Jika; 22

5.4K 811 81
                                    

***

Untuk pertama kali dalam selama berada di rumah ini, Salsha ingin sekali mensyukuri keberadaan Ibu mertuanya. Dia agak tidak menyangka beliau membolehkan Endra berkunjung kapan saja.

Ya ... Mau bagaimana lagi? Endra keluar dari istana mewahnya dan menjadi gelandangan hanya demi Salsha. Dan dia tentu tidak akan membuang Endra begitu saja hanya karena pernikahan sementara ini terjadi.

Namun masalahnya, dia harus menelan bulat-bulat rasa senang yang bersarang saat menyadari wajah masam milik Abhi. Pria itu tidak pergi ke manapun, sibuk mengekorinya dengan wajah yang sudah mirip air kali. Keruh.

"Kamu beneran ngasih alamat ke Endra?" tanyanya yang ke ... Lima? Enam? Entahlah, Salsha sudah mendengar pertanyaan itu sejak tadi.

Keduanya berdiri di samping meja makan. Dengan Muti yang mengambil alih tupperware dan segera pergi untuk meniriskan bakso.

Salsha duduk di salah satu kursi. "Hm." Dia mengulum senyum. "Ibu Riana udah izinin, kok."

Abhi mendengus. Sebelum kemudian menyusul duduk di samping Salsha. "Setelah Satria, sekarang Endra. Sedikit liar juga ya, kamu." Dia mengatakannya dengan senyum mengejek.

Salsha melotot. "Maksud Bapak apa?!"

Dengan cueknya, Abhi justru mengangkat bahu sebelum meraih ponselnya. Mengabaikan Salsha yang tampak emosi.

Sadar kalau harus mengendalikan diri, Salsha menghembuskan napas keras. Tidak boleh terpancing, karena dia tidak mau perutnya mengencang lagi seperti semalam.

Abhi yang sempat melirik pergerakan Salsha langsung bersikap siaga. "Kenapa? Perutnya sakit lagi?"

Salsha menggeleng. Menepis tangan pria itu yang hendak mendarat di atas perutnya. Rasanya malas sekali. Dia masih tersinggung atas ucapan Abhi yang menyebutnya liar.

Namun ketidak nyamanan itu akhirnya lenyap saat Salsha mencium aroma bakso yang dihidangkan Muti menggunakan mangkuk kaca di depannya. Perutnya mulai berbunyi, dia menjamin bayinya sedang kegirangan di dalam sana.

Hal itu juga terjadi pada Abhi, pria itu langsung memakan baksonya dengan potongan-potongan besar dan tampak lahap. Nikmat sekali. Sepertinya makan di saat ngidam begini terasa jauh lebih enak dari pada makan di restoran termewah sekalipun.

"Bapak bukannya nggak suka saus tomat, ya?" Salsha langsung bertanya ketika melihat suaminya menuangkam saus tomat yang juga disediakan Muti di dalam mangkuk kecil.

Seperti baru sadar, Abhi berhenti bergerak. Dia tidak merasa mual sama sekali. Bau saus tomatnya juga tidak menyengat hidungnya seperti biasa. "Kurang pedas," jawabnya tak acuh sebelum menyendok saus tomat lebih banyak sampai kuah baksonya berubah merah.

Salsha menatap pria itu terheran-heran. Sebelum kembali menikmati makanan di depannya.

***

"Bapak nggak ke kantor? Katanya Mbak Seva mau nganterin makan siang?" Salsha jengah saat mendapati Abhi masih berleha-leha di ruang keluarga padahal jam sudah menunjukkan pukul satu siang.

Pria itu berbaring di kursi sofa sambil menonton televisi. Santai sekali hidupnya, seolah dia tidak punya perusahaan yang membutuhkan tanggung jawabnya saja. "Nggak jadi. Lagian, kamu kenapa ngotot banget ngusir saya sih, dari tadi? Ini kan, rumah saya."

Memutar bola mata, Salsha menduduki kursi tunggal di sana. "Kayak Bapak sering ke sini aja."

Abhi memberengut. "Kamu kenapa sih, Cha? Kok sejak hamil malah makin nyebelin?"

"Bukannya Bapak ya, yang nyebelin?"

"Enggak, kok." Pria itu tersenyum manis, sebelum bergeser ke ujung sofa dan menepuk sisi luang lainnya. "Sini, tidur sini. Saya jinakin dulu."

Salsha mengangkat sebelah alis. Atasannya ini kenapa berubah begitu drastis, sih? Awal-awal menikah dia bersikap dewasa, Salsha nyaman karena merasa diemong. Lalu saat pembahasan mengenai Endra, dia akan bersikap seolah-olah cemburu, atau apapun itu tapi begitu menyebalkan. Kini, melihatnya tersenyum manis dengan tubuh miring ke samping sambil menepuk-nepuk sisi sofa yang kosong, kenapa semakin cringe saja?

