Jika; 21

5.3K 764 73
                                    

***

"Aku nggak tau kalau Mama juga doyan baksonya Asep." Abhi melirik sang Ibu yang sudah bersidekap di sampingnya, di atas sofa sederhana milik Asep sedangkan si empunya rumah sibuk berkutat membuat bakso.

Riana mendengus, melirik Salsha sekilas wanita itu menjawab, "Istrimu ngidam bakso. Sebagai suami yang katanya bertanggung jawab, seharusnya bukan Mama yang nganterin dia ke sini." Kalimatnya mengandung bubuk bon cabai level seratus.

Salsha yang duduk di sisi lain Riana sampai merintis mendengarnya. Dia mendongak saat Riana tiba-tiba saja berdiri.

"Saya harus memastikan bakso yang dibuat Asep aman atau nggak masuk ke perut kamu. Saya nggak mau ambil risiko membahayakan cucu saya, meskipun kamu ngidam," jawabnya sebelum masuk ke dapur milik Asep.

Meninggalkan dua orang yang masih duduk canggung di tempat masing-masing. Salsha malas memulai pembicaraan. Mengingat pria itu yang dengan mudah meninggalkannya semalam, dia masih kesal. Meskipun dia tahu dia tidak berhak.

"Saya nggak tau kalau saya juga ngidam." Abhi berkata lirih. Bibirnya membentuk senyum sempurna. Mata indahnya melirik ke arah perut Salsha dan senyumnya terkembang makin indah. "Saya kira kangen sama Ranis, ternyata bayi saya juga menginginkan hal yang sama."

Salsha menanggapinya dengan senyum tipis, sebelum kemudian diam-diam, tangannya mengusap pelan perutnya yang rata di balik kain satin yang kini dipakainya. Dia juga tidak mengerti dengan kebetulan ini. Sedemikian erat kah ikatan batin janin di perutnya ini dengan ayahnya?

"Bapak nggak ke kantor?" tanya Salsha menyadari pakaian lelaki itu yang tampak kasual. Tidak ada kemeja dan celana bahan seperti biasa. Hanya kaus hitam, juga celana khakinya yang juga hitam.

Abhi menoleh sambil mengangkat alis, sebelum kemudian menggeleng. "Kan mau nganterin kamu ke tempat Endra." Nada bicaranya terdengar riang tanpa riak sama sekali. Berbeda sekali dengan semalam, yang mana ekspresinya mendadak keruh jika nama Endra disebut.

"Bapak janjinya jam makan siang."

"Nggak bisa. Jam makan siang nanti Sevanya mau ke kantor."

Oh, Kenapa Salsha sampai lupa dengan rutinitas kedua insan itu? Pastinya pria itu tidak mau melewatkan makan siangnya yang berharga hanya untuk menemaninya bertemu dengan Endra, kan?

"Saya sendiri aja kalau gitu." Salsha mengambil keputusan. Dia tidak ingin lebih merepotkan. "Bapak berangkat ke kantor aja."

"Nggak bisa gitu." Kepala Abhi menggeleng keras kepala. "Saya udah di sini. Lagian apa bedanya kalau saya mengantar kamu sekarang, atau nanti siang?"

Salsha menatap tajam. Bibirnya menipis saat menjawab, "Bedanya, sekarang Endra nggak mungkin bisa ditemuin karena dia masih kerja."

Endra bekerja sebagai sales marketing di sebuah perusahaan berkembang. Posisinya yang tidak seberapa akan semakin gawat kalau Salsha memintanya membolos sekarang. Tidak ada waktu untuk Bertemu Endra selain jam makan siang, atau saat malam hari sekalian.

Tidak ada sahutan dari Abhi setelahnya. Salsha membiarkan. Dia bersedekap sambil menyandarkan kepalanya ke sofa. Dalam hati menggerutu kenapa ibu mertuanya lama sekali di dalam sana.

"Ya udah, nanti siang saya antar," kata Abhi kemudian.

Salsha tertawa miris saat menyadari kalimat itu diucapkan dengan nada nelangsa seolah tidak punya pilihan lain. Seolah, Salsha memaksanya. Seolah, Salsha menjadi penghalang antara makan siangnya dengan Sevanya. Lucu sekali.

"Nggak usah, Pak. Saya masih ingat jalanan Jakarta, kok." Dia tentu menolaknya, akan sangat tidak tahu diri kalau sampai menerima tawaran dengan nada dipaksakan itu.

Second Wedding  [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang