Jika; 39

8K 723 61
                                    

Second Wedding | 39

***

Hari ini adalah hari pertama untukku menginjakkan kaki di kantor yang sudah resmi menjadi milikku.

Gedung tinggi dengan tujuh lantai ini berdiri kokoh di tengah-tengah pusat kota Jogja. Berdampingan dengan pabrik pembuatan tekstil terbesar di Indonesia. PT. Munaf Textile.

Munaf Textile menciptakan beragam kain dari berbagai bahan, sutra, katun, wol, dan sebagainya sebelum di ekspor untuk dijadikan pakaian jadi. Namun dari semua itu, yang paling utama di sini adalah, adanya pabrik yang mengandalkan pengerajin batik. Gambar-gambar batik diciptakan oleh tangan-tangan ahli pengerajin tanpa bantuan mesin sedikitpun. Membuat kain batik dari produksi Munaf Textile menjadi sangat berkualitas.

Dari data yang aku periksa tempo hari, memang kain batiklah yang berada pada grafik tertinggi angka penjualan.

Langkah kaki dengan wedges lima senti (aku tidak bisa menggunakan heel's karena kehamilanku) mengetuk lantai lobi. Diikuti beberapa orang di belakangku, yang merupakan beberapa petinggi di kantor ini, yang salah satunya adalah Mas Danis, aku melangkah percaya diri.

Setiap sapaan-sapaan super ramah dari para karyawan kuterima dengan anggukan kepala.

Langkahku berhenti di depan lift saat dengan sigap Mas Danis memencetkan tombol sampai pintu lift terbuka. Kemudian mempersilahkan aku untuk masuk lebih dahulu sebelum diikuti para petinggi lain yang kembali berdiri di belakangku.

"Di kantor, kamu harus menunjukan siapa yang lebih berkuasa. Jangan terlihat lembek dan mudah didekati sedikitpun, kalau kamu nggak mau para petinggi itu menerkam kamu diam-diam," kata Om Indra masih terekam jelas. "Mereka akan menebarkan senyum, bersikap ramah, dan bersikap seolah berada dipihak kamu sepenuhnya. Tapi, itu cuma kamuflase. Mereka sebenarnya sedang menjilat."

Aku yang malam itu mengobrol bersama Om Indra mengernyit. "Kenapa nggak pecat aja sampah kayak gitu, Om?"

"Mereka adalah para petinggi senior dari Munaf textile. Kalau sampai kita ada pemecatan tanpa sebab yang jelas, sudah pasti reputasi kita akan memburuk di mata umum."

Karena wejangan Om Indra tersebut, aku jadi tidak kaget saat para pria paruh baya tadi menyambutku dengan senyum super ramah.

Lift berhenti di lantai lima. "Silakan Bu, Monggo ... Semoga betah di kantor barunya." Pria tua berambut botak tersenyum manis sambil mempersilahkan aku untuk keluar.

Sikap ramahnya ku jawab dengan senyum datar dan anggukan kaku, sebelum melangkah keluar dengan Mas Danis yang masih di belakangku.

"Jadi itu, para petinggi yang dimakasud Om Indra?" tanyaku tetap menatap ke depan. Tidak menghentikan langkah sama sekali.

"Ya." Ku dengar sahutan Mas Danis.

Di depan ruanganku, aku bisa menemukan sosok wanita tinggi semampai dengan rambut berpotongan bob pendek juga kacamata baca berbentuk kotak mempertegas wajahnya yang tanpa ekspresi.

"Di kantor, selain Daniswara dan Kaira, jangan mempercayai siapapun." Kembali, ucapan Om Indra terngiang di kepalaku.

Sudah pasti, wanita modis di depanku ini adalah Kaira, sosok yang akan menjadi sekretarisku.

"Selamat datang, Bu." Sapaan itu diucapkan tanpa nada. Tanpa riak sama sekali. Tidak ada senyum ramah penuh manipulasi.

Aku mengangguk. Membiarkan dia membukakan pintu dan mempersilahkan aku masuk.

Ruangan ini luas sekali. Lebih luas dari ruangan milik Om Indra yang beberapa minggu lalu pernah aku kunjungi.

Di dinding pada sisi kanan, terdapat banyak figura berisi potongan kain batik dengan berbagai macam bentuk dan tekstur, terpajang rapi dengan balutan kaca yang mengkilap. Figura-figura itu berisi salah satu kebanggaan Munaf Textile.

Second Wedding  [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang