***
Endra tidak jadi datang.
Itu sebabnya Salsha bisa melihat senyuman lebar dari Abhi saat pria itu pamit pulang tadi. Membuat kekesalan dalam diri Salsha naik ke ubun-ubun.
Apa maksudnya senyum lebar tapi terkesan mengejek itu, coba?
Namun, bukan itu yang membuat pikiran Salsha teralih saat ini. Melainkan terbatalnya janji Endra. Sepupunya itu mengatakan kalau Papanya (yang berarti Om Indra) mengajaknya bertemu.
Apa Om Indra menyuruh Endra untuk pulang? Meneruskan perusahaannya yang membutuhkan pewaris utama? Meskipun Salsha tahu bahwa kehidupan Endra akan lebih baik jika pria itu memutuskan untuk pulang, namun Salsha tidak menampik perasaan sedih dari dalam hatinya.
Kalau Endra pergi, siapa yang akan menemaninya, melindunginya? Dia tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia selain sepupunya itu.
Endra memang pernah mengusulkan agar mereka pulang bersama, dia juga meyakinkan Salsha bahwa keluarga mereka yang berada di Bandung tentu akan menerima. Namun Salsha tolak dengan alasan yang tentu pria itu sendiri tahu. Salsha sudah dibuang. Sudah tidak diinginkan lagi keberadaannya. Mana mau Salsha kembali kepada keluarga yang menelantarkan dirinya dengan Nia begitu saja hanya karena harta.
Salsha bergerak gelisah di atas tempat tidur bersprai putih itu. Kok dia merasa kesepian menempati ranjang ini sendirian, ya? Rasanya seperti ada yang kosong gitu. Tapi Salsha tidak tahu kenapa.
Dan saat telapak tangannya menyentuh perutnya yang tertutup pakaian satin putih miliknya, hati Salsha berdenyut hebat. Bayangan janin mungil meringkuk di sana, membuat dadanya menghangat.
Dia ... Tidak sendirian.
Masih ada sosok lain yang akan menemaninya sembilan bulan ke depan. Sosok yang mencari kehangatan dalam perutnya, serta berbagi makanan dengan dirinya.
Ya, setidaknya masih ada sosok lain yang membutuhkannya jika Endra memang benar memilih untuk pulang.
Memikirkan janinnya yang masih berusia tiga minggu, mau tak mau benak Salsha juga memikirkan si ayah. Gejolak rindu meluap seketika padahal baru beberapa jam lalu mereka berpisah.
Perasaan apa ini? Apa ini juga termasuk pengaruh hormon ibu hamil?
Di saat dia masih menikmati perasaannya sendiri, ponsel di atas nakas bergetar singkat.
Ada nama 'Mas Satria' di saja. Salsha menekan tombol hijau.
"Halo. Kenapa, Mas?"
"Cha!" Satria menyahut. "Tadi kamu nggak masuk kerja. Masih sakit?"
Salsha tersenyum kecil mendapat pertanyaan berlumur kekhawatiran itu. Dulu, sebelum perasaannya berubah, dia pasti akan terkini aku lonjak senang jika mendapat perhatian seperti ini.
Sebentar, kok tadi ada kalimat kalau perasaannya belum berubah, ya? Memangnya sekarang perasaannya seperti apa? Bukannya dia masih suka sama Satria.
"Cha? Kamu di sana?" Suara Satria menginterupsi.
"Eh, eum-iya, Mas." Salsha menggigit bibir. "Iya, masih agak nggak enak badan."
"Jadi, masih harus cuti beberapa hari lagi?"
"Ya." Untuk sembilan bulan ke depan. Semoga nggak menimbulkan kecurigaan.
"Kalau gitu, Mas ke rumah kamu, ya?"
Ke dua mata Salsha membola seketika. "Gimana, Mas?"
"Sama anak-anak kantor, Cha. Mereka ribut pengen jenguk," jelasnya.
Salsha kembali diliputi kebimbangan. Bagaimana ini? Jika dia masih duduk manis di dalam apartemennya sendiri sih, mungkin dia sama sekali tidak keberatan jika teman-teman kantornya datang berkunjung. Tapi ini masalahnya, dia terkurung di istana emas milik Subrata. Mustahil Salsha memberikan alamat rumah ini dan memancing kecurigaan sebelum berujung terbongkarnya pernikahan antara dirinya dengan pimpinan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Wedding [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] *** Menurut Salsha, hal yang paling berharga setelah dia kehilangan harta, warisan, atau bahkan orang tuanya adalah Nia. Adik semata wayang dan juga keluarga satu-satunya yang dia miliki. Saat usianya 20, kehidupannya jungkir b...