Second Wedding | 35
***
Saat pertama kali aku melihat Nenek, air mataku sudah berkaca-kaca. Kupeluk erat tubuh rapuh yang terbaring di ranjang VVIP rumah sakit itu.
“Nenek kangen, Cha ....” Suara rentanya seolah menusuk kalbu.
Aku mengeratkan dekapan. Berusaha menekan perasaan bersalahku yang teramat sangat. “Cacha juga ... Maafin Cacha karena nggak perhatian sama Nenek selama ini.”
Usapan lembut di kepalaku membuat tangisku semakin menjadi. Ini adalah pelukan yang dulu selalu diberikan Nenek saat remaja. Pelukan hangat yang selalu aku tepis, tapi juga sangat aku rindukan.
“Nenek juga sayang, maaf karena kami nggak ada di samping kamu saat kamu kehilangan Nia ....”
“Nenek datang, Cacha tau,” sahutku sambil sedikit merenggangkan pelukan. Ku tatap wajah tua yang selalu tampak hangat itu, wajah yang selama lima tahun ini tidak pernah aku lihat.
“Riana Subrata bilang, kamu sudah menikah dengan putranya? Kenapa diam-diam?” Tangannya yang sudah dipenuhi keriput menangkup pipiku.
Pertanyaan itu membuatku terdiam. Bingung ingin menceritakan semuanya atau tidak. Karena memang, pernikahan di antara aku dan Mas Abhi bukanlah pernikahan seperti pada umumnya.
Dan karena aku tidak mau menambah beban pikiran nenek yang sedang sakit, aku memutuskan menjawab, “Cacha nggak mau pesta yang megah-megah, Nek. Sederhana aja.”
Nenek tersenyum lembut. “Asal putra Subrata itu sayang sama kamu, Nenek sudah seneng ....”
Dan saat waktu yang diberikan dokter menjenguk nenek habis, aku memutuskan keluar. Menemukan suamiku yang duduk menunggu di sana. Senyum hangatnya menenangkan ku.
“Berangkat sekarang?” tanyanya.
Aku mengangguk. Sesudah menjenguk nenek, Endra bilang kalau Om Indra mau ketemu. Meskipun sudah cukup menyiapkan diri, aku masih tetap gugup.
Menghela napas berkali-kali, aku memasuki parkiran dan melangkah menuju mobil milik Endra yang sudah terparkir di sana. Aku masuk ke dalam bersama Mas Abhi.
Selama perjalanan, kami diam saja. Seolah mengerti kegugupanku, kedua pria itu tidak ada yang berbicara. Aku semakin gelisah saat rute yang Endra lewati adalah rute yang begitu ku kenal. Kantor Papa.
Papa mempunyai satu kantor besar yang merupakan cabang dari perusahaan tekstil nya. Atau kini bisa disebut kantor milik Om Indra.
Kami berjalan memasuki lobi besar itu dan masuk ke dalam lift setelah mendapat izin dari resepsionis.
Kantor ini sudah tujuh puluh persen berubah. Bangunannya sudah terlihat lebih mewah dan modern dengan lantai yang dulu berwarna putih netral, kini diganti dengan corak marmer kecoklatan yang elegan.
Kami sampai di lantai sembilan, Endra mengetuk pintu dan mempersilahkan aku untuk masuk seorang diri.
Aku melirik ke arah suamiku, dan hanya diberi senyum menenangkan yang seolah berkata ‘Semua akan baik-baik saja.’
Aku memantapkan langkah serta hatiku untuk masuk. Menggigit bibir ketika menemukan pria paruh baya dengan kemeja biru muda nya itu langsung berdiri menyambutku.
“Udah lama banget ya, Cha,” ujarnya untuk pertama kali. Aku bisa lihat senyum sedih di bibirnya. “Duduk dulu. Om dengar, kamu lagi hamil, jangan terlalu banyak berdiri.”
Aku menurut. Duduk di sofa yang tadi dia persilahkan meskipun ungkapannya tentang aku yang hamil sedikit berlebihan.
“Bagaimana kabarmu?” tanyanya setelah meletakkan satu teh hangat di atas meja di hadapanku.
“Kayaknya, Om udah tau.” Aku nggak heran jika Om Indra sudah menyelidiki aku terlebih dahulu sebelum bertemu. Fakta bahwa dia tahu aku hamil, padahal hari ini aku memakai sweater longgar saja sudah cukup menjadi bukti.
