Jika; 33

6.1K 896 54
                                    

Sebelum baca, follow akun wattpad Eonni dulu, Boleh?


***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


***

Sampai malam, pikiranku masih melanglang buana. Kepalaku seolah penuh. Aku khawatir sekali dengan keadaan Nenek, tapi di samping itu, bagaimana aku bisa menjelaskan mengenai keadaanku yang sudah menikah? Apa beliau sudah tahu? Mungkin saja Endra sudah memberi tahu nya, kan?

Aku masih berbaring di ranjang usai makan malam dengan kepala berkemelut saat Muti mengetuk pintu kamarku, aku mengizinkannya masuk.

"Non Salsha dipanggil Nyonya," katanya setelah aku beranjak duduk.

Keningku mengernyit. Aku belum melihat Bu Riana sejak menguping percakapannya dengan Mas Abhi tadi pagi.

Akhirnya aku menurut dengan mengikuti Muti. Benakku mulai bertanya-tanya saat Muti malah membuka pintu ruang musik milik Pak Edwyn, namun aku tidak melihat siapapun di sana.

Langkah Muti belum berhenti, aku terus mengikutinya menaiki tangga kecil melingkar yang baru kusadari keberadaannya.

Kami naik ke atas, dan di sana, aku menemukan ruangan dengan penuh gambar-gambar gedung tinggi yang lukis dengan sedetail mungkin. Ada yang merupakan hasil arsiran pensil, atau cat air yang menghasilkan gambar tiga dimensi yang menakjubkan.

Lalu saat Muti pamit mundur, aku menemukan keberadaan Bu Riana sedang duduk di sebuah sofa dengan buku di pangkuannya.

Aku mendekat saat dia mengisyaratkanku untuk duduk di sampingnya.

"Adi Wijaya Munaf barusan menelepon saya," katanya tanpa basa-basi. Adi Wijaya adalah nama Kakekku. Aku tidak heran bagaimana dia bisa langsung tahu kalau aku berada di sini, dan bahkan menelepon Bu Riana langsung. "Dia bilang istrinya sakit, dan meminta dengan amat sangat untuk membujukmu agar kamu mau pulang menemuinya."

Aku bergeming di tempat. Kalau sudah sampai menelepon dan memintaku langsung ke Bu Riana, itu artinya keadaan Nenek sangat parah. Aku sedih memikirkan itu.

"Tapi tentu saya nggak akan membiarkan kamu pulang selamanya ke sana," lanjutnya. Aku mengangkat wajah saat dia menjelaskan. "Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Ada darah Subrata di dalam perutmu, saya nggak bisa melepasmu begitu saja, kan?"

Mataku menemukan senyum lembut yang kembali tersungging di bibir Bu Riana. Perasaanku menghangat saat dia menyebutkan bahwa aku adalah bagian dari keluarga ini. Apa maksudnya ini? Apa ini artinya dia sudah memberiku restu untuk melanjutkan pernikahan ini?

Tentu, setelah pernyataan Mas Abhi di dalam kamar mandi tadi, hatiku menjadi tidak berhenti berharap. Membiarkan perasaan yang selama ini aku tahan meluap dan lepas begitu saja. Aku tidak mau menyangkalnya lagi, bahwa aku juga mencintainya. Merindukannya saat dia tidak ada, dan selalu ingin berada di dekatnya.

Meskipun ini tidak adil terhadap Mbak Seva, tapi aku tidak bisa menahan perasaanku lagi.

"Saya ingin menjenguk Nenek," ungkapku pada akhirnya. Saat menyadari tatapan Bu Riana yang berubah sedih, aku menambahkan. "Tapi saya akan pulang ke sini lagi." Aku menunduk. "Maaf kalau saya menyusahkan di saat keluarga ini masih menghadapi masalah pelik, tapi saya mencintai Mas Abhi. Saya bersumpah, ini bukan saya yang mau ambil kesempatan karena Mas Abhi mau bercerai, tapi saya memang mencintainya."

Tidak ada jawaban. Aku terus menunduk, terlalu takut mengetahui reaksi Bu Riana. Takut kalau seandianya dia tidak sudi mempunyai menantu sepertiku. Yang sempurna seperti Mbak Seva saja, dia membencinya, apalagi perempuan sepertiku, kan?

