Second Wedding | 31
***
“Tapi kamu nipu aku!”
Suara keras yang mirip bentakan itu perlahan menarik ku dari tidur lelap. Aku mengerjap. Menoleh menoleh dan menemukan siluet pria yang sedang berkacak pinggang dengan telepon genggang di satu tangannya tertempel pada telinga di balkon kamar yang gelap.
Keningku mengernyit saat berbagai kalimat frustasi dilontarkan pria itu. “Tega ya, kamu! Aku udah tau semua. Sekarang mau mu apa?!” Dia tertawa sinis. “ ... Nggak usah bawa-bawa Salsha! Dia tetap akan di sini nggak peduli kita akan bercerai.”
Aku semakin bingung. Cerai? Siapa yang mau bercerai? Pak Abhi mau menceraikanku sekarang?
“Tunggu aja berkas perceraiannya di rumah. Pengacaraku yang akan urus.”
Aku buru-buru kembali ke posisiku semula dan memejamkan mata. Aku tidak mau tertangkap basah menguping pembicaraan penting seseorang.
Mataku semakin memejam rapat begitu ranjang di belakangku bergerak. Lengan seseorang menyelinap masuk ke balik leher ku dan menarik ku mendekat sampai punggungku yang telanjang menyentuh dadanya.
Aku bisa merasakan napasnya terengah di kepalaku. Dia sedang menahan emosi aku tahu. Tapi kenapa?
“Sayang ...,” gumamnya parau di telingaku. Aku merinding sendiri mendengarnya memanggilku begitu. “Aku nggak tau apa bisa tetap kuat seandainya nggak ada kamu, Cha.”
Nada suaranya tampak sedih. Aku semakin penasaran apa yang sebenarnya terjadi kepada Pak Abhi. Kenapa dia terlihat begitu putus asa?
Hembusan napasnya semakin berat dan terengah-engah. Sebelum aku mendengar suara isakan tertahan darinya di balik bahuku. Aku nggak tega, makanya, aku nggak peduli dia tahu aku menguping atau enggak, aku menggerakkan tanganku untuk menyentuh rambutnya yang ada di leherku.
Isakannya menjadi. Dia kelihatan rapuh sekali. Aku terus mengelus kepalanya dan membiarkannya menumpahkan emosi tanpa bertanya apa yang terjadi. Biar saja, aku harap, dia akan menceritakannya setelah siap.
“Katakan sesuatu,” pintanya setelah isaknya mereda.
Aku kebingungan. “Apa?”
“Tolong katakan sesuatu biar aku merasa lebih baik.”
Mengatakan apa? Aku nggak pernah membujuk seorang pria yang menangis sebelum ini. Tapi karena nggak mau bikin dia sedih, akhirnya aku punya cara, nggak tau kalimatku ini bisa menghiburnya atau enggak.
“I will call you Abhi?”
Dia mengangkat wajahnya. Lalu cemberut. Kenapa? Apa dia nggak senang aku panggil begitu? Bukannya tadi malam dia yang minta, ya?
“Masa Abhi? Nggak sopan itu namanya.”
Aku mengangkat alis. “Terus?”
“Pake Mas. Mas Abhi. Udah itu yang paling bener,” katanya sambil ndusel-ndusel di dadaku.
Dasar, ya. Udah dikasih hati minta jantung. Sudah syukur aku mau meninggalkan panggilan Bapak buat dia, eh malah masih nggak keterima.
Cuma percuma sih mau protes. Aku tahu suasana hatinya lagi nggak baik pagi ini. Makanya, aku memilih diam aja menuruti naluriku untuk ngelus-ngelus rambutnya yang ada di bawah daguku.
Aku tahu banget rasanya sedih tapi nggak ada orang yang mau nenangin. Bukannya nggak ada, sih. Cuma aku yang milih memendamnya sendiri. Jadi, aku nggak mau Pak—eum aku bakal manggil dia Mas sesuai permintaannya mulai sekarang. Jadi, aku nggak mau Mas Abhi juga merasa sendirian saat lagi sedih seperti barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Wedding [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] *** Menurut Salsha, hal yang paling berharga setelah dia kehilangan harta, warisan, atau bahkan orang tuanya adalah Nia. Adik semata wayang dan juga keluarga satu-satunya yang dia miliki. Saat usianya 20, kehidupannya jungkir b...