***
Benar dugaannya. Salsha hanya perlu membeli tiga benda untuk membuktikan bahwa mual dan sakit kepalanya tadi bukanlah hal biasa. Dan saat ketiga benda itu menunjukkan dua garis merah yang sama, Salsha bahkan tidak perlu ke dokter untuk memperkuat dugaannya.
Dia hamil.
Instingnya yang meyakini kalau ada manusia lain yang kini tumbuh di dalam perutnya ternyata tidak meleset.
Salsha masih menatap ketiga benda yang masih berjejer di atas meja di dalam kamar mandinya itu tidak percaya. Kemudian mendongak, menemukan pantulan dirinya sendiri di dalam kaca. Wajah pucatnya terlihat jelas, namun binar matanya tidak bisa menutupi kebahagiaan yang mencoba disembunyikan.
Dia masih akan terus berdiri di tempatnya seandainya ketukan di pintu kamar mandi tidak terdengar.
"Cha, gimana? Saya boleh masuk?" Suara Abhi.
Salsha menghela napas keras sebelum membuka pintu, berhadapan langsung dengan pria yang masih sama tampak khawatirnya.
"Gimana?" Raut cemas namun antusias itu menyimpan banyak harapan.
Dan dengan senyum yang terukir, Salsha bergerak mendekat. Melingkarkan kedua lengan untuk memeluk pinggang pria itu lalu berbisik, "Saya hamil."
Tubuh yang dipeluknya menegang. Salsha melonggarkan pelukannya, mendongak, menemukan wajah Abhi yang masih tampak kebingungan.
Pria itu balas menatap wajahnya. "Beneran?" tanyanya memastikan. Wajahnya sudah tidak kalah pucat seperti Salsha. Merasa antusias saat menerima informasi yang baru saja didengarnya.
Salsha menjawabnya dengan anggukan yakin. Sebelum memekik tertahan saat merasakan tubuhnya terangkat tiba-tiba. Lalu dengan gerakan perlahan, pria itu membaringkan tubuh Salsha di atas ranjang. Membungkuk di atasnya hanya untuk sekedar memberi kecupan.
Senyum di wajah Abhi tidak lagi dapat disembunyikan. "Akhirnya," pria itu berbisik dengan mata yang masih menghujam dalam. "Akhirnya cucu pertama Subrata akan segera dilahirkan."
Mata Salsha berkaca. Senyumnya tampak getir saat membalas tatapan Abhi. "Selamat, Pak." Dia menarik tengkuk pria itu mendekat, memberi kecupan singkat di pipinya. "Selamat buat Bapak, dan ... Mbak Seva."
Salsha menggigit bibir bawahnya kuat, karena bagaimana pun, anak ini akan tetap menjadi milik Abhi dan Sevanya, kan?
***
Salsha tidak tahu disaat berita kehamilannya sampai ke telinga Subrata, situasinya akan seheboh ini. Semua anggota keluarga berkumpul di aparatemennya yang kecil. Mama, Papa, Edwyn, sampai adik bungsu Abhi yang terakhir Salsha dengar sedang berada di Amerika pun turut hadir, Ranisia.
Mama Abhi, Riana, meskipun masih tampak enggan duduk di sofa kecil milik Salsha, tetap bersidekap di sana. Dengan gerakan canggung dan deheman, dia mengangsurkan sekotak besar yang Salsha tebak berisi berbagai vitamin.
"Di minum setiap bangun dan mau tidur. Ini ramuan herbal. Saya selalu makan disaat hamil," ujar Riana dengan kalimat datar.
"M-makasih ... Bu." Salsha yang duduk di hadapan keluarga itu mengangguk kaku.
Riana tampak mengamati sekitar sekilas sebelum kedua alisnya yang tertata rapi itu mengerut, tampak tidak suka. "Kamu serius masih mau tinggal di sini? Saya bisa menyiapkan apartemen yang lebih baik kalau kamu mau."
Suaminya, Papa Abhi tampak mengangguk setuju. "Orang hamil butuh tempat yang bersih dan steril."
"Kenapa nggak di rumah kita aja?" Edwyn, kakak laki-laki Abhi yang sejak tadi diam saja ikut menimpali. "Kalau ada apa-apa kan, banyak orang di sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Wedding [SELESAI]
Romantizm[PART MASIH LENGKAP] *** Menurut Salsha, hal yang paling berharga setelah dia kehilangan harta, warisan, atau bahkan orang tuanya adalah Nia. Adik semata wayang dan juga keluarga satu-satunya yang dia miliki. Saat usianya 20, kehidupannya jungkir b...