Second Wedding | 40 [End]
***
Aku baru tahu kalau Asia akan menikah dengan putra seorang Kyai kenamaan kebanggaan Jogja. Kyai Umar namanya.
Tidak heran saat aku datang demi memenuhi undangan dari Kakek Sastra, nuansa yang dipakai di pernikahan ini begitu sakral dan islami.
Ditemani Kaira, aku duduk di kursi eksklusif yang sudah disediakan sambil memakan hidangan secukupnya. Asia belum tahu kalau aku hadir di pernikahannya, semoga saja dia tidak lupa dengan wajahku karena aku akan memainkan piano sebagai kejutan nanti.
"Kamu kenapa?" Aku bertanya setelah melahap sesuap puding. Menyaksikan gelagat aneh Kaira, keningku berkerut dalam.
Kaira berulang kali mengibas kain panjang sebagai penutup kepalanya. "Agak ... Nggak biasa, Bu."
Kaira memang risih terhadap rambut panjang, itu sebabnya dia selalu memotong rambutnya menjadi bob pendek. Aku tidak heran dia juga merasa risih saat kain panjang menutup kepalanya.
"Tahan bentar, ya. Nggak sopan kalau dicopot sekarang." Aku membujuk.
Senyum Kaira tersungging menenangkan. Dia tidak lagi berwajah dingin setelah kami beberapa hari cukup mengenal. "Tenang aja, Bu. Saya masih bisa menahannya."
Baguslah kalau begitu.
Dan tidak lama setelah itu, giliranku untuk memainkan piano. Aku berjalan ke samping panggung, menuju sebuah piano dengan warna putih desain elegan.
Euforia bahagia selalu bisa ku rasakan saat melihat alat musik itu.
Aku duduk dengan perasaan senang, meneliti kertas berisi not balok itu sekilas sebelum mendaratkan jemariku di atas papan tuts. Bergerak dengan perlahan menciptakan irama yang sudah ku hafal di luar kepala.
River flows in you milik Yiruma perlahan membawaku terbang menuju sekelebat bayangan yang susah untuk di lupa.
Saat itu, di atas piano juga, dia menumpahkan cinta, berbisik mesra penuh kasih dengan aku yang mendambakannya. Aku bahkan masih bisa merasakan bagaimana kecupan hangat itu mendarat di keningku lama. Seolah dia bisa menyalurkan seluruh perasaannya lewat sentuhan intim itu.
Jemariku masih bermain, seirama dengan kenangan-kenangan yang membawaku pada memori di mana aku jatuh cinta. Kenangan-kenangan yang seolah tumpah ruah dan tidak terkendali.
Setiap bermain piano, emosiku selalu ikut campur. Dan baru kali ini, aku bisa membenci perasaan rindu yang terus menerus muncul seiring dengan irama nada.
Aku terengah begitu jemariku menyentuh tuts terakhir dan permainan berhenti. Mengantarkan aku pada kesunyian dan menyadarkanku dari lamunan tidak perlu.
Namun meskipun begitu, dadaku masih berdebar-debar karenanya.
Aku turun dari panggung kecil itu diiringi dengan suara tepukan tangan yang meriah. Kembali ke tempatku semula di samping Kaira.
"Ibu bermain dengan penuh perasaan." Kaira berkomentar.
Aku hanya tersenyum dengan wajah menatap ke depan. Tidak tahu saja dia apa yang aku bayangkan ketika bermain tadi.
Sampai acara inti sudah selesai, tamu dipersilahkan memasuki area garden party.
Beruntung aku tidak memakai wedges, hanya berupa selop yang cocok dengan jarik batik beserta kebaya brokat yang aku kenakan saat ini. Modelnya ketat, sampai perutku yang membukit bisa dengan jelas terlihat. Dan karena ini pernikahan besar putra seorang Kyai, aku juga memakai kain panjang demi menutupi kepalaku.
"Mbak Cacha!"
Suara seseorang menginterupsi obrolanku bersama Kaira.
Aku menoleh, menemukan ratu dalam acara pernikahan ini memakai kebaya brokat berwarna putih sedang berjalan menghampiriku.
"Yaya!" Aku tersenyum menyambut pelukan Asia dengan sama hangatnya.
"Aku ndak nyangka Mbak Yaya bakalan dateng," katanya setelah pelukan kami terurai.
"Kakek Sastra yang undang," jawabku memperhatikannya. "Mbak nggak nyangka kalau kamu sudah sedewasa ini." Aku terkekeh. Asia yang masih berumur sembilan tahun adalah Asia yang ceria tapi cengeng. Dia akan menagis keras-keras memperlihatkan gigi ompongnya saat kemauannya tidak dituruti.
Aku bisa melihat wajahnya tersenyum malu. "Itu kan, wes dulu banget, Mbak. Mbak Cacha masih inget aja."
Aku tertawa. "Emangnya siapa yang bisa lupain tangisan kamu, Ya ....?"
"Mbak," Dia memukul pelan tanganku, merasa malu. Sebelum kemudian kembali menatapku dengan mata berbinar. "Aku juga ndak nyangka bisa dengar Mbak Cacha main piano lagi. Masih keren seperti dulu."
"Kamu suka?"
Asia mengangguk yakin. "Itu salah satu hadiah terindah yang aku terima." Kemudian matanya teralih ke arah perutku yang buncit. "Si kembar baik?"
Reflek aku menyentuh perutku sendiri. "Alhamdulillah baik, Ya." Aku sedikit heran saat dia bisa menebak dengan tepat bahwa kandunganku ini kembar. Atau dari Kakek Sastra?
"Alhamdulillah nek gitu, Mbak. Yaya ke sana dulu, ya. Kasian itu Pak suami celingak-celinguk nyariin." Dia menunjuk ke arah belakangku. "Dinikmati pestanya, Mbak."
Dia memelukku lagi. "Iya, Ya. Bahagia selalu ya. Mbak doakan semoga pernikahannya sakinah, mawadah dan warahmah."
"Amiin Mbak, amiin." Dia kemudian melangkah menjauhiku.
Dan di saat aku menoleh, aku sudah tidak menemukan Kaira di sana. Ke mana dia? Apa ke toilet.
Aku mengambil asal minuman di atas meja, namun sebelum tegukan pertama, seseorang mencekal lenganku.
"Jangan minum soda." Suara seseorang terdengar kemudian.
Suara berat dengan aksen diseret yang khas, aku mengenalnya.
Dia mulai menurunkan tangannya saat aku juga menjauhkan gelas soda itu dari bibirku.
Kembali, aku menemukan mata hitamnya yang beberapa hari lalu aku lihat di depan biro arsitek milik Galen Davis.
Setelah berhari-hari aku memikirkan sedang apa dia berada di sana, kembali, hari ini aku menemukannya di tempat yang tidak terduga.
Pernikahan Asia.
Apa yang sebenarnya dia rencanakan?
Aku masih belum bisa membuka mulut saat mata kami masih saling bertaut. Sampai ....
".... Hai."
Sapaan dengan nada datar itu kembali menyapaku.
***
End.
Selamat tinggal sama kisah Cacha.
Aku upload part ending ini di saat suasana hati lagi kacau banget. Kasih semangat donggg ayoo.
Nggak kerasa ya, udah mau pisah aja sama mereka. Huhuhu.
Gimana ending kali ini? Puas nggak? Sesuai nggak sama ekspetasi kalian? Wkwk.
Kalau nggak, kalian bisa nungguin versi cetak atau ebooknya (tapi nggak tau kapan).
Sooo, bagi pikiran kalian tentang cerita ini.
Vidia,
12 Juni 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Wedding [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] *** Menurut Salsha, hal yang paling berharga setelah dia kehilangan harta, warisan, atau bahkan orang tuanya adalah Nia. Adik semata wayang dan juga keluarga satu-satunya yang dia miliki. Saat usianya 20, kehidupannya jungkir b...