Jika 29

5.3K 783 90
                                    

Second Wedding | 29

***

Bawa aku ke tempatnya? Maksudnya ke rumah tempat dia dan Pak Abhi tinggal, begitu?

“Apa maksud kamu?” Bu Riana bahkan sudah tidak sudi lagi untuk duduk berhadapan dengan Mbak Seva.

“Aku takut Mama mempengaruhinya,” jawab Mbak Seva ikut berdiri. “Mas Abhi udah jarang pulang. Mama pasti mempengaruhi Salsha buat rebut Mas Abhi dari aku. Aku yang meminta Salsha mengandung anaknya Mas Abhi, Ma. Sudah seharusnya dia tinggal sama aku, bukan sama kalian.”

“Tapi cucu di dalam perutnya juga milik Subrata. Kami nggak yakin kamu bisa menjaganya sebaik kami.” Bhakti Subrata yang dari tadi tampak tenang sudah mulai emosi.

“Aku bisa.” Tatapan Mbak Seva beralih ke arah ku yang dari tadi berdiri bingung di samping Bu Riana. “Ambil barang-barang lo, Cha,” perintahnya.

“Kamu nggak bisa seenaknya!” Bu Riana berteriak murka menyentak tangan Mbak Seva yang hendak meraihku. “Pergi atau saya suruh satpam nyeret kamu dari rumah ini.”

“Nggak!” Mbak Seva tidak menyerah. Dia kembali hendak meraih tanganku dan kembali ditepis Bu Riana. “Aku yang membawa Salsha masuk ke dalam lingkup keluarga ini, jadi aku yang berhak memutuskan dia tinggal sama siapa.”

Aku terbelalak saat Mbak Seva dengan kesal mendorong tubuh Bu Riana sampai tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang, aku menoleh panik, namun untungnya sudah ada Pak Bhakti yang menangkapnya.

Kesempatan itu digunakan Mbak Seva untuk menarik lenganku. Aku meronta karena ditarik dan diseret seenaknya.

“Mbak, lo bisa ngomong baik-baik dulu sama Bu Riana kan, Mbak?” kataku sambil menahan langkah.

Mbak Seva yang merasakan keenggananku mengikutinya segera menoleh dengan marah. Aku bahkan terkejut saat menemukan wajahnya yang biasa lembut memerah menahan murka. “Kenapa? Riana Subrata udah berhasil mempengaruhi lo? Lo udah merasa diterima di sini? Gue nggak peduli, apapun yang terjadi, lo harus ikut gue.”

Dia kembali menarik ku sekuat tenaga. Dan aku meronta lagi minta di lepaskan. “Mbak, tolong jangan gini ....”

Dia berhasil menyeretku sampai pintu depan sebelum sebuah suara terdengar dari belakang.

“Sena Ardito, tiga puluh lima tahun, Bandung. Saya akan langsung mengirimkan alamat rumahmu ke dia seandainya kamu nggak melepaskan Salsha saat ini juga,” ujar Pak Edwyn yang entah sejak kapan sudah bersidekap di belakangku.

Aku nggak tau siapa nama yang barusan Pak Edwyn sebutkan. Tapi sepertinya cukup mampu untuk mengancam Mbak Seva karena dia langsung melepaskan tanganku.

“Masuk,” perintah Pak Edwyn yang ditunjukkan untukku.

Aku segera masuk tanpa diperintah dua kali. Menoleh saat memastikan Pak Edwyn tidak akan melakukan apapun kepada Mbak Seva. Tapi sepertinya itu tidak mungkin terjadi.

Dan betapa kagetnya aku saat masuk ruang tamu melihat Bu Riana yang kakinya sedang diobati oleh beberapa pelayan. Aku menghampiri beliau segera.

“Kaki Ibu sakit?” tanyaku memperhatikan pergelangan kakinya yang membiru. Sepertinya dia keseleo saat Mbak Seva mendorongnya di atas heels tujuh senti yang dipakainya tadi.

“Kamu nggak jadi ikut perempuan iblis itu?” kata Bu Riana mangkir dari pertanayaanku. “Saya kira kamu nggak betah di sini dan milih kabur sama dia.”

Aku mendengus. Kata-kata tajamnya sudah kembali. “Kalau saya mau kabur, udah saya lakukan dari dulu.”

Dan aku sebal saat perempuan modis di sampingku ini malah mencibir.

“Tapi kalau Ibu keberatan saya ada di sini, nggak perlu saya iku Mbak Seva. Saya bisa pulang ke apartemen saya.”

Benar saja, Bu Riana langsung menyipit menatapku. “Yang boleh mengancam di dalam rumah ini cuma saya, kamu nggak berhak melakukan itu.”

