SALSHA
***
Langkah kakiku terasa goyah saat jam makan siang mengharuskanku memenuhi janjiku untuk bertemu Mbak Seva. Aku keluar dari lift dengan beberapa pegawai yang juga ingin mengisi perut mereka.
Sedikit sesak. Membuat rasa mual mulai menghampiri secara perlahan. Agak aneh rasanya karena dua hari ini nampaknya kehamilanku baik-baik saja.
Demi menahan gejolak di perut, aku berdiri di sudut. Malas membuka mulut walaupun para pegawai wanita di depanku sibuk cekikikan.
Mendesah lega saat pintu lift berdenting dan mulai terbuka. Mengantarkanku pada lantai lobi. Meski sedikit gemetar, aku memaksakan langkahku menuju sebuah Rumah makan Padang di seberang kantor.
Menemukan sosok Mbak Seva dengan balutan hijab hijau cerah melindungi kepalanya.
Seperti biasa, kami cipika-cipiki. Berpelukan erat layaknya sahabat lama yang jarang berjumpa. Aku juga memesan teh hangat seperti biasa, kali ini tanpa makanan. Rasanya tidak sanggup lagi lambungku menelan apapun karena gejolak yang mendera.
"Kenapa elo nggak langsung ngabarin gue?" tanya Mbak Seva begitu aku selesai menyesap teh hangatku. "Lo tau, sekali lo masuk rumah Subrata, lo bakal susah buat keluar lagi," lanjutnya.
Aku tahu. "Gue nggak punya pilihan." Adalah jawabanku satu-satunya yang masuk akal.
Mbak Seva berdecak di tempatnya. Dia menyeruput tehnya dengan kesal. "Lo tau lo punya. Kalau aja lo duluan ngehubungin gue, gue bisa langsung bawa lo ke rumah."
Itu lebih berbahaya dibanding keberadaanku di dalam rumah Subrata. Aku pernah membaca mengenai pengaruh hormon Ibu hamil yang biasanya tidak ingin jauh-jauh dari ayah si janin. Dan itu bukanlah sesuatu yang aku inginkan. Aku ingin menjauh dari Pak Abhi sejauh mungkin. Mencegah kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan membuatku berkubang pada rasa bersalah pada akhirnya.
"Pak Abhi udah duluan hubungin keluarganya." Ya, karena itulah alasan mengapa beberapa menit setelah mengetahui kehamilanku, keluarga konglomerat itu langsung menerobos apartemen kecil milikku.
Perempuan di hadapanku kembali mendesah. "Gimanapun gue kecewa, Cha. Gue yang ngusulin elo buat dinikahin, tapi gue juga orang terakhir yang tau tentang kehamilan lo. Bahkan, gue udah nggak bisa bebas ketemu lo lagi setelah Mama minta elo tinggal di rumahnya." Senyumnya tampak sedih kemudian. Aku juga merasa tidak tega, tapi tidak bisa melakukan apa-apa. "Padahal, itu bakal jadi anak gue kan, nantinya?"
Aku diam. Perasaan tidak terima langsung menelusup begitu Mbak Seva berkata 'anak gue'. Aku tahu itu tidak tahu diri namanya, maka dari itu aku enggan menjawab.
"Tapi, apa lo bisa membujuk Mama buat tinggal di rumah gue aja? Gue pengen tau perkembangan bayi itu."
"Gue nggak yakin." Selain aku tidak yakin bisa membujuk Tante Riana, aku juga merasa keberatan jika harus tinggal bersama Mbak Seva dan Pak Abhi. Keadaan akan canggung. Dan seperti yang aku bilang tadi, aku ingin mencegah kemungkinan-kemungkinan terburuk terjadi.
"Jadi, gue cuma bisa ketemu lo di saat lo lagi di kantor? Kayak sekarang ini?" Dia kembali mendesakku.
Aku mengangkat bahu. Selain tidak punya jawaban, rasa mual itu semakin menjadi. Sedikit saja aku membuka mulut, sepertinya sudah tidak tertahankan lagi.
"Lo kenapa sih, Cha, kok jadi pendiem gini? Jangan bilang lo jatuh cinta sama suami gue kayak di sinetron-sinetron? Basi, Cha." Mbak Seva memutar bola mata.
Aku mencoba mengambil napas dalam-dalam. Mencegah luapan dalam dada serta lambung. Dengan gigi terkatup aku menjawab, "Gue nggak ada rencana buat suka sama suami lo."
