Bab 3
***
"Lo gila?!"
Teriakan kaget yang keluar dari bibir Endra tentu sudah diduganya. Karena itu juga yang dilakukannya saat pertama kali mendengar permintaan gila Mbak Seva.
"Nggak ada cara lain, Dra."
Kini keduanya berada di depan ruang rawat Nia. Dan Salsha menceritakan semuanya kepada pria itu.
"Nggak harus dengan cara kayak gitu, Cha." Endra menggeram. Meremas rambutnya sendiri yang memang sudah berantakan. Endra berdiri, "Gue bakal ngomong sama Seva. Dia nggak bisa manfaatin kondisi lo hanya untuk kepentingannya sendiri."
Salsha ikut berdiri. "Terus gimana sama pengobatan Nia? Apa gue harus jadi peliharaan Gadun dulu kayak yang lo bilang?"
Mendengar itu, Endra berbalik dengan marah. "Gue bakal jual mobil gue. Jangan keras kepala, Cha."
"Berhenti, Dra." Salsha kembali duduk. Dia lelah sekali. Tangannya bergerak mengusap pipi menghilangkan cairan bening di sana. "Berhenti nyusahin diri lo sendiri demi gue."
Salsha bisa merasakan pelukan kuat itu. Dia tidak lagi menahan air matanya. Membiarkan dirinya menangis di peluka Endra.
"Sorry," Endra berbisik. "Sorry karena gue emang bener-bener sahabat yang nggak berguna, Cha."
Tentu, Salsha menggeleng menyangkal. "Gue udah berhutang banyak sama lo, Dra. Untuk kali ini, biar gue selesaiin urusan gue sendiri."
***
[Jam tujuh, Cha. Gue tunggu lo di rumah gue.]
Pesan yang dikirimkan Seva beberapa jam lalu itu masih membuat Salsha cemas. Dia masih belum biasa menghadapi ekspresi Pak Abhi yang entah bagaimana saat Seva memberitahukan niat gilanya.
Dia masih memakai pakaian kantor yang sama. Duduk resah di dalam taksi yang mengantarkannya menuju rumah yang belum pernah dirinya kunjungi sama sekali.
Taksi itu melewati komplek yang berisi rumah-rumah elit. Lalu berhenti di depan gerbang hitam yang menjulang tinggi.
Setelah menyelesaikan transaksi pembayaran dengan si sopir. Salsha berdiri di sana seorang diri. Bahkan dari gerbangnya saja sudah bisa mengintimidasi.
Karena tidak menemukan bel apapun di gerbang itu, Salsha memutuskan mengambil ponselnya.
[Gue udah sampe di depan rumah lo, Mbak.]
Dan ajaibnya, dua menit kemudian gerbang itu terbuka. Menampilkan istana megah yang sudah di duga Salsha berada dibaliknya.
Salsha berjalan dengan canggung. Menoleh kanan-kiri dan tidak menemukan satu orang pun satpam di sini. Lalu, siapa yang membuka gerbang tadi?
Pertanyaan konyol itu segera dia tepis saat sudah berhadapan dengan pintu utama yang tak kalah besar. Dan kali ini dia menemukan bel di sana.
Setelah mempersiapkan mentalnya beberapa menit, dia akhirnya memberanikan diri memencet bel itu.
Dan lagi, secara otomatis pintu kembali terbuka. Namun kali ini dia bisa melihat sosok paruh baya yang juga mengenakan hijab dibalik pintu. Sosok itu tersenyum ramah.
"Ayo, Non Chaca. Udah ditungguin Ibu dari tadi."
Dengan langkah canggung Salsha mengekor dibalik sosok berdaster itu.
Rumah ini besar sekali untuk rumah yang hanya ditinggali oleh dua orang. Terlalu sepi. Dan kosong. Meskipun interior dan furniturnya tidak bisa menipu kualitas.
Dan setelah beberapa langkah mereka melewati ruang keluarga, Salsha tahu kalau dirinya diarahkan menuju ruang tamu.
Dan benar saja. Di sana, dia bisa melihat Mbak Seva sedang sibuk menghidangkan makanan diatas meja. Dan untungnya, hanya sendiri.
"Hai, udah nyampe?" tanyanya dengan senyum lebar.
Salsha bahkan masih tidak habis fikir bagaimana Mbak Seva masih bisa tersenyum selebar itu untuk ukuran wanita yang hendak dimadu.
Menggelengkan kepala, berusaha menepis apa yang baru saja dia pikirkan, Salsha memutuskan mendekat. Balas tersenyum dengan canggung.
"Duduk situ." Seperti biasa, Seva memerintah dengan bossy.
Salsha menurut. Duduk di salah satu kursi yang tadi ditunjuk Seva.
Dia melihat Mbak Seva meletakkan hidangan terakhirnya sebelum berkata. "Bentar, ya. Gue panggil Mas Abhi dulu."
Dan Salsha semakin duduk cemas di kursinya. Jantungnya berdegup kencang dengan kedua tangan saling bertaut di pangkuannya sendiri.
Dan kegugupannya semakin menjadi saat dia mendengar derap langkah mulai memasuki dapur.
Kedua orang itu datang. Mbak Seva dengan hijab seadanya yang melingkar asal di kepala. Juga, Pak Abhi yang tubuhnya hanya dibalut kaus oblong hitam juga celana chino.
Kedua orang itu duduk di hadapan Salsha.
"Salsha?" Pak Abhi menyerukan namanya sambil mengerutkan kening.
Salsha mencoba mengangguk gugup.
"Pasti kamu udah kenal, kan? Dia ini juga kerja di kantor kamu. Di timnya Satria." Seva menjelaskan.
Kepala Abhi beralih menatap istrinya. "Kamu kenal sama Salsha?"
Seva mengangguk. "Dia ini juniorku waktu di UI."
"Kok Mas nggak tau?"
"Masa? Padahal aku sering nongkrong sama Salsha di warteg depan kantormu sehabis nganter bekal, lho."
Abhi mengangguk beberapa kali. Dia menatap hidangan di hadapannya sesaat sebelum kembali menatap Seva.
Salsha berpikir, kalau bosnya ini susah sekali mengalihkan pandang.
"Jadi, kenapa kamu ngajak Mas gabung di acara kalian berdua?"
Dan mendengar pertanyaan itu, seketika Salsha melotot. Di pandanginya Seva dengan galak.
Jadi, kalau menilik pertanyaan Pak Abhi barusan, membuktikan kalau Seva sama sekali belum memberitahu rencana gilanya.
Dan Salsha akan terlihat sangat gampangan seolah-olah dia berniat menyodorkan diri dengan datang ke sini.
"Eum, gini," Seva tampak gugup sendiri. "Aku ... Muak lihat Mama terus-terusan nyodorin cewek-cewek nggak jelas buat nikah sama Mas ...."
"Maaf atas Mama. Tapi kamu tau Mas selalu menolaknya."
Seva mengangkat sebelah tangan. Menyuruh Abhi untuk berhenti bicara karena ini gilirannya. "Dan aku juga nggak bisa terus-terusan nahan kamu buat keegoisan aku sendiri. Aku tau kamu maupun keluargamu juga pengen keturunan, dan aku sadar aku nggak bisa kasih itu."
"Seva, kamu ngomong apa-"
"Bukan cuma Mas Abhi, aku juga pengen punya anak." Kini matanya tampak berkaca. "Dan aku pengen dapet itu dari Salsha. Aku ikhlas kalau Mas Abhi sama Salsha daripada sama cewek-cewek nggak jelas yang disodorin Mama."
Hening.
Satu detik.
Satu menit.
Suasana senyap.
Tapi Salsha tahu kalau Abhi bisa meledak kapan saja.
Dan ternyata benar. Dengan suara dalam seakan menahan emosi, pria itu menggeram. "Kamu gila?"
Ya. Reaksi yang seperti seperti yang didapatkannya dari Endra.
"Jangan bercanda untuk urusan seperti ini, Seva." Abhi melanjutkan dengan suara yang sama.
Seva menggeleng. Tangisnya pecah. "Aku nggak bercanda, Mas! Aku pengen punya anak, dan Salsha adalah perempuan terbaik yang aku pilihin buat kamu."
Salsha menggigit bibirnya dalam. Isi kepalanya berkecamuk. Dadanya sesak. Kalau saja dia tidak ingat dengan kondisi Nia, tentu dia tidak akan sudi berada di posisi seperti ini.
Ditatap rendah seperti ... Saat ini.
Ya, Salsha tidak salah lihat. Pak Abhi sedang menghujaminya dengan tatapan tajam sekarang.
"Kamu ... Setuju dengan rencana gilanya?" tanya pria itu. Yang kali ini diarahkan untuknya. Suaranya masih sama. Tajam dan menusuk.
"Salsha udah setuju." Seva yang menjawab. "Jangan coba-coba untuk mengubah pikirannya, Mas. Atau kamu bakal kehilangan aku."
Abhi mendesah. Dia tampak mencengkeram rambutnya frustrasi.
Salsha yang melihat itu merasa simpati. Dia menatap Seva yang masih tampak terisak. Persetan dengan apa pun. Pengobatan Nia bisa dia cari solusinya sendiri nanti. Tapi menjadi perusak dalam rumah tangga orang, tentu tidak ada di dalam kamusnya. "Mbak, kayaknya gue nggak perlu-"
"Jangan coba-coba, Cha. Lo harus inget sama Nia." Seva menyahut dingin. Matanya kembali beralih menuju Abhi. "Pikirin lagi, Mas. Cuma ini satu-satunya kesempatan kita," lanjutnya sebelum beranjak dan pergi.
Meninggalkan Salsha yang terdiam gamang. Juga Abhi yang frustrasi.
***How about this part?
28 November 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Wedding [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] *** Menurut Salsha, hal yang paling berharga setelah dia kehilangan harta, warisan, atau bahkan orang tuanya adalah Nia. Adik semata wayang dan juga keluarga satu-satunya yang dia miliki. Saat usianya 20, kehidupannya jungkir b...