Jika; 32

5.9K 823 59
                                    

Second Wedding | 32

***

Mas Abhi baru kembali ke dalam kamar setelah aku selesai makan dan Muti keluar. Dia masuk dengan gurat kusut yang menghias di wajahnya.

Aku ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku juga nggak mau tambah membebaninya atau merasa aku terlalu ikut campur.

Kantung mata terlihat jelas tanda bahwa dia kesulitan tidur beberapa hari ini.

“Kamu nggak ke kantor?” tanyaku tanpa beranjak dari tepi tempat tidur melihatnya membuka kaus.

Mas Abhi menoleh. “Aku mau istirahat dulu untuk beberapa hari.”

Ya, dia memang membutuhkannya.

Aku masih duduk di tempatku saat melihatnya meraih handuk dan berjalan menuju kamar mandi. Saat hendak memutar daun pintu, dia menoleh.

“Mau mandi bareng?”

Aku sudah mandi, sebenarnya. Tapi saat melihat wajahnya yang lelah, aku nggak tega buat nolak permintaannya. Aku mengikutinya masuk ke dalam kamar mandi, membiarkan dia mengisi bath up dengan busa dan air hangat.

Dia menanggalkan celananya menyisakan satu potong celana dalam yang menutupi area vital, sebelum masuk terlebih dahulu. Sedangkan aku cukup meloloskan sepotong dress rumahan dan tetap memakai bra dan celana dalam ku sebelum ikut masuk menyusulnya.

Air hangat beraroma mawar serta busa menyelimuti tubuh kami. Membuatku merasa rileks dan semakin membenamkan punggungku sampai terbenam di dadanya.

“Sebenernya, apa yang terjadi?” Aku lelah bertanya-tanya. Rasa penasaranku sudah tidak tertampung lagi. Terlebih, aku ingin mengetahui penyebab Mas Abhi sedih sampai sedemekian rupa.

Aku bisa merasakan tangannya menyelip di antara lenganku dan bertaut erat di depan perut. Hembusan napas kasarnya menerpa bahuku yang telanjang.

“Aku dan Sevanya akan bercerai.”

Jawaban itu membuatku menoleh. Aku terkejut, tentu saja. Di mataku, selama ini Mas Abhi maupun Mbak Seva menunjukkan sikap yang saling mencintai satu sama lain. Kenapa tiba-tiba ingin bercerai?

“Kenapa?” Syok, aku kembali bertanya. Menepis jemari Mas Abhi yang merayap dari perutku ke bawah. Dia nggak bisa fokus sedikit apa?

“Nanti aku ceritain.” Suaranya mulai parau. Dia mulai kesulitan mengendalikan hasratnya.

Aku menggoyangkan bahuku saat dia mulai ngendus-ngendus di sana. “Kamu ngapain, sih? Semalem udah dua kali, loh ....”

Dia mengangkat wajah dan memberi pipiku ciuman gemas. “Kalau nggak inget kata Ines, kalau Dedek nggak boleh sering-sering ditengok dulu, aku pasti udah makan kamu sekarang,” katanya tertawa di akhir kalimat.

Dokter Ines adalah dokter keluarga milik Subrata yang juga sepupu Mas Abhi. Dia seumuran sama Pak Edwyn deh kalau nggak salah. Nah, ngomongin dokter Ines aku jadi ingat sesuatu.

“Kayaknya bulan ini aku harus periksa, deh,” kataku. Aku menangkup tangannya yang masih bertengger di permukaan perutku. “Kamu ngerasain juga, kan? Baru sebulan tapi kayaknya udah besar banget gini.”

“Nggak seberapa besar, kok.” Tangannya pindah beralih memijat kedua bahuku. “Tapi emang sedikit aneh kalau baru sebulan udah sebesar itu.”

“Bener, kan? Aku takut kalau ada kista apalagi tumor.”

“Sst! Nggak boleh ngomong gitu.” Dia menekan bahuku sedikit kuat membuatku geli. “Nanti aku panggil Ines aja buat mastiin. Ya?”

“Hmm.” Aku mengangguk. Sedikit menggigit bibir, aku hampir meragu ingin mengutarakan pertanyaan, “Kalau kamu sama Mbak Seva bercerai, gimana sama aku?”

Pijatan di bahuku berhenti. Aku bisa merasakan tatapannya menembus kepalaku. “Kenapa masih nanya?”