Wajahnya berubah sendu, tapi aku memilih memalingkan wajah dan mengabaikannya. Dia terlihat mirip sekali dengan Papa. Aku nggak mau menangis kalau memperhatikan wajahnya terlalu lama.
“Maaf untuk sebelumnya, Cha.” Dia menggumam dengan mata kosong. “Maaf juga atas kepergian Nia. Seandainya Om tidak terlalu keras, nggak akan jadi seperti ini akhirnya.”
“Om nggak perlu minta maaf untuk hal-hal yang udah berlalu.” Aku menjawab netral. Berusaha mengenyahkan dendam untuk marah dan mencaci maki.
“Om tau kalau Om salah. Mengirim kamu ke Jakarta dengan tidak berperasaan. Tapi ... Saat itu ... Situasinya sedang sulit sekali,” jelasnya. “PT Munaf Textile sedang berada diambang kehancuran setelah kepergian Papamu.
Aku tidak menjawab, tapi tetap menyimak.
Om Indra melanjutkan. “Para pemegang saham berlomba-lomba untuk mengambil alih. Tapi ada wasiat di mana Papamu, si pemegang saham terbesar menurunkan semua saham yang dia punya untuk putri pertamanya seandainya nanti dia sudah tidak ada. Om khawatir, nyawamu dalam bahaya karena permainan kotor dalam dunia bisnis adalah hal yang sangat lumrah. Untuk itu, Kakek meminta Om untuk mengambil alih perusahaan dan berusaha sekuat mungkin untuk memperbaikinya.”
Jeda, “Dan ... Om terpaksa mengirim kamu ke Jakarta karena para penggila harta itu tahu, selama kamu masih mempunyai darah Munaf, mereka akan tetap memburu kamu. Di situ, Om dan Kakek membuat rencana, kamu ingat terakhir kali saat Kakek meminta tanda tanganmu?”
Aku mengangguk karena mengingatnya. Aku tidak tahu itu tanda tangan untuk apa karena di lakukan di kertas kosong.
“Itu adalah akal-akalan Kakek, agar mereka percaya kalau kamu memilih untuk menjalani hidupmu sendiri di Jakarta tanpa memakai embel-embel Munaf di belakang namamu dan menyerahkan semua aset perusahaan serta saham yang kamu miliki untuk Om. Mereka jelas tidak bisa melawan Om karena Om juga salah satu pemegang saham terbesar di perusahaan yang Om rintis sendiri.”
“Jadi?” Aku penasaran.
“Om hanya ingin menjelaskan ke salah pahaman ini dan memohon maaf atas semuanya. Atas kepergian Nia, atas ketidak tahuan kami mengenai penyakit Nia, atas penderitaan kamu.” Dia menarik napas sejenak. “Om harus menunggu lima tahun lamanya untuk membereskan pada penggila saham itu.”
Aku ikut menoleh saat Om Indra menatapku lekat.
Dengan mata penuh keyakinan, dia menggenggam ke dua tanganku. “Jadi, mulai saat ini, Om akan menyerahkan semua aset dan saham yang memang seharusnya menjadi hak kamu. Kamu bebas mengelolanya sedemikian rupa.”
Keningku mengernyit. Apa maksudnya?
Om Indra memberiku kunci ruangan yang entah untuk apa. “Jadi, setelah perjanjian mu dengan Abhi dan istrinya selesai, setelah kamu melahirkan anak itu, kamu bisa kembali ke sini. Perusahaan ini, sudah siap menerima kamu kapan saja.”
Om Indra tersenyum lebar. Sedangkan wajahku kaku tanpa bisa tersenyum sama sekali.
Apa maksud perkataannya barusan? Kenapa dia memintaku kembali? Apa dia tidak tahu kalau perjanjian antara aku dan Mas Abhi sudah batal beberapa hari lalu saat kami sama-sama mengungkapkan perasaan?
Tapi ... Kalau memang Papa sudah mempercayakan perusahaannya kepadaku ... Bagaimana?
Mau tidak mau, aku harus menurut, kan?
Lalu bagaimana dengan Mas Abhi? Aku tidak mau juga meninggalkan Mama Riana.
Seketika, aku dilanda bimbang.
***
Up sekarang aja, deh. Jadi part depan udah masuk konflik. Sumpah aku excited banget 😆
Vidia,
03 Juni 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Wedding [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] *** Menurut Salsha, hal yang paling berharga setelah dia kehilangan harta, warisan, atau bahkan orang tuanya adalah Nia. Adik semata wayang dan juga keluarga satu-satunya yang dia miliki. Saat usianya 20, kehidupannya jungkir b...