***
Tengah malam entah pukul berapa, Salsha terbangun seperti biasa karena merasa kehausan. Dengan mata yang masih menyipit akibat cahaya lampu yang terlalu silau, dia beranjak, hanya untuk merasakan sentuhan dingin angin malam pada kulit tubuhnya yang hanya terbalut bra dan celana dalam.
Permainan menakjubkan semalam mereka lakukan beberapa kali di tempat yang berbeda. Pantri, sofa, kamar mandi, dan terakhir di ranjang. Tidak heran saat dia terbangun tubuhnya seolah akan rontok dan tulang menjerit linu.
Matanya melirik ke samping, menemukan seseorang yang menjadi partnernya yang tengah tertidur dalam posisi telungkup. Punggung lebarnya polos tanpa pakaian apapun, dan Salsha yakin sesuatu di balik selimut yang jatuh pada pinggang Abhi pun sama polosnya.
Dia memutuskan memijakkan kaki di lantai, meraih gaun tidurnya yang hanya dipakainya beberapa menit sebelum kembali di lepas oleh Abhi setelah mandi, sebelum kemudian memasukkan satu persatu kakinya ke dalam sandal bulu yang hangat.
Langkahnya berhenti di pintu dapur, sudut bibirnya mendadak terangkat saat mengamati pantri. Permainan di pantri memang permainan yang menghabiskan waktu paling banyak. Salsha bahkan masih ingat bagaimana pria itu mengangkatnya ke meja, membuka paksa kemeja kerjanya sampai kancingnya memantul berjatuhan, atau saat pria itu mengangkat rok span nya ke atas dan memasukinya di sana.
Astaga. Salsha segera menggelengkan kepala kuat-kuat. Berusaha menghilangkan bayangan erotis itu dari benaknya. Kemudian menuangkan air ke dalam gelas sebelum meneguknya dengan rakus. Kebiasaannya bangun tengah malam karena kehausan memang selalu terjadi sejak dulu.
Salsha hampir saja tersedak saat melihat sosok lain yang kini duduk di kursi bar tiba-tiba, tepat di hadapannya. Endra. Kapan dia masuk ke dalam sini?
"Lo di sini?!" tanyanya dengan mata yang hampir keluar karena mendelik.
"Lo baru tau?" Endra mengangkat sebelah alis. Namun kemudian matanya menyipit melihat gaun tidur super tipis yang kini sedang di pakai Salsha, sebelum kemudian memalingkan wajah dan berdecih. "Lo masih mau lanjutin rencana gila Seva?"
"Bentar," Salsha kembali ke dalam kamar hanya untuk meraih jubah mandi. Rasanya tidak nyaman berbicara dengan lelaki dengan gaun tidur yang tadi dipakainya, meskipun itu dengan Endra, sahabatnya sendiri.
"Jadi, imbalan apa lagi yang Seva tawarkan setelah semua ini?" Endra masih memberondongnya dengan pertanyaan bahkan setelah Salsha kembali.
Salsha ikut menarik kursi, duduk tepat berhadapan. Kepalanya menggeleng. "Nggak ada. Hanya untuk melunasi hutang gue atas pengobatan Nia."
"Dengan menyerahkan tubuh lo?" Tatapan Endra seperti tidak habis pikir.
Salsha mendesah. "Nggak ada cara lain, Dra."
"Gue selalu bilang bakal bantu, Cha. Kalau cuma masalah uang, gue bisa ngomong ke Seva buat ganti, meskipun gue perlu waktu. Tapi lo selalu nolak, kan? Kenapa? Karena ngerasa nggak enak lagi? Ngerasa malu sama gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Wedding [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] *** Menurut Salsha, hal yang paling berharga setelah dia kehilangan harta, warisan, atau bahkan orang tuanya adalah Nia. Adik semata wayang dan juga keluarga satu-satunya yang dia miliki. Saat usianya 20, kehidupannya jungkir b...