Ini yang aku takutkan. Belum apa-apa saja Mbak Seva sudah menuduhku demikian. Bagaimana jika nanti dia melihat aku yang hamil ini haus perhatian akan ayah si bayi, dia pasti langsung membencinya.
"Sevanya!" Seseorang memanggil, menghentikan Mbak Seva yang hendak membuka mulutnya.
Aku menoleh, menemukan Pak Abhi dengan kemeja lusuh serta jas hitamnya berjalan mendekat. Tatapannya lurus ke arah Mbak Seva, seolah dia tidak melihatku duduk di sini.
"Kamu nggak bilang kalau mau ke sini," ucapnya ketika sudah berdiri di samping istrinya.
Mbak Seva hanya bersidekap. Matanya enggan melirik ke arah pria yang masih tampak kalut itu. "Aku ada perlu sama Cacha."
Dan seolah baru tersadar, Pak Abhi menoleh ke arahku. Aku juga enggan melihatnya. Enggan ikut campur terhadap urusan mereka berdua lebih tepatnya.
"Sudah selesai, kok." Aku menjawab disertai senyum formal. Ingin membuktikan bahwa tuduhan yang tadi Mbak Seva lontarkan kepadaku sama sekali tidak benar. "Saya duluan, Pak. Gue duluan, Mbak."
Aku mencoba berdiri. Sama seperti sebelumnya, langkahku terasa goyah. Tapi aku bisa menahannya.
Sampai aku sampai di pintu keluar, bau asap rokok bercampur polusi kendaraan dari bus besar yang baru saja lewat membuat gejolak di dalam perutku semakin menjadi-jadi.
Panik, aku berjalan menuju selokan yang bersih dari sampah. Berjongkok di sana dan memuntahkan semua isi lambungku yang hanya berisi air. Mengabaikan desisan jijik dari orang-orang sekitar yang mengataiku muntah sembarangan dan sebagainya. Mana aku peduli, seandainya aku bisa menahannya semauku, aku juga tidak mau muntah di tempat umum begini.
Aku belum selesai dengan muntahku saat merasakan rambut panjangku ditarik ke belakang, juga pijatan lembut di sekitar tengkuk.
"Saya bilang juga apa?" Seseorang di belakangku menggerutu.
Perutku mulai nyaman. Tidak ada lagi sesuatu yang mendesak keluar. Dan setelah yakin sudah menuntaskannya, aku menoleh. Menemukan wajah Pak Abhi yang juga ikut berjongkok di belakangku. Aku diam saja saat pria itu mengelap bibirku dengan tissu yang dibawanya. Sementara tangannya yang lain masih menahan rambutku.
"Mau pulang." Nada bicaraku terdengar memelas. Aku juga tidak tahu kenapa bisa begitu. Yang jelas, aku sudah tidak sanggup lagi melanjutkan perjalan menuju kantor.
Dia membimbingku berdiri dengan menahan lenganku. Ya, aku bisa limbung kapan saja seandainya Pak Abhi memilih melepasku.
"Istrinya hamil itu, Mas. Jangan ditinggalin sendirian, kalau pingsan di jalan malah bahaya." Seorang Ibu-ibu dengan hijabnya yang baru saja lewat berbicara.
Aku bisa melihat ringisan Pak Abhi saat mendengar kalimat itu. Ku sentuh lengannya saat dia mencoba menjawab. Tubuhku rasanya lemas sekali. Yang kubutuhkan saat ini hanya kasut empuk untuk mengistirahatkan badan.
"Tapi saya masih ada kerjaan sedikit. Istirahat di ruangan saya aja, nggak apa-apa?" Masih menuntunku, kami berjalan menyembrang jalan.
Aku menurut saja. Tidak mau semakin merepotkan. "Kalau gitu saya jalan sendiri aja, Pak. Nggak perlu di ruangan Bapak, kok, di kubikel saya juga bisa." Karena bisa gawat kalau ada orang lain yang memergokiku berada di dalam ruangan Pak Abhi.
"Apa enaknya tidur di atas kursi?" Pria itu kembali meraihku saat aku mencoba menjauh. "Lagian di lantai atas sepi. Masih pada makan siang semua."
Meskipun begitu, aku tetap memaksa menjauhkan diri saat memasuki lobi. Masuk ke dalam lift yang hanya diisi kami berdua, aku langsung menyandarkan tubuhku.
Hening.