Saat benakku berkecamuk dengan pikiran buruk ku sendiri, aku merasakan usapan lembut di bahu. Mendongak, mataku menemukan bibir Bu Riana yang tersenyum tipis.

"Kalau begitu, mulai sekarang mulailah panggil saya Mama," katanya. "Dan berjanji jangan pernah meninggalkan Abhi apapun yang terjadi."

Aku masih diam, masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Riana Subrata ... Si perempuan tangguh dan arogan di depanku ini ... Mengizinkan aku untuk memanggilnya Mama?

"Mama?"

Wanita di depanku mengangguk. "Ya, begitu." Dia kemudian menjauh dan bersidekap. "Lagi pula, saya juga yakin Abhi sudah mencintai kamu jauh sebelum dia mengungkapkannya."

Aku menatap bingung. Apa maksudnya?

Dia berdiri, "Coba sini."

Aku mengekor saat langkah Mama mertuaku menuju tirai besar yang warnanya menyerupai dinding di sekitarnya.

Saat dia menarik seutas tali di pinggir tirai itu, tirai di ke dua sisi bergerak ke arah berlawanan. Menampilkan tiga lukisan besar yang membuatku takjub di tempat.

"Ini ruangan milik Abhi, dan semua yang ada di dalam sini adalah isi kepalanya," jelas Bu-eum aku akan memanggilnya Mama Riana sekarang. Dia sudah mengizinkan ku, kan?

Di dalam lukisan pertama, ada lukisan seorang wanita berambut sebahu dengan dress hitam yang elegan. Di sebelah tangannya terangkat segelas anggur. Di situ aku bisa menebak, kalau Mas Abhi melukis Mamanya.

Di gambar ke dua, sama seperti gambar yang pernah aku temukan di meja kerjanya beberapa bulan lalu namun yang ini lebih di sempurnakan. Gambar Ranisia.

Dan di gambar terakhir, aku tidak terlalu mengenali nya. Namun aku yakin itu bukan gambar Mbak Seva karena di situ, gambar seorang gadis muda dengan rambut terkuncir. Tidak ada warna, hanya arsiran abstrak yang sulit ku kenali. Namun kaus putih bermotif beruang itu, aku tahu. Itu bajuku. Aku sering sekali memakainya saat kuliah dulu, sampai sekarang aku bahkan menggunakannya untuk tidur.

"Dia membuat ini jauh sebelum kalian menikah. Saya pada awalnya nggak bisa mengenali wajahmu, tapi saat nggak sengaja melihatmu pakai kaus motif beruang saat kami ke aparatemenmu saat mendapat berita kehamilan, saya tau itu kamu." Mama Riana kembali menjelaskan. "Saya nggak tau bagaimana pertemuan pertama kalian bisa membuat Abhi terkesan, tapi saya sudah menebak, kalau dia nggak akan sulit untuk jatuh cinta sama kamu."

Mataku masih belum lepas dari siluet gadis muda yang sedang berdiri di depan sebuah bangunan, yang kuduga sebuah toko roti karena ada gambar pie di atasnya. Ke dua tangannya penuh dengan buku-buku juga kantung plastik yang menggantung di ke dua siku.

Aku seperti pernah mengalami kejadian itu, tapi tidak terlalu mengingatnya.

Aku masih bergeming tidak percaya, sebelum sentuhan lembut memeluk ke dua belah bahuku.

Suara Mama Riana terdengar beberapa saat kemudian, "Kamu sudah tau, kan, betapa tertarik nya Abhi sama kamu? Jadi, kamu akan sangat sulit jika memilih untuk meninggalkan keluarga ini."

Air mataku mengalir, namun aku tertawa. Perasaan ringan mulai membayang saat aku membalas memeluk pinggang Mama Riana.

Memangnya, siapa juga yang mau keluar dari keluarga ini di saat restu Mama mertua sudah ku kantongi, juga suami yang ku cintai?

Serta ... Buah hati yang kami nanti-nanti.

***

Gimana sama part ini?

Di karyakarsa udah ada part 34 & 35. Yg penasaran boleh bgt ke sana. Tapi kalau mau nunggu di sini juga nggak apa-apa.

Terima kasih sudah menanti. 😍😍😍

Vidia,
31 Mei 2021.

Second Wedding  [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang