"Saya itu nggak betah di rumah karena ada monster itu, Bu. Dia bener-bener kayak ratu, malas kerja, semuanya saya. Bahkan masih sekolah pun semuanya saya. Padahal dia kerjaannya cuman jadi guru SD, Bu, pulang cepet dan masih honorer lagi. Saya rasa dia nikah sama bapak saya biar ada yang bisa dijadiin kuda tunggangan hidup aja," jelas Nayla.
"Makanya saya lebih milih kerja dan bolos sekolah. Karena kalau sekolah, capeknya lebih. Udah gitu pulang juga sama lebihnya. Apalagi dulu, setiap pagi saya selalu jalan kaki, padahal rumah saya itu jauh banget," sambungnya, masih meluapkan isi hati.
"Dulu? Berarti sekarang kamu dapat tumpangan dong?" tanya Bu Titi tentunya dengan ekspresi serius. Setelah hampir setengah jam menasihati Nayla, wanita itu akhirnya mencapai titik jenuhnya.
"Iya, dari monster."
"Duh Nayla, beliau ibumu. Jangan menjelek-jelekkan gitu, dong."
"Lah, memang dia monster kok, Bu?" Nayla memundurkan kursinya dan melipat kedua tangan di depan dada. "Memang kenyataannya begitu kok, Bu! Saya nggak mau ya manggil dia pake panggilan aneh-aneh. Mama misalnya, haduh!"
"Asst, sst! Sudahlah, Ibu tidak ingin membahas kejelekan ibumu itu." Bu Titi kini berdiri dan mengelilingi Nayla.
"Nayla ...," panggilnya dengan nada yang dibuat halus. "Apa cita-cita kamu?'
"Punya banyak duit."
"Ya semua orang pasti begitu. Apalagi?"
"Masuk surga, Bu."
Bu Titi berdecak. "Yang lain? Jawab lebih spesifik!"
"Ya, yang tadi Bu, punya banyak duit," jawab Nayla santai.
"Kalau udah punya banyak duit kamu mau apa, Nayl?" Bu Titi kini mengusap kepala Nayla.
"Palingan kabur dari rumah."
"Kalau kamu udah kabur dari rumah, kamu mau ngapain? Nikah sama pacar kamu?" tebak Bu Titi asal, kontan membuat Nayla melototkan mata.
"Saya nggak bucin Bu, iyuh! Saya juga masih jelek. Saya orangnya totalitas Bu, tunggu bener-bener banyak uang dan disegani sama siapa aja, baru saya pilih jodoh," jelas Nayla dengan ekspresi sombongnya.
Yah, ia sudah biasa bercerita panjang dan lebar bersama guru BK sejak SMP sehingga ketika menghadapi Bu Titi, ia bisa bersikap biasa saja dan tak ada yang perlu ditakutkan.
"Saat ini kamu punya harapan atau keinginan nggak, sih?"
"Yang tadi, Bu. Yang punya banyak duit," jawab Nayla. "Ibu ini gimana ya, Bu? Kok pembahasannya bulet aja gitu nggak berujung, kayak masalah hidup saya."
DAK!
Bu Titi tiba-tiba menepuk mejanya dengan keras dan menarik kursi Nayla ke hadapannya yang saat itu berdiri di samping meja. "JAWAB JUJUR!" Ia kembali gunakan tatapan matanya yang tajam.
Nayla hanya mengerutkan dahi. Terjadi lagi ke sekian kali di ruangan ini.
Bu Titi menghela napas, lelah menghadapi Nayla. Ia memijat pangkal hidung dan kembali duduk ke kursinya dengan tenang. "Ya tinggal kasih tahu apa keinginan kamu selama ini. Kok susah banget? Kamu memang pura-pura bodoh dan nggak paham atau memang beneran?"
Nayla diam.
"Apa keinginan terbesarmu? Kalau jawab ngasal lagi saya nggak bakal biarin kamu keluar dari ruangan ini," ujar Bu Titi dengan nada yang dibuat lebih halus lagi.
"Saya pengin ketemu ibu kandung saya."
* * * * *
Setelah mendapat ceramah dan nasihat yang cukup panjang dari Bu Titi akhirnya Nayla mendapat hidayah untuk pergi ke perpustakaan di jam istirahat kedua ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heiyo Nayl!
Teen FictionNayla merasa dirinya jelek, lusuh, gadis pemalas, pembangkang, dan beban orang tua. Ejekan dan bully dari teman-teman sudah menjadi makanan sehari-hari. Proses belajarnya di sekolah juga tidak berguna, tidak masuk di otak, dan tidak ikhlas. Nayla te...