“Saya nggak mengancam, kok,” kataku sambil tersenyum manis. “Saya, kan cuma memberi pilihan. Takut Ibu yang terganggu sama keberadaan saya.”

Dan aku puas melihat wanita arogan itu mendengus dan bilang, “Sana, masuk ke kamarmu.”

Tapi alih-alih mengikuti perintahnya, aku justru mengalihkan pandang ke arah kakinya yang masih dikompres oleh salah satu pelayan. “Ibu nggak mau panggil tukang urut aja?”

Bu Riana berdecak mendengar kalimat ku. Mungkin, untuk perempuan kaya raya istri konglomerat kayak dia, menyewa tukang urut bukanlah kastanya. “Suami saya lagi telepon dokter.”

Dan nggak lama kemudian, Pak Bhakti tampak kembali ke ruang tamu. Duduk sambil sesekali memeriksa kaki istrinya.

“Sampai kapan kita diam aja, Ma? Syukur-syukur kita nggak menjebloskannya ke penjara perihal penipuan. Dia masih berani datang ke sini dan berbuat kasar,” kata Pak Bhakti yang sama sekali tidak ku mengerti apa artinya.

“Biarkan saja dulu. Dia nekat ke sini karena mengira kita sudah memberitahu Abhi.” Bu Riana menjawab. “Mama tahu Abhi sudah mulai curiga.”

Ini mereka ngomongin apaan, sih? Aku dari tadi cuma bengong nggak tau apa-apa di sini. Bukan mau kepo, tapi kayaknya masalah yang dipunya Mbak Seva sama keluarga Subrata nggak sesepele yang aku kira.

Karena kedua suami istri itu sibuk berdebat atas sesuatu yang nggak ku mengerti, aku memilih melipir ke lantai atas dan masuk kamarku.

Saat sudah duduk di ranjang aku mikir, kenapa Mbak Seva tiba-tiba aja mau bawa aku ke tempatnya, ya? Apa ada sesuatu yang terjadi? Tapi bukannya aku nggak mau ikut dia, cuma ya ... Gimana, aku nggak mau setiap hari lihat muka Pak Abhi dan seperti kata orang, kita cinta karena terbiasa, aku nggak mau intensitas pertemuan ku dengan ayah si bayi bisa menimbulkan perasaan-perasaan yang akan menyusahkan aku di kemudian hari.

Lagi pula, aku tinggal di sini saja, yang notabene sebelumnya Pak Abhi enggan ke sini, dia bisa setiap hari datang atau bahkan menginap di sini. Apalagi kalau aku ikut dia dan istrinya.

Aku mendesah. Sepertinya memang aku nggak perlu terlibat dengan permasalahan mereka. Toh aku hanya perlu mengandung dan melahirkan, selesai sudah tugasku.

Tapi ... Mataku turun, tanganku bergerak mengusap perutku yang sudah menjembul. Usia kandunganku masih sebulan, tapi aku heran kenapa sudah sebesar ini.

Kalau nanti aku melahirkan dan anak ini diambil alih oleh Mbak Seva dan keluarga Subrata, apa itu artinya aku tidak boleh menemuinya lagi? Lalu dengan siapa aku hidup nanti?

Perasaanku dilanda sedih. Jantungku seperti dicabut paksa memikirkan bahwa aku akan dipisahkan oleh si bayi setelah dia lahir. Air mata menggenang saat aku sadar, mungkin saja selamanya bayi ini tidak akan diberi tahu, bahwa akulah wanita yang melahirkannya ke dunia, tapi tidak berhak dipanggil Ibu.

Telapak tanganku kembali memberi elusan lembut. Rasa sayang tumpah ruah kurasakan meskipun aku belum pernah melihat wujud bayiku secara langsung.

Mungkinkah ini yang dinamakan kasih sayang seorang ibu yang tanpa alasan?

“Kamu harus tau, Nak ... Meskipun nanti kita pisah, Ibu akan selalu menyayangi kamu.”

Dan aku tidak kuasa menahan isakku.

***

Yang udah ke Karyakarsa nggak penasaran lagi donggg, hehe. Yg kurang bisa mampir ke sana, soalnya aku nggak tau kapan mau up bab 30 hihihi.

Oiya, aku juga lagi bikin Special Chapter Abhi Point of View. Di sini bakal bercerita tentang kehidupan Abhi, gimana dia pertama kali ketemu Sevanya, menikah, terus akhirnya tau rahasia Sevanya. Terus eum ... Perasaannya ke Salsha setelah mereka menikah. Kalau di Salsha PoV, mungkin bakal sampe bab 35 an dan nggak menceritakan semuanya.

Tapi tentu bakal aku upload di Karyakarsa dengan harga yang terjangkau, kok. Gimana? Ada yang nungguin nggak?

Vidia,
25 Mei 2021.

Second Wedding  [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang