Bab 4
***
Salsha diam membeku di dalam sebuah mobil mewah. Tangannya terlipat di dada dengan wajah mengarah menuju jendela. Pura-pura tertidur tentu lebih baik daripada terlibat obrolan bersama bosnya yang berada di sampingnya ini.
"Apa alasan kamu menerima tawaran gila Sevanya, Salsha?" Setelah hening beberapa saat, pria itu buka suara.
Salsha bergeming. Enggan menjawab pertanyaan itu.
"Saya tau kamu belum tidur."
Dan itu sukses membuat Salsha mendesah. Dia menoleh, "Kalau Bapak nggak mau, Bapak tinggal bilang aja ke Mbak Seva. Saya juga akan menurut."
"Bukan itu yang saya tanyakan." Lagi, Abhi menyahut menyebalkan.
Salsha mendesah. Semakin menenggelamkan tubuhnya pada jok mobil. "Langsung ke Bimasatya Hospotal saja. Jawabannya ada di sana."
***
Dan tiga puluh menit kemudian tentu Abhi sudah menemukan jawabannya.
Dia masuk ke dalam ruang rawat inap dan melihat seseorang berbaring tidak sadarkan diri di sana. Dengan alat oksigen yang menempel pada hidungnya.
"Adik saya. Kanker otak stadium awal. Dan harus segera melakukan operasi pengangkatan." Salsha menoleh kearah Abhi yang berdiri di sampingnya. "Sepertinya itu sudah cukup untuk menjadi jawaban."
Abhi menghela napas. "Dengar," Suara yang terdengar seperti titah itu mau tidak mau membuat Salsha balas menatap. "Kalau hanya biaya pengobatan yang kamu butuh kan, saya bisa bantu. Jangan hanya karena ini kamu rela-rela saja diperintah Sevanya untuk mengikuti rencana gilanya."
"Saya sudah bilang, kalau Bapak nggak mau, Bapak bisa bicara ke Mbak Seva. Dan tentu, saya nggak akan menerima sepeserpun dari Bapak. Saya nggak akan bisa membayar."
"Kamu tau Sevanya bukan wanita yang bisa ditolak, Salsha. Dan lalu? Kamu berniat membayarnya dengan sel telur kamu, begitu?"
Meskipun apa yang dikatakan Abhi sedikit kasar, Salsha masih terus berusaha tak gentar menatapnya. "Bapak tau saya nggak punya pilihan."
"Astaga ...." Lagi, Abhi mendesah. Kembali menghembuskan napas yang kali ini terdengar lebih kasar dari sebelumnya.
Salsha sedikit melirik ke arah Nia yang tampak lelap. Mendengar dengusan dari atasannya, dia khawatir adiknya akan terbangun.
"Kita bicara di luar aja."
Mereka duduk di kursi tunggu berjarakan satu kursi lain.
"Jadi, apa rencana Seva?" Abhi kembali bertanya.
"Saya hanya perlu menjadi istri Bapak. Mengandung anak Bapak selama sembilan bulan, lalu menyerahkan anak saya kepada Mbak Seva. Dan sebagai gantinya, Mbak Seva akan menanggung semua biaya pengobatan Nia."
"Kamu yakin? Kamu nggak keberatan dipisahkan sama anak yang kamu lahirkan dan menyerahkannya kepada kami?"
Salsha tersenyum getir. "Saya nggak punya pilihan, Pak. Lagi pula, anak saya akan hidup lebih baik kalau bersama kalian."
Abhi mencoba memejamkan matanya. Sebelah tangannya mengurut kening. Mencoba menghalau pusing di sekitar sana.
Suasana hening beberapa saat sebelum pria itu menegakkan tubuh secara tiba-tiba.
"Baiklah, Salsha. Ini pilihan kalian. Kamu maupun Sevanya harus siap menanggung konsekuensinya."
***
"Mbak yakin?" Suara parau itu berkata lemah. Mata Nia terlihat sayu dan sedih secara bersamaan setelah mendegar penuturannya. "Mbak nggak perlu berbuat sejauh itu demi aku ...."
Salsha membalasnya dengan senyuman. "Ini pilihan Mbak, Nia. Mbak akan melakukan apapun untuk kesembuhan kamu."
"Dengan mengorbankan kehidupan Mbak sendiri? Tolong jangan ...."
"Percaya sama Mbak. Mbak bener-bener udah nggak bisa kehilangan lagi. Cukup Ayah sama Ibu, Dek. Jangan kamu juga."
"Tetep aja, Mbak. Jadi istri kedua itu nggak enak. Mbak nggak bakalan kuat." Nia kembali melirih.
Salsha menggenggam sebelah tangan adiknya berusaha meyakinkan. "Mbak kuat. Hanya sembilan bulan. Itu nggak seberapa dibanding kesembuhan kamu."
Nia terisak pelan. Salsha bergerak memeluk adik semata wayangnya. "Aku bener-bener udah nyusahin Mbak Chacha ...."
Salsha menggeleng. "Kita berjuang bareng, Dek. Kamu berjuang sembuh. Dan Mbak juga berjuang mencari cara untuk menyembuhkan kamu. Tentu diiringi doa kepada Tuhan."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Wedding [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] *** Menurut Salsha, hal yang paling berharga setelah dia kehilangan harta, warisan, atau bahkan orang tuanya adalah Nia. Adik semata wayang dan juga keluarga satu-satunya yang dia miliki. Saat usianya 20, kehidupannya jungkir b...