berkata dengan dibuat senyaman mungkin agar Nayla betah.
Nayla mengangguk saja, merasa tidak penting juga.
"Gue bingung harus mulai dari mana."
Nayla kini menaikkan sebelah alisnya. "Orang yang jago public speaking kayak lo masih bingung? Ini Nayla, btw."
Rangga tersenyum semringah. "Nggak jago, cuman udah tersusun aja kalimatnya." Ia pun menegakkan tubuhnya. "Gue masih mau bahas apa yang terjadi sama lo akhir-akhir ini. Lo merasa nggak pa-pa kalau gue bahas itu?"
Nayla terdiam sejenak.
"Ya sudah, nggak usah aja dulu Nayl—"
"Gue bakal pindah cepet atau lambat kalau gue ngerasa nggak enak lagi di sini," ujar Nayla, "mana tau kalau ternyata ini jadi pertemuan terakhir gue sama lo. Jadi, lo ngomong aja, nggak pa-pa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Heiyo Nayl!
Teen FictionNayla merasa dirinya jelek, lusuh, gadis pemalas, pembangkang, dan beban orang tua. Ejekan dan bully dari teman-teman sudah menjadi makanan sehari-hari. Proses belajarnya di sekolah juga tidak berguna, tidak masuk di otak, dan tidak ikhlas. Nayla te...