Nayla duduk bersebelahan dengan Raffael yang menjadi pemisah.
Bu Titi dan Bu Nursiah menatap keduanya dengan kecewa. Nayla lagi, Nayla lagi yang masuk ke ruangan ini. Lebih parah, sekarang ia bersama sahabatnya sendiri. Tak habis pikir. Bu Titi pun bertanya mengenai masalah apa yang terjadi pada keduanya.
Perdebatan antara Nayla dan Sarah terjadi lagi.
Sekarat telinga Raffael yang menjadi penengah duduk mereka ini. Ia pun menggelengkan kepala. Ternyata begini repotnya jika harus bolos pelajaran dan menamani adik tercinta. "Woi woi udahan ngapa, debat teros! Berisik!"
Nayla menunjuk Sarah. "Dia mulai duluan! Dia jauhin saya, maksudnya apaan?"
"Lo caper sana-sini maksudnya apaan?" Sarah membentak balik Nayla.
"Loh! Selama ini gue nggak pernah caper. Orang-orang aja yang terus kepoin dan gangguin gue kayak kakak lo ini. Kalau gitu, tanyalah ke kakak lo sendiri kenapa sibuk banget nyautin gue di mana-mana!" Nayla membela dirinya.
"Lah kok gue, sih?" Raffael menggelengkan kepala. "Eh, lo ini nggak sadar diri juga ya Nayl. Lo itu udah dip—eh. Lupa ampean sama ruangan ini."
Bu Titi dan Bu Nursiah menyaksikan perdebatan mereka dengan saksama. "Terusin," celetuknya, "hmm bagus."
Raffael langsung memisah Nayla dan Sarah untuk duduk dengan rapi. "Duduk eh duduk, nggak keluar-keluar nanti kita dari sini."
"Jadi masalah ini bermula dari Sarah yang iri terhadap Nayla. Sarah iri karena Nayla dapat begitu banyak perhatian?" Bu Nursiah mulai mewawancarai.
"Iya bu, Sarah iri sama saya. Soalnya saya bisa, dia nggak bisa. Jadinya dia jauhin saya pakai cara yang 'nggak banget'," jawab Nayla tak memedulikan perasaan Sarah, "dia udah berapa kali saya tanyain saya salah apa, malah didiamin dan dihujat habis-habisan. Kan, nggak jelas memang bu. Baru tuh, tadi, tumbenan banget dia ajak saya bicara. Saya nggak mau lah. Eh, saya malah ditampar bu sama Sarah!"
Raffael mengernyitkan dahi. "Parah juga lo Rah."
"Raffael, jangan menghakimi terlebih dahulu!" tegur Bu Titi. "Nah, sekarang, saya mau dengar cerita menurut sudut pandang Sarah."
"Saya nggak suka bu sama Nayla dari awal," ujar Sarah sangat terlihat yakin.
"Lah?" Raffael menoleh, terkejut. "Gimana ceritanya?"
"Kamu serius Sarah?" Bu Titi menurunkan kacamatanya untuk menatap Sarah dengan pandangan biasa. "Saya pikir dia sahabat kamu."
"Iya saya nggak seneng sama Nayla dari awal. Nggak banget. Saya nggak pernah anggap dia sahabat. Dia aja datang ke saya pas lagi kesusahan. Apa-apa minta tolong ke saya," jelas Sarah yang sepertinya jujur.
Nayla merasakan sesuatu menusuk jantungnya.
"Lah, terus kenapa—"
"Eits, Raffael, nanti dulu. Biar saya saja yang bertanya. Sarah, silakan dilanjut."
Sarah mengendikkan bahu. Air mukanya terlihat keruh. Alisnya pun bertaut selama ia menjelaskan. "Dia kasar dan nggak jelas juga bu. Saya mau berteman sama dia ya karena saya nggak ada teman bu. Sekarang, tiap hari makin jengkelin aja. Saya capek."
Nayla tidak percaya bahwa selama ini Sarah adalah teman palsu yang dia punya. "Tapi lo ngasih naungan ke gue, tuh, maksudnya apa?"
"Itu karena gue butuh permbantu! Lo sadar diri," sergah Sarah yang seketika membuat Raffael menganga. Tak disangka, Sarah justru lebih berharap Nayla menjadi babu rumahnya.
"Sebentar." Bu Nursiah menjeda. "Naungan di sini, maksudnya naungan yang bagaimana?"
"Nayla pas kabur dari rumah, nginapnya di rumah saya bu. Cukup lama untuk menghindar dari bapaknya. Seharusnya dia terima kasih banyak," ujar Sarah menatap Nayla dengan sinis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heiyo Nayl!
Teen FictionNayla merasa dirinya jelek, lusuh, gadis pemalas, pembangkang, dan beban orang tua. Ejekan dan bully dari teman-teman sudah menjadi makanan sehari-hari. Proses belajarnya di sekolah juga tidak berguna, tidak masuk di otak, dan tidak ikhlas. Nayla te...