Aku berbalik sampai bunyi kecipak pada air bath up terdengar dan menatapnya dengan menyipit. “Kalau kamu dan Mbak Seva bercerai, itu artinya kamu udah nggak membutuhkan aku lagi, kan? Kamu bisa menikah sama perempuan lain yang kamu cintai dan bisa memberi kamu keturunan.”

Keningnya mendadak berkerut dalam. Dia menatapku seolah kalimat ku barusan adalah hal terkonyol yang pernah dia dengar. “Buat apa?”

“Buat apa apanya?”

Dia menghela napas. “Buat apa aku repot-repot menikahi wanita lain, sedangkan aku sudah menikahi wanita yang aku cintai dan sudah terjamin bisa mengandung anakku.”

Aku bengong. Apa arti kalimatnya barusan?

Tahu kalau aku tidak mengerti, dia terkekeh sambil mencolek hidungku dengan jari telunjuknya yang berbusa.

“Aku cinta kamu, Salsha Munaf. Perempuan keras kepala yang nyebelin. Yang sebentar lagi bakal bulet seperti beruang karena di perutmu ada anakku.”

Aku sebal mendengar kalimat terakhirnya sampai tidak bisa lagi tersipu. Dengan kuat, aku meraup wajahnya dengan tangan penuh busa. Biarin aja kalau matanya kepedesan.

Tapi bukannya kepedesan, dia malah ketawa-ketawa. Nggak kelihatan kayak orang yang sebentar lagi mau cerai sama istrinya.

***

Sudah agak siang, dia izin mau menyelesaikan urusannya sama Mbak Seva, katanya. Aku yang nggak mau terlalu kepo cuma iya-iya aja. Tapi juga diam-diam penasaran apa penyebab dua insan yang kayaknya selama ini saling cinta itu mau pisahan?

Beberapa menit setelah aku lihat mobil Mas Abhi keluar dari pintu gerbang, aku yang masih berdiri di balkon sambil menimang ponselku terkejut saat ponsel itu bergetar.

Aku mengeceknya. Telepon dari Endra. Dia sudah beberapa hari nggak menghubungiku.

“Lo ke mana, sih?” Aku langsung menyemprotnya begitu terhubung.

Nenek sakit.

Hanya dua kata dari Endra, bisa membuat ku seperti tersetrum ribuan watt listrik.

Gue balik ke Jogja saat dapet kabar beliau sakit. Mau ngasih tau lo, tapi dilarang, karena mereka tau lo masih benci banget sama mereka.” Jeda. “Tapi beberapa hari terakhir, yang Nenek panggil cuma nama lo. Gue nggak tau harus ngapain, Cha.”

Perasaanku dilanda sedih seketika. Bagaimanapun, sebenci apapun aku kepada keluarga Om Indra, tidak sekalipun aku merasakan hal yang sama untuk Nenek.

Beliau adalah orang pertama yang menangis saat aku memutuskan pergi. Membujuk dan berusaha merayuku untuk tinggal bersamanya, namun ku tolak karena harga diriku sudah diinjak-injak oleh Om Indra. Aku yang masih remaja mendadak membenci semua orang saat itu. Sejak itu aku berjanji, aku tidak mau berhubungan dengan mereka lagi.

Tapi aku tahu, Nenek selalu menanyakan keadaanku maupun Nia melalui Endra. Aku juga diam-diam membaca chat Endra yang mengabarkan tentang kepergian Nia, dan mereka datang ke pemakaman tanpa diketahui oleh ku.

Dan di saat mendengar beliau sakit, aku tidak bisa untuk merasa tidak sedih. Hatiku kosong. Aku tidak kuasa menampik lagi, kalau aku ... Juga merindukan Nenek.

Senyum cerahnya, pelukan hangatnya yang selalu diberikan untukku saat aku masih kecil, membuatku terpengaruh untuk menangisinya.

“Gimana keadaannya sekarang?” Dengan suara bergetar menahan tangis, aku bertanya.

Nggak lebih baik dari sebelumnya.” Jawaban Endra tidak membuatku lebih baik. “Dia panggil nama lo dan Nia sepanjang hari.

Tangis ku sudah tidak tertahan lagi. Aku membiarkan bulir demi bulir menetes ke pipi. Bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan?

Ini saatnya, Cha. Ada ke salah pahaman antara elo dan Papa. Ada sesuatu yang belum Papa jelasin.” Endra terdiam sesaat sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. “Kayaknya ... Lo memang harus pulang.

***

How about this part?

Vidia,
29 Mei 2021.

Second Wedding  [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang