***
Hening. Lagi.
Selalu seperti ini saat keduanya terjebak di dalam mobil bersama. Tidak ada pembicaraan, tidak ada obrolan, tidak ada sisa-sisa keakraban yang membekas. Seolah, kedekatan mereka semalam hanyalah ilusi semata.
Suara deru halus mesin mobil bergabung bersama mobil lainnya di jalan raya. Keluar dari lingkungan komplek elit dengan pengamatan ketat.
Tidak ada lagi yang berbicara sejak semalam. Sejak Abhi menggumamkan kalimat misterius dengan senyum tak kalah misteriusnya pula.
Dan Salsha juga malas memulai. Dia seolah belum siap, belum mau jika harus mengetahui kepribadian pria itu yang disembunyikan sedemikian rupa.
"Kita ke rumah dulu. Saya harus menjemput Sevanya." Akhirnya, Abhi mengeluarkan suara setelah beberapa menit bungkam.
Salsha diam saja. Malas menanggapi atau berbasa-basi.
Sampai setengah jam kemudian, dia kembali ke rumah besar dengan gerbang hitam ini. Dia bisa melihat Seva dengan hijab hijau daunnya keluar dari pintu dengan senyum manis.
Salsha ikut turun sesaat setelah Abhi. Menyambut pelukan Sevanya dan cipika cipiki. Khas basa-basi seperti biasa.
"Gimana kabarnya? Baik?" tanya Seva setelah mengamati penampilannya sekilas.
Salsha balas tersenyum, sebelum kemudian mengangguk. "Baik, Mbak."
"Alhamdulillah kalau gitu." Kepala Sevanya menoleh pada sosok lain yang berdiri di belakang mereka. Senyumnya tersungging lebih lebar lagi. "Mas," dia mendekat, meraih tangan kanan Abhi sebelum menciumnya. "Aku kangen."
Salsha membuang wajah saat tidak sengaja mendengar bisikan Sevanya itu. Entah kenapa, rasa bersalah mendera dadanya tiba-tiba.
***
Pukul sepuluh lewat empat lima, Salsha sudah melihat Endra di kursi tunggu rumah sakit. Pria itu spontan berdiri saat melihat kedatangannya.
"Cha," panggilnya dengan wajah cemas.
"Nia udah masuk ruang operasi?" tanya Salsha. Dia memang terlambat sampai karena kemacetan di jalan raya yang melanglang buana.
Dan anggukan dari Endra sedikit melorotkan bahunya. Dia tidak sempat bertemu Nia untuk sekedar menguatkan.
"Semuanya bakal baik-baik aja, oke?"
Pelukan serta bisikan Endra di bahunya sedikit menenangkan.
"Kita doain aja bareng-bareng di sini. Kita tau Nia kuat," lanjut pria itu, menuntun Salsha untuk duduk di kursi.
"Jangan khawatir, Cha. Nia pasti sembuh." Sevanya mengimbuhkan. Ikut duduk di sisi Salsha yang lain juga ikut menepuk bahunya beberapa kali.
Ya, Salsha berharap seperti itu. Karena kesembuhan Nia adalah yang paling utama dari semua ini. Adiknya, satu-satunya keluarga yang dia miliki, Salsha akan mengusahakan apa saja untuk menebus kesehatannya.
Dia mengukir senyum tipis. "Thank's, Mbak."
Sepuluh menit berlalu dengan hening sampai Salsha merasakan kandung kemihnya yang penuh. Dia berdiri, memancing perhatian tiga orang yang sedang bersamanya.
"Gue ke toilet dulu, Mbak," pamitnya dengan mata menuju ke arah Seva.
Sevanya menjawab dengan anggukan dan senyum tipis.
Salsha beranjak. Berjalan menuju toilet dengan langkah yang entah kenapa terasa goyah.
Dia bahkan bisa melihat wajahnya sendiri yang tampak pucat saat mematut pada cermin di toilet setelah membasuh wajah.
Perasaannya kacau tidak karuan. Khawatir dan cemas. Menunggui adiknya yang sedang melakukan operasi dan merenggang nyawa membuat perutnya mual dan perasaan campur aduk bersarang di dadanya.
Kemudian turun pada perutnya dan merasa penuh. Salsha tidak tahan untuk tidak memuntahkan semuanya di wastafel. Menyakitkan. Namun sesak itu sedikit hilang.
Setelah dirasa cukup dan tidak ada lagi rasa berdesakan di perutnya, Salsha menghela napas sekali sebelum memutuskan keluar dari pintu toilet yang sepi ini.
Lalu dia melihat pria itu di sana.
Abhinarko Subrata. Dengan kemeja birunya yang lengannya digulung sampai siku, berdiri menyender pada dinding di depan toilet. Dan langsung menegak begitu melihatnya keluar.
Salsha menatap pria itu dengan penuh tanda tanya pada matanya.
"Kamu ... Baik-baik aja?" tanya pria itu setelah berdiri di hadapan Salsha.
Gadis itu mendongak karena perbedaan tinggi badan mereka yang timpang. Lalu mengangguk, "Saya nggak apa-apa."
Dan sorot tidak yakin itu masih terlihat dari mata Abhi saat dia memperhatikan wajah Salsha yang pucat. Dengan gerakan impulsif, dia menggerakkan kedua telapak tangannya untuk menyentuh kedua bahu Salsha, lalu sedikit membungkuk agar matanya bisa menemukan mata gadis itu.
"Percaya sama saya," Suaranya tampak penuh penekanan dan meyakinkan. "Nia pasti kuat. Dia pasti bisa melewati operasinya dengan baik. Dia pasti sembuh, Cha. Oke?"
Sambil menggigit bibir, Salsha mengangguk. Matanya yang berkaca-kaca tidak bisa menyembunyikan kegundahan yang melanda dadanya.
Dan Abhi yang melihat itu, dengan gerakan impulsif, lagi, menarik perempuan itu. Menangkup kepala belakang Salsha agar merapat pada dadanya. Lalu berbisik, "Nangis aja."
Benar saja, Salsha langsung sesegukan terbekap dadanya. Kedua tangan kecilnya mencengkeram bagian pinggang kemeja Abhi dengan erat.
Namun rasanya lega. Disaat dari tadi dia sudah berusaha semaksimal mungkin menyembunyikan kecemasan dari semua orang sampai dadanya sesak, dan kemudian datang orang lain memberikan pelukan, perasaan cemas dan campur aduk itu berkurang sedikit demi sedikit.
***
Namun ternyata perasaan lega itu hanya sampai di sana. Saat beberapa jam kemudian, Dokter menggelengkan kepala saat Salsha menanyakan kondisi Nia.
Nia-nya, adiknya yang berharga, tidak bisa diselamatkan.
***
Gantian, Pak Abhi dulu yang muncul hehe.Vidia,
03 Januari 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Wedding [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] *** Menurut Salsha, hal yang paling berharga setelah dia kehilangan harta, warisan, atau bahkan orang tuanya adalah Nia. Adik semata wayang dan juga keluarga satu-satunya yang dia miliki. Saat usianya 20, kehidupannya jungkir b...