Jika; 25

5.5K 767 75
                                    

***

Pertengkaran mereka petang itu sampai ke telinga Riana Subrata. Para pelayan yang kasak-kusuk serta satu kursi meja makan yang menghilang memancing kecurigaan Riana. Akhirnya, dia memilih menanyakannya kepada kepala pelayan yang dipercayainya.

"Tuan Muda sama Non Salsha ribut di ruang makan, Nyah. Kita nggak berani nguping, tapi suara tendangan kursinya sampe kedengaran ke dapur." Itu yang dikatakan Suni. Wanita paruh baya yang seumuran dengan Riana.

Riana mendesah keras sebelum melangkah di atas wedgesnya menaiki tangga. Menemukan sang putra berjalan mondar-mandir di depan kamarnya sambil sesekali mengetuk pintu.

"Cha ... Buka dulu. Maafin saya."

Kalimat itu terdengar memelas di telinga Riana. Kemudian dia melangkah mendekat. Abhi langsung menoleh begitu menemukan sang Ibu berada di sana.

"Ma ...."

Untuk pertama kali setelah sekian tahun, Riana merasa hatinya diliputi kehangatan saat mendengar putranya kembali merengek dengan mata sendu seakan butuh pertolongan.

"Tolong bujuk dia, Ma. Abhi yang salah ...." Kembali, Abhi berucap lirih.

"Apapun masalahnya, jangan sampai merusak barang seperti itu, Bhi. Apalagi Salsha lagi hamil, semua emosinya dikontrol hormon, seharusnya kamu bisa lebih memaklumi."

"Iya, Ma. Abhi salah, Abhi mau minta maaf. Tapi dia nggak mau keluar." Pria itu menoleh ke arah pintu yang tertutup rapat itu dengan gelisah.

Riana mendekat, mengetuk pintu itu tiga kali. Suara tegasnya terdengar beberapa saat kemudian. "Salsha, buka pintunya."

Dan ternyata tidak membutuhkan dua kali karena pintu itu terbuka dengan segera. Wajah Salsha yang memerah dan sembab muncul dari sana.

Salsha membiarkan Riana masuk ke dalam kamarnya dan langsung menutup pintu tepat di depan hidung Abhi saat pria itu hendak mengekor sang mama.

"Ada masalah apa?" Riana bertanya dengan suaranya yang tegap. Duduk di tepi kasur sambil memperhatikan menantunya. Masih tampak kekesalan yang amat sangat di mata Salsha.

Salsha mendekat, ikut mendudukkan diri di samping Riana. "Saya cuma mau pulang dan nginap beberapa hari. Teman-teman kantor saya mau mampir, nggak enak kalau saya menghindari mereka terus menerus."

"Dan Abhi nggak mengizinkan kamu?" Riana menebak.

Salsha langsung mendengus. "Saya nggak butuh izin pak Abhi, saya cuma butuh izin Ibu."

Sudut bibir Riana sedikit terangkat. Dia merasa senang melihat Abhi terlihat frustrasi seperti tadi saat menghadapi istrinya yang sedang hamil. Bagaimanapun juga, Riana masih begitu kesal kepada putra keduanya yang diperbudak wanita itu. "Saya izinkan, asal ajak Muti. Saya nggak mau cucu saya kenapa-napa karena kecerobohan kamu."

Wajah Salsha berubah bersemangat. Kesedihan segera lenyap. Masih dengan mata sembab dia menatap Riana dengan binar dan mengucapkan terimakasih.

Namun semua itu segera lenyap saat Riana keluar dari kamarnya, kemudian sosok pria yang masih mengenakan kemejanya itu masuk dengan raut penuh rasa bersalah.

Salsha segera naik ke atas kasur, menyelimuti seluruh tubuhnya. Malas sekali rasanya bertatap muka dengan sosok kasar seperti Abhi.

"Cha." Abhi melangkah mendekat. Naik ke atas kasur, mencoba menarik turun selimut yang menutupi kepala perempuan itu. "Saya minta maaf."

Tidak ada jawaban. Namun Abhi tahu Salsha mendengarkan. "Saya cuma nggak terima waktu kamu mengatakan kalau pernikahan kita pernikahan bohongan. Jelas ini pernikahan sah di mata Allah, Cha. Nggak ada kepura-puraan di sini."

Masih tidak ada sahutan, Abhi melanjutkan. "Saya bukannya marah sama kamu, saya cuma benci waktu kamu bilang kamu nggak mengandung dengan suka rela. Itu menyadarkan saya, saya bajingan picik yang memanfaatkan keadaan kamu demi kepentingan saya dan Sevanya. Saya marah sama diri saya sendiri."

Di balik selimut, Salsha menggigit bibir bawahnya kuat-kuat saat mendengar suara Abhi semakin bergetar.