Aku enggan membuka suara. Begitu pula pria di sampingku yang fokus kepada ponselnya. Mungkin menghubungi Mbak Seva.
Tunggu.
"Bapak ninggalin Mbak Seva di rumah makan?" Astaga, aku bahkan nggak ingat keberadaan Mbak Seva sama sekali.
Pak Abhi mengangkat wajahnya. "Jalanmu tadi udah kayak orang mabuk. Dia nyuruh saya buat ikutin kamu, takut kamu kenapa-napa, dan bener, kan? Kamu muntah."
Astaga ... Kepalaku semakin pening saja rasanya. Belum apa-apa rasa bersalahku kepada Mbak Seva sudah hadir lebih awal.
Mataku memejam rapat. Selain merasa tidak enak terhadap Mbak Seva, kini kepalaku juga pening bukan main. Aku masih menyandar saat merasakan telapak tangan yang hangat mengusap keningku.
"Nggak usah terlalu banyak pikiran, bisa membahayakan kandunganmu. Kamu udah janji, kan untuk nggak stres kalau saya ajak ke kantor?"
"Hm, cuma kepala saya pusing."
Tepat setelah aku menyuarakan kalimat itu, pintu lift berdenting. Menampilkan ruangan dengan kubikel yang sepi.
"Kalau gitu, ayo istirahat dulu," kata Pak Abhi menuntunku menuju ruangannya.
Ini baru pertama kalinya aku masuk ke dalam ruangan Pak Abhi. Tidak terlalu luas, tapi nyaman karena memang tempatnya begitu rapi.
Ada meja besar beserta laptop di tengah-tengan. Sofa bed besar berwarna hitam, dan rak buku di sisi lain menempel pada dinding. Aku melihat satu pintu lagi yang kuduga adalah toilet.
Aku mengikutinya untuk duduk di sofa bed. Membiarkan pria itu menyusun bantal dan perlahan aku berbaring di sana. Tubuhku muat tentu saja. Mataku masih mengikuti gerakan Pak Abhi saat dia melepas jas yang dikenakannya, kemudian diselimutkan untuk menutupi rok pendekku yang sedikit tersingkap karena berbaring.
"Kamu sudah makan?" tanyanya setelah berjongkok, meneliti wajahku yang pucat.
Aku menggeleng menjawab pertanyaannya. "Dari tadi mual."
Pria itu mendengus kemudian menandakan bahwa ia kesal. "Saya telepon Satria dulu. Kamu harus makan." Dia berdiri sambil mengotak-atik ponsel. Dia menyebut nama Mas Satria karena biasanya, Mas Satria yang sering dititipkan makan siang.
"Tapi nanti ketahuan," aku berusaha mencegah. Tidak mau hubunganku dengan bos besar tercium baunya, terlebih orang itu adalah Mas Satria, pria yang sampai saat ini masih menguasai hatiku.
Menyadari kekalutanku, Pak Abhi mengusap bahuku sekilas. "Nanti saya suruh sampai depan pintu aja."
Baik, terserah saja. Aku kembali memejamkan mata. Membiarkan wajah Pak Abhi kembali dekat karena aku bisa merasakan hembusan napas hangatnya. "Kalau gitu saya selesaikan pekerjaan saya dulu," bisiknya disertai langkah menjauh.
Aku memejamkan mata ketika kantuk mulai mendera. Suara-suara di sekitar berubah menjadi dengung, mata mulai terlelap dan aku jatuh tidur. Mengabaikan perasaan hangat saat merasakan tubuhku kembali diselimuti kain lembut yang lebih besar dari hanya sebatas jas hitam.
Juga ... Kecupan lembut yang menyapa keningku, mungkin?
Entahlah, aku tidak yakin.
***Haiii, masih ada yang nungguin. Kangen nggak sama Salsha-Abhi? Kangen dong, masa enggaaa. Hihi.
Gimana puasanya hari ini? Lancar, kan?
Meskipun telat, aku cuma pengen bilang, selamat melaksanakan ibadah puasa teman-teman. Semoga ibadah kita dibulan suci ini berkah dan bisa diterima oleh Allah SWT. Amiin.
Vidia,
14 April 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Wedding [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] *** Menurut Salsha, hal yang paling berharga setelah dia kehilangan harta, warisan, atau bahkan orang tuanya adalah Nia. Adik semata wayang dan juga keluarga satu-satunya yang dia miliki. Saat usianya 20, kehidupannya jungkir b...