Tolong dong, sebelum baca biasakan vote dulu yuuuk. Cuma sedetik dan gratis. Masa susah, sih?😥
Habis itu komen in line juga, biar author tambah semangat buat up. Jadi kalian senang, author juga senang, kan? Masa yang komen sedikit banget sih, sampe author hapal siapa-siapa yang sering komen di lapaknya Cacha 😫Second Wedding | 37
***
Dia mengataiku rendah, menyakiti pergelangan tanganku, kemudian membentakku. Lengkap. Aku jadi semakin yakin untuk tidak meneruskan pernikahan gila ini.
Dia sepertinya baru sadar saat berbalik kemudian melihat air mataku. Matanya seketika melembut, tapi itu tidak lagi membuatku luluh. Perlahan, dia juga melepas cengkeraman tangannya di tanganku dan membelalak tidak percaya saat melihat tanda-tanda lebam serta membiru di sana.
“Kamu bilang di malam saat menendang kursi, kamu nggak akan pernah menghancurkan aku.” Aku bergumam. Menyulut penyesalan di matanya. “Tapi sekarang apa? Bukan hanya tanganku, tapi kamu juga menghancurkan hatiku.”
“Cha, aku—”
“Sekarang tolong biarkan aku pergi. Dari awal tempatku memang bukan di samping kamu.” Aku melangkah mundur perlahan. Jaga-jaga kalau dia akan menyeretku lagi. Tapi sepertinya itu tidak akan terjadi karena dia masih merenung di tempat nya setelah aku berhasil memasuki lift dan bersandar di dalamnya. Segera, ku ketik pesan untuk Endra agar menjemputku. Semoga dia masih di sekitar sini setelah mengantar ku tadi.
Aku menatap miris pergelangan tanganku yang lebam. Ini akan menjadi alasan kenapa aku tidak akan melanjutkan pernikahan ini. Membiarkan dia hidup bahagia dengan istri pertamanya adalah pilihan yang tepat. Mereka bisa mencari perempuan lain lagi untuk dijadikan korban sepertiku jika ingin mempunyai keturunan.
Dan untungnya, ketika aku berhasil menuju halaman hotel dan menunggu beberapa menit di sana, kelegaan serasa menguasai hatiku saat aku mulai melihat mobil Endra mendekat.
Begitu mobil Endra sampai di depanku, aku langsung masuk dan duduk di samping kemudi dengan wajah datar. Tidak ada lagi air mata. Hanya kesakitan yang saat ini sekuat tenaga aku tahan.
“Ke tempat Nenek,” kataku dengan suara lurus tanpa riak.
Endra masih celingukan dan menatapku dengan dahi berkerut. “Suami lo mana?”
“Perjanjiannya udah selesai,” jawabku. Aku bersyukur Endra sama sekali tidak tahu tentang rencanaku yang ingin menetap setelah mendapat pengakuan cinta Mas Abhi yang ternyata hanya kebohongan belaka itu. “Gue bakal tebus semua biaya pengobatan Nia dan merawat bayi ini sendiri.”
Endra yang menyetir langsung menoleh. “Abhi setuju? Gue kira kalian udah membaik pas pertama kali gue lihat kemarin.”
“Semua yang lo lihat belum tentu sama, sama semua yang terjadi.”
“Jadi?” Endra kembali mencuri pandang sesekali ke arahku di sela-sela dia menyetir.
“Gue bakal ambil alih perusahaan Papa,” jawabku penuh ambisi. Mungkin Mas Abhi benar, aku memang serendah itu meninggalkan dia demi uang. Tapi seandainya dia bisa dengan konsisten memilih, tentu aku juga akan dengan lantang memilihnya.
***
Karena sudah malam dan Nenek sudah tidak bisa lagi dibesuk, Endra membawaku menuju rumah Kakek yang sudah lama sekali tidak aku sambangi.
Pukul delapan malam begini, masih ada saja tamu yang datang. Aku heran saat melihat mobil terparkir di halaman rumah.
Aku menoleh ke arah Endra dengan mata penuh tanda tanya, tapi sepupuku itu hanya menjawab dengan gedikan bahu sebelum memutar kunci mobil dan mesinpun mati.
Dia menurunkan koper kecilku lebih dulu sebelum melangkah masuk dengan aku yang mengekor.
Sambil melihat sekeliling, meneliti aroma rumah yang sudah sepenuhnya berubah. Aku juga baru menemukan pot-pot besar berisi bunga-bunga anggrek. Apa Nenek sudah mengganti selera nya, dari anyelir ke anggrek, ya?
Dan saat begitu masuk, benar saja. Aku bisa menemukan Kakek bersama seseorang seumurannya sedang bersantai di ruang tamu sambil meminum teh. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi tawa terbahak-bahak ke dua Kakek itu langsung berhenti seketika saat melihat aku dan Endra masuk.
“Salsha.” Senyum Kakek sumrigah meski aku bisa melihat wajah lelahnya. Seharian ini dia menjaga Nenek dengan membawa pekerjaan yang menumpuk, aku melihatnya tadi terkantuk-kantuk dengan laptop di pangkuan saat di rumah sakit.
Aku mendekat, bergerak memeluk Kakek dengan sama eratnya. Setelah tadi di rumah sakit aku masih mengabaikannya karena masih sakit hati, setelah mendengar penjelasan Om Indra rasa kesal itu mulai sirna perlahan. Meskipun masih ada jejak-jejak yang tertinggal.
“Lho? Iki Salsha?” Kakek-kakek yang merupakan teman bicara Kakek menyela.
Aku meringis membalas sapaannya kendati aku tidak ingat siapa kakek yang kini menyapaku dengan begitu manis.
“Masih ingat nggak kamu?” tanya kakekku. “Ini Kakek Sastra, kakeknya Asia. Dulu waktu kecil kamu sering banget main sama dia.”
Asia? Asia Rukmasara? Ah, aku mengingatnya. Juga Kakek Sastra yang dulu sering sekali membuatkan kami mainan dengan kayu-kayuan. Aku jadi ingat rumah kayu yang di desain langsung oleh Kakek Sastra untuk tempat bermainku bersama Asia.
“Apa kabar, Kek?” Aku membalas sapaannya dengan hangat. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan beliau, juga Asia meskipun mereka pindah tidak jauh dari rumah kami.
“Alhamdulillah, Nduk. Kakek sehat. Udah lama ndak lihat sampean. Dulu kayaknya sering banget pasaran sama Asia.”
Kakek Sastra ini dulunya adalah tetanggaku. Beliau merupakan orang tua dari ayahnya Asia. Sejak istrinya meninggal, anak dan menantunya yang juga keturunan keraton serta konglomerat itu memutuskan tinggal bersamanya sementara rumahnya yang berada di daerah Sleman masih dalam proses pembangunan.
“Asia sudah mau menikah, Nduk. Ini kakek ke sini mau nganterin undangan buat kakek-nenekmu,” katanya lagi. “Tapi kalau kamu mau datang, boleh. Asia pasti senang kalau teman kecilnya ada di saat-saat bahagianya.
***
Bahagia.
Asia, teman kecilku. Usia kami terpaut tiga tahun dengan aku yang lebih tua.
Dia akan menikah dan berbahagia dengan pasangannya. Senang sekali. Aku juga ingin menemukan pangeran berkuda putih yang akan memperlakukan aku seperti ratu layaknya di negeri dongeng.
Selama ini, selama kesusahan yang selalu mendera hidupku bertubi-tubi, aku membayangkan Cinderella. Yang hidup dengan kungkungan Ibu tiri dan dua saudarinya yang jahat sebelum dia menemukan pangeran tampan yang akan menikahinya dan hidup bahagia.
Tapi pangeran itu seolah enggan datang padaku. Tidak dengan Mas Abhi atau siapapun itu. Ya, karena tahu hidupku ini merupakan realita yang sangat jauh berbeda dengan negeri dongeng.
Wajar saja jika yang aku lalui hanya kepahitan, kesakitan. Aku tidak akan mengeluh lagi. Karena aku percaya, Tuhan selalu memberiku kekuatan di balik penderitaan yang aku alami.
Bayi di dalam perutku ini, contohnya.
Mulai saat ini, aku tidak akan peduli lagi dengan lelaki itu dan segala ucapannya yang menyakitkan. Aku akan menghidupi diriku sendiri dan merawat bayiku dengan baik.
Ya ... Aku berambisi menguasai perusahaan milik Papa. Memikirkan masa depanku beserta dua bayiku. Tidak masalah. Keluarga Subrata bukan lagi sebuah halangan.
Kebaikan Mama Riana yang aku percayai, pasti akan mengerti jika aku menjelaskan.
Tidak apa. Aku hanya akan membuang Abhi dari hidupku.
***
Vidia,
07 Juni 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Wedding [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] *** Menurut Salsha, hal yang paling berharga setelah dia kehilangan harta, warisan, atau bahkan orang tuanya adalah Nia. Adik semata wayang dan juga keluarga satu-satunya yang dia miliki. Saat usianya 20, kehidupannya jungkir b...