***
Pukul delapan pagi, setelah selesai mandi dan sudah wangi, Salsha bergerak menuruni tangga. Rasanya dia ingin sekali bersantai di ruang keluarga dan menonton televisi di sana. Membunuh kebosanannya yang biasanya hanya berdiam di dalam kamar.
Mengingat hal yang Abhi janjikan masih lima jam dari sekarang, dia masih punya waktu untuk berleha-leha.
Namun ternyata khayalan tidak sesuai dengan kenyataan. Dia kira, di pagi hari seperti ini, tidak ada lagi keluarga Subrata yang berada di rumah, mengingat semuanya memiliki pekerjaan masing-masing yang menyita banyak waktu. Tapi ternyata, Riana Subrata masih duduk di sana. Menyilangkan kaki sambil fokus ke acara kuliner. Bahkan hanya menonton TV saja, gayanya tetap elegan.
Kepalang basah, Salsha mendekat dengan hati-hati. Salsha tahu, meskipun tampak galak dan sulit didekati, mertuanya ini merupakan sosok yang perhatian. Salsha pura-pura tidak tahu saja bahwa selama tinggal di sini, Rianalah yang selalu memastikan takaran gizi, vitamin dan susu untuk Salsha kepada para pelayan. Diam-diam juga, Salsha sering memergoki Riana memeriksa kamarnya setiap malam, dan Salsha memilih pura-pura tertidur.
Salsha duduk di samping Riana dalam diam. Ikut menonton acara kuliner meskipun mertuanya tampak enggan menanggapi keberadaannya sama sekali.
"Susu mu sudah diminum?" tanya Riana dengan nada sinis.
Salsha mengangguk. "Mbak Muti selalu tepat waktu siapin nutrisi saya, Bu." Dia ingat kapan hari, di mana Riana mengomeli Muti yang telat membuatkan susu untuknya. Jadi, dia tidak mau Riana mengomeli pelayan malang itu lagi.
Riana mendengus. Wanita yang masih tampak cantik di usianya yang ke lima puluh lima itu tetap menatap layar televisi dengan datar. "Semalam Abhi pergi?"
Terdiam sesaat. Salsha menggumam. "Iya. Pulang." Entah kenapa, perasaan tertohok itu kembali merajai hatinya.
"Bahkan kamu yang lagi hamil pun, nggak bisa membuat Abhi meninggalkan wanita itu." Perkataan Riana berkali lipat lebih tajam. "Saya nggak tahu, apa yang dilihat Abhi dari sosok perempuan nggak berguna seperti Sevanya."
"Dia istrinya. Wajar kalau Pak Abhi mencintai Mbak Seva dan menerima kekurangannya." Dia merasa tidak terima Riana memandang rendah kaumnya sedemikian rupa. Bagaimanapun, tidak ada wanita yang tidak berguna, mau dia mempunyai anak, atau tidak.
Namun tawa meremehkan Riana menyambut setelah Salsha menyelesaikan kalimatnya. Wanita dengan rambut hitam sebahunya yang menakjubkan itu menoleh, menatap Salsha dengan matanya yang tajam. Salsha jadi tahu, dari mana mata tajam milik Abhi berasal.
"Kamu tau? Wanita yang sudah menikah itu milik suaminya, sedangkan laki-laki yang sudah menikah tetap milik Ibunya. Saya cuma merasa nggak terima perempuan itu merebut semua perhatian Abhi, padahal saya yang membesarkannya sejak kecil." Riana membuang muka, sekilas Salsha bisa melihat luka di kedua matanya. "Saya cuma nggak terima Abhi lebih memperioritaskan seseorang yang bertemu dengannya disaat dia sudah tampan, mapan, dan sedewasa ini dibanding Ibunya sendiri."
Meski ucapan itu diucapkan dengan nada datar tanpa perasaan, Salsha tahu bahwa ibu mertuanya ini sedang sekuat tenaga menyembunyikan kelamahannya.
Dengan sedikit memberanikan diri, Salsha menggeser tubuhnya mendekat. "Memang, apa yang Pak Abhi lakukan sampai Ibu merasa nggak dipedulikan seperti ini?"
Riana menyangga siku di sisi sofa dengan tangan mengurut kening. Tatapannya ke depan dia menjawab, "Saya sakit. Pernah sekali serangan asma saya kumat, saya sampai rawat inap di rumah sakit. Suami saya dan Edwyn lagi di Riau merintis bisnisnya, Ranis jarang di rumah dan memilih menghabiskan waktu ke luar negri. Saya sendirian. Cuma Abhi yang bisa menemani saya waktu itu, tapi itupun nggak terjadi karena dia memilih membujuk istrinya yang merajuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Wedding [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] *** Menurut Salsha, hal yang paling berharga setelah dia kehilangan harta, warisan, atau bahkan orang tuanya adalah Nia. Adik semata wayang dan juga keluarga satu-satunya yang dia miliki. Saat usianya 20, kehidupannya jungkir b...