"Seandainya saya bisa tegas menolak sejak awal, seandainya saya nggak terlalu tunduk sama Sevanya, tentunya kamu nggak akan terseret ke dalam rumah tangga pelik kita berdua. Tentunya, kamu nggak akan merasa menderita seperti ini."

Jeda, "Tapi, Cha, saya juga sangat ingin mempunyai keturunan. Bohong kalau saya nggak sedih saat mendengar Sevanya di vonis 'sakit', karena pada nyatanya, saya pun kecewa. Saya ingin sekali menghancurkan tembok kokoh antara mama dan Sevanya dengan berharap bisa memberinya cucu yang diimpi-impikan, tapi itu pun nggak bisa terjadi. Saya nggak tau lagi dengan cara apa lagi agar bisa mendamaikan mereka berdua. Sampai akhirnya kamu datang."

Tubuh Salsha kaku sama hembusan napas Abhi terasa mengibas di sekitar telinga, menjalar ke pipinya.

"Dan ternyata, kamu sama sekali nggak merasa tersinggung dengan perlakuan dingin mama. Kamu nyaman-nyaman aja sama dia, tidak berhenti berusaha mendekat meskipun sikap mama kadang sangat menjengkelkan. Kamu tidak kabur dan merengek ingin pulang, kecuali tadi-"

Tubuh Salsha berbalik dengan segera, matanya melotot marah. "Saya nggak kabur! Lagi pula saya mau pulang karena teman-teman saya mau datang, bukan karena menghindar dari Ibu Riana!"

Abhi mencubit pipi Salsha dengan gemas. "Saya belum selesai, Cha. Kecuali tadi, kamu merengek minta pulang, itupun kamu minta izin mama."

Dua manik berbeda saling menumbuk. Salsha tidak memungkiri perasaannya yang jungkir balik saat pria itu menghujaminya dengan tatapan lembut. Pipinya terasa panas saat merasakan ibu jari Abhi mengusap di sana.

Melihat wajah di depannya memerah, mata Abhi kian meredup. Rasa sayang yang kini tidak dapat ditahannya tumpah ruah. "Saya minta maaf atas kekerasan yang saya lakukan tadi. Saya benar-benar menyesalinya. Saya juga minta maaf sudah membuat kamu ketakutan ...."

Mendengar itu, kekesalan Salsha rontok tak berbekas. Perasaannya melembut dengan sendirinya. Di atas wajahnya yang sembab, senyum tipis terukir. Memberanikan diri, tangan kecilnya meraih rahang Abhi, mengelusnya pelan. "Jangan diulangi lagi. Kalau seandainya Bapak salah sasaran, dan malah nendang saya gimana?"

"Nggak mungkin. Saya nggak akan pernah melukai kamu."

"Tapi tetap aja saya takut."

Mata Abhi menunjukkan penyesalan. "Saya minta maaf soal itu."

Senyum Salsha terbit dengan manis. "Saya juga minta maaf atas perkataan saya yang sudah menyinggung Pak Abhi."

Salsha tidak mengerti dengan apa yang dirasakannya saat ini. Atau karena hormon kehamilan? Atau justru suasana yang mendukung? Yang jelas, Salsha tidak pernah seberani ini sebelumnya. Meraba tengkuk seseorang yang selama ini hanya dipandangnya sebagai atasan, lalu mendorongnya mendekat, sebelum menyatukan bibir mereka.

Ciuman itu lembut. Dia bahkan memejam saat saat merasakan bibirnya dikulum oleh Abhi. Melenguh, saat ibu jari pria itu menarik bibir bawahnya, dan kembali menyatukan bibir mereka.

Kehangatan melingkupi. Membuat Salsha semakin menguatkan pelukan lengannya di leher pria itu, menariknya agar semakin mendekat. Bibir mereka tidak berhenti bergulat. Yang awalnya hanya ciuman lembut penuh rasa, perlahan berubah menjadi lebih menuntut dan tergesa.

Salsha tidak bisa menahan desah saat merasakan lidah pria itu menelusup. Mengabsen setiap rongga basah dan hangat milik Salsha.

Bunyi kecipak terdengar saat Abhi melepas tautan bibir mereka.

"Masih trimester pertama, emang boleh?" tanyanya mesra.

Salsha di bawahnya hanya menatap bingung. "Mungkin ... Nggak apa-apa kalau pelan-pelan," balas Salsha malu.

Abhi tidak tahan untuk memberi kecupan lagi. Kali ini dengan tangan yang mulai bergerak mengelus perut perempuan itu seringan bulu. "Saya akan pelan-pelan."

***

THR buat pembacaku tercinta ❤❤❤
Selamat hari raya Idhul fitri, semuanyaaaa. Mohon maaf ya, kalau eonni punya salag sama kalian 😍

Vidia,
12 Mei 2020.

Second Wedding  [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang