Second Wedding | 38
***
Sudah dua minggu ini aku belajar bisnis dengan anak buah Om Indra, Mas Danis namanya. Berasal dari keluarga Brawijaya yang sama terkenalnya dengan marga Munaf.
Mas Danis berumur tiga puluh, dia pula yang membantuku mengurus sisa-sisa perusahaan milik Papa untuk dipindah tangankan. Dengan keadaanku yang sedang hamil muda, keberadaannya yang cakap cukup membantu.
"Mas," panggilku meletakkan pulpen kemudian bersidekap di atas meja kerja di rumah Kakek yang kini resmi menjadi milikku.
Mas Danis yang juga duduk di depanku, sibuk meneliti berkas-berkas di hadapannya mendongak. "Kenapa? Ada yang Mbak belum ngerti?"
Dia memang selalu memanggilku begitu meskipun sudah berulang kali aku melarang. Demi kesopanan, katanya. Meskipun aku lebih muda darinya, tapi Om ku tetap atasannya. Itu yang diucapkan Mas Danis sebagai alasan.
Aku menggelengkan kepala. "Minggu depan pernikahan Asia, saya udah lama nggak ketemu sama dia. Terakhir, kayaknya pas saya umur dua belas. Mungkin sekarang selera nya udah berubah. Mas tau, kira-kira kado apa yang cocok buat dia?"
Bisa ku lihat dahinya berkerut. Mas Danis ini orangnya pendiam dan sedikit serius. Makanya kalau bersama dia, aku kelihatan banyak bicara.
"Seingat Mbak Cacha, Asia itu gimana orangnya?"
Mataku berlari ke atas dengan telunjuk mengetuk dagu, berusaha mengingat. "Dia manis. Imut-imut lucu gitu meskipun agak bandel. Sayang banget sama adiknya." Mataku menyipit. "Siapa ya, nama adiknya saya lupa. Terus, dia bakal sebel kalau sudah diomelin Ibunya tentang tata krama atau apapun itulah saya lupa. Terus ... Apa lagi, ya?"
"Yang Mbak ingat cuma sifat basic yang biasa setiap orang punya. Nggak menunjukkan sifat asli Asia yang merujuk pada kebiasaan atau kesukaannya. Bisa diingat dengan spesifik lagi?"
Aku menatapnya dengan sebal. "Saya sama dia udah nggak ketemu hampir tiga belas tahun. Gimana bisa kamu meminta saya mengingat sifatnya secara spesifik?"
Aku bisa melihat Mas Danis mendengus meskipun sangat pelan berusaha tidak membuatku tersinggung. "Kalau begitu, kenapa nggak menghadiahkan dia dengan sesuatu yang Mbak Salsha suka? Main piano, misalnya? Kayaknya menghadiahkan satu lagu tetap akan membuat Asia terkesan."
Jariku segera berjentik di depan wajahnya. Ide bagus. Tidak sia-sia memang aku meminta pendapat Mas Danis mengenai hal ini.
"Terus, menurut Mas lagu apa yang cocok buat aku mainin di pernikahannya Asia ini?" Aku menatapnya penuh minat dengan kedua tangan yang saling bertaut di bawah dagu.
Tapi jawaban yang aku dapatkan hanyalah berupa gedikan bahu dan kalimat cuek, "Terserah aja kalau itu." Sebelum dia melanjutkan pekerjaannya yang tadi sempat tertunda karena pertanyaanku.
Kali ini, aku yang mendengus sebal.
***
Aku kembali ke kamarku setelah latihan singkat bersama Mas Danis selesai. Membersihkan tubuh sebelum menjatuhkan diri di atas kasur empuk di dalam kamar di lantai dua rumah milik Kakek ini.
Seminggu ini, bayangan mengenai Abhi sudah tidak terlalu aku pikirkan lagi karena kesibukanku. Meskipun aku menuruti saran dokter untuk tidak terlalu kelelahan karena dua bayi dalam perutku ini masih dalam masa pertumbuhan.