Namun meskipun Salsha merasa aneh, canggung dan sebagainya, semua itu kalah dengan debar hangat di dada. Jantungnya bertalu memikirkan dia sebentar lagi akan masuk ke dalam pelukan atasannya. Apa ini hormon kehamilannya? Ah ... Mungkin saja bayinya yang ingin berdekatan dengan sang ayah.

Oleh karena itu, dengan ragu dia mendekat. Duduk di sisi sofa dengan mata yang masih menatap Abhi. Merasa diyakinkan, dia berbaring. Meletakkan kepalanya di lengan pria itu. Dan Salsha tidak menutupi rasa senang saat Abhi tidak perlu menunggu untuk memasukan tubuhnya ke dalam rengkuhan.

"Pak Abhi mirip kayak Ibu, ya? Suka banget nonton acara kuliner." Salsha bergerak membelakangi Abhi demi bisa menonton televisi. Membiarkan pria itu menenggelamkan wajah di bahunya, juga telapak tangan besarnya yang menangkup perut Salsha. Kehangatannya terserap sampai ke hati.

"Hm ... Soalnya liat orang makan bawaannya kenyang mulu."

"Saya malah laper." Salsha berdecak ketika merasakan perutnya kembali keroncongan melihat host gendut di sana memakan puding dengan suapan besar.

"Kamu pengen?" Abhi mengangkat kepalanya demi bisa menatap wajah Salsha. "Ngidam lagi?"

Mendengar ejekan berkedok pertanyaan itu, Salsha bangkit meraih remot dan mematikan televisi dengan kesal. "Makanya jangan nonton kuliner kalau ada saya!"

Abhi ikut bangkit. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Apa lagi yang salah? Padahal baru sesaat tadi Salsha menjadi merpati jinak, lalu kenapa berubah menjadi angsa galak di detik berikutnya?

Hormon ibu hamil sungguh mengerikan.

"Minta Muti buatin, ya ...." Dia mencoba memberikan solusi.

"Nggak perlu!" Salsha hendak bangkit menuju kamarnya namun Abhi menahan.

"Saya nggak mau anak saya ileran kalau ngidammu nggak keturutan gini."

Salsha diam. Dia menatap wajah Abhi dengan mata disipit-sipitkan. Benaknya penuh dengan pertimbangan.

Lalu, seolah mendapat ilham, satu lampu menyala di atas kepalanya. Sepertinya dia punya cara untuk membalas Abhi yang akhir-akhir ini begitu menyebalkan di matanya.

Abhi mengernyit saat merasakan wajah di depannya berubah semanis gula dengan mata berbinar-binar. Perasaan Abhi mulai tidak enak.

"Bapak yang bikin," bisik Salsha dengan nada penuh harap.

"Ha?" Tuh kan, benar.

"Pudingnya." Salsha merangkak mendekat. "Bapak yang bikin. Ya?"

"T-tapi ...." Abhi meringis. "Saya nggak bisa masak. Minta tolong Muti aja, ya? Saya yang nyuruh."

Salsha menggeleng. Bibirnya melengkung. Dengan sengaja, dia menyentuh perutnya perlahan. "Saya nggak mau anak saya ileran kalau ngidamnya nggak diturutin."

Abhi menggeram. Menahan kekesalan meluap yang membumbung di dada. Dia menghembuskan napas kasar dan kembali menatap sang istri. "Kamu cuma mau ngerjain saya, kan?"

Salsha mengangkat bahu. "Bayinya yang mau."

"Fine!" Abhi berdiri dengan kaki menghentak. Kembali, matanya menemukan Salsha yang kini menatapnya dengan raut polos tanpa rasa bersalah. Mengesalkan sekali. Untuk itu, demi menghapus ekspresi polos itu, Abhi nekat membungkuk, dengan cepat meraih tengkuk Salsha dan memberi kecupan kilat di bibirnya.

Bagus, ekspresi itu berubah kaget sebelum kemudian dikuasai emosi.

"Saya buatin dulu pudingnya buat Nyonya dan-" Mata Abhi turun menuju perut wanita itu. "Dedek tercinta." Sebelum melangkah menuju dapur dengan siulan yang menggema di ruang keluarga.

Meninggalkan Salsha yang kini tampak kesal karena pria itu mencuri ciuman dari bibirnya tanpa persetujuan.

Awas saja! Dia akan menyusun rencana pembalasan nanti.

***

Kalian tau nggak, sih? Semakin banyak cinta dan komen buat cerita ini, aku malah semakin pengin sering update. Hehe.

Makasih banget buat supportnya 😍😍😍

Vidia,
03 Mei 2021.

Second Wedding  [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang