***
Yang Salsha lakukan sejak beberapa menit yang lalu hanya bersidekap dengan mata datar tak tersentuh. Dia tetap diam saja meskipun melihat lelaki dengan celemek bunga-bunga itu hampir saja meledakkan dapur meskipun sudah ada tiga pelayan yang membantunya.
Di bawah perintah Salsha, ketiga pelayan itu tidak ia perbolehkan menyentuh bahan. Hanya memberi instruksi seadanya sambil menolong dengan mengambilkan beberapa peralatan yang dibutuhkan.
Abhi berulang kali melirik Salsha dengan sorot memohon yang tentu Salsha abaikan karena dirinya masih kesal.
Berjalan mendekat, Salsha berdiri di samping Abhi yang sedang mengaduk fla di atas kompor. "Keenceran." Dia menunjuk.
Abhi menoleh, "Astaga, menurut saya ini yang paling sempurna dari empat fla yang lainnya, Cha," protes pria itu dengan wajah memelas.
Salsha masih bersikap tak tersentuh. "Saya mau puding yang sesempurna mungkin, Pak. Bapak mau ngasih makan anak kita asal-asalan?"
Perempuan ini hanya cari perkara, Abhi tahu itu. Namun, meskipun kesabaran mulai menipis, dia tetap tidak bisa melampiaskannya, kan?
"Fine!" Oleh karena itu, dia mengangkat teflon dari atas kompor, hendak menggabungkannya dengan empat teflon lain yang lebih dulu berada di wastafel.
Namun, sebelum teflon itu mendarat, Salsha lebih dulu menahan lengannya. Perempuan itu mengambil alih teflon dan mengembalikannya ke atas kompor. "Tapi yang ini kayaknya lebih baik."
Abhi tidak bisa menahan untuk tidak menghembuskan napas lega. Dia berkacak pinggang sambil mengamati wanita itu yang kini mengambil alih pekerjaannya. "Kamu cuma mau bikin saya kesal, kan?"
Dan jawaban atas pertanyaannya hanya berupa gedikan bahu. Membuat Abhi mendengus karena kecuekan itu sepertinya memancing tawa tertahan dari tiga pelayan yang kini ikut membantunya di dapur.
"Suruh siapa main cium sembarangan?"
"Memang kenapa? Biasanya juga saya cium, kamu nggak pernah protes."
Mata Salsha melotot. Dengan jari telunjuk dan ibu jarinya, dia mencubit perut pria itu di balik apron bunga-bunga berwarna kuning. Berani sekali dia membahas masalah intim di depan para pelayan yang bisa saja berasumsi macam-macam.
Abhi tergelak meskipun telapak tangannya tetap mengusap bagian perut yang Salsha cubit. Sebelum gantian bersidekap, mengamati fitur wajah perempuan yang sedang mengaduk fla idamannya itu dari samping.
Entah yang keberapa kalinya Abhi mengamati wajah Salsha sejak keduanya menikah, namun dia tidak pernah bosan. Tangannya tergelitik saat menangkap rambut wanita itu berjatuhan di antara bahu, membuat Abhi ingin sekali merapikannya.
Namun tentu dia tidak melakukan itu. Di antara mereka, meskipun tampak dekat di mata, tatap ada batasan-batasan yang tidak boleh dia lewati. Cukup beberapa hari lalu saja saat proses pembuatan bayi, dia tidak mau menodai pernikahannya dengan Sevanya meskipun sempat kecewa kepada wanita itu.
Dan ... Dia juga tidak mau memasukkan Salsha ke dalam hubungan rumah tangganya yang ruwet. Cukup dia menyeret wanita itu demi mengandung buah hatinya, dia tidak akan memberatkannya lagi dengan perasaan semu yang kini dengan serta merta mulai merayap pada Abhi.
Dia tidak akan menyangkal lagi.
Dan di saat Abhi masih fokus pada wajahnya, Salsha menoleh. Mengernyit dengan gerakan canggung. Dia tidak nyaman di tatap sedalam itu.
"K-kenapa?" tanyanya mengalihkan pandang dengan gugup.
Senyum tipis terukir pada pria awal tiga puluhan itu. Sebelum dengan lembut dia menggeser tubuh Salsha dan mengambil alih spatula. "Ini kan tugas saya. Kamu duduk manis aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Wedding [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] *** Menurut Salsha, hal yang paling berharga setelah dia kehilangan harta, warisan, atau bahkan orang tuanya adalah Nia. Adik semata wayang dan juga keluarga satu-satunya yang dia miliki. Saat usianya 20, kehidupannya jungkir b...