Tapi ... Berada di sini, aku bahagia. Aku bersyukur karena perasaan yang aku miliki untuk Mas Abhi belum tumbuh sedalam apa yang aku pikirkan.
Pria itu tidak menghubungi ku selama dua minggu ini, dan aku berterima kasih karenanya. Belum ada talak yang dia ucapkan, tapi sepertinya dia sepakat untuk berjalan sendiri-sendiri. Pernikahan kami hanya sah di mata agama, jadi aku tidak perlu repot-repot menggugatnya di pengadilan.
Saat larut dalam lamunan, aku disadarkan dengan ponselku yang bergetar panjang. Nama Mama Riana muncul berkedip-kedip di sana.
"Halo, Ma." Aku menyapa. Selama aku berada di sini, memang selalu Mama Riana yang menghubungi ku. Aku curiga beliau sudah tahu mengenai masalah yang ada di antara aku dan putranya, tapi memilih diam. Walaupun aku tahu pasti, Mama Riana pasti akan kembali membenci Mbak Seva dan memaki Mas Abhi.
"Gimana keadaan kamu? Sehat?" Suara tegasnya yang khas menjawab. Mama Riana selalu menanyakan itu di awal percakapan kami.
"Sehat, Ma. Si kembar juga." Aku mengelus perutku sambil tersenyum. "Mama nggak berniat ke sini?"
Aku bisa mendengarnya menghela napas. "Mama memang nggak berharap kamu mau kembali setelah kesalahan fatal yang sudah Abhi lakukan. Tapi, saat mendengar kamu masih mau mengharapkan Mama untuk ke sana ... Mama merasa malu."
Aku berkaca-kaca saat mendengar kalimat itu. "Ini kan, bukan salah Mama. Salsha ikhlas nerima semuanya kok, Ma. Dari awal Salsha yang masuk ke dalan keluaganya Mas Abhi, sekarang Salsha harus terima untuk pergi."
"Tapi tetap aja, Cha. Sampai kapanpun, Mama tetap nggak ikhlas melepas kamu hanya karena Abhi masih belum bisa menceraikan Sevanya."
"Seandainya Mas Abhi dan Mbak Seva bercerai sekarang pun ... Aku kayaknya nggak bisa kalau harus kembali Ma," gumamku.
Mama Riana terdiam beberapa saat. Aku bisa merasakan tarikan napasnya yang semakin cepat. "Mama ngerti. Mama berharap kamu bahagia, Salsha. Mama akan datang untuk melihat si kembar sekali-kali. Tolong hubungi kami kalau si kembar akan lahir."
Senyumku terukir tipis. "Aku pasti ngasih tau Mama."
Dan saat sambungan terputus. Aku segera membekap mulutku. Menumpahkan tangis tanpa suara.
Memang, hal tersakiti yang kini aku rasakan bukanlah perihal perilaku Mas Abhi dan keputusanku meninggalkannya, melainkan perasaan Mama Riana. Fakta bahwa aku membuatnya sedih dan mengingkari janjiku padanya membuat ku tersakiti bertubi-tubi.
***
Haiii, gimana tentang part ini?
Untuk Second Wedding, cerita akan tamat di part 40, ya. Untuk epilog aku belum tau bakal ada atau enggak.
Jadi ... Menuju dua bab sebelum tamat, boleh dong kirim vote dan komen banyak-banyak di cerita iniiii 😍
Dan untuk yang penasaran, bab 39 & 40 [End] bisa baca duluan di Karyakarsa.
Vidia,
09 Juni 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Wedding [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] *** Menurut Salsha, hal yang paling berharga setelah dia kehilangan harta, warisan, atau bahkan orang tuanya adalah Nia. Adik semata wayang dan juga keluarga satu-satunya yang dia miliki. Saat usianya 20, kehidupannya jungkir b...