Jika; 36

6.5K 833 121
                                    

Bab 36

***

Aku masih terus diam bahkan saat mobil milik Endra sudah sampai di depan gedung tempatku dan Mas Abhi menginap. Ke dua lelaki di sekitar ku ini juga tidak kunjung bertanya meskipun aku tahu keduanya sama-sama kepo dengan apa yang aku bicarakan dengan Om Indra tadi.

“Bener nggak mau nginap di rumah aja?” Endra memutar tubuhnya sembilan puluh derajat untuk menatapku. Rumah yang dia maksud adalah rumah orang tuanya, karena rumah lamaku sudah dikontrakkan oleh Kakek.

Aku menggeleng menjawab pertanyaan Endra. “Nanggung, udah pesan sampai tiga hari ke depan juga. Di sini juga dekat sama lokasi rumah sakit Nenek.”

Endra akhirnya hanya bisa menurut. Menurunkan aku dan juga Mas Abhi di depan hotel yang kami tempati.

Sampai kami masuk kamar, tidak ada suara. Aku masih banyak pikiran, dan sepertinya dia tahu kalau aku masih enggak diajak bicara.

Sebelum saat kami berdua sudah sama-sama berbaring di atas ranjang dan siap untuk tidur, dia bertanya. “Ada apa?”

Aku memiringkan tubuh, menyangga kepalanku dengan telapak tangan. “Om Indra menjelaskan semuanya. Dia nggak merebut harta Papa dan membuang aku seperti yang aku kira. Dan setelah semuanya ... Dia mengembalikan perusahaan milik Papa ke aku.”

Mas Abhi menatapku dengan dahi berkerut dalam. “Kamu menerima tawarannya?”

Aku mendesah. “Itu bukan tawaran. Itu memang hakku. Mau nggak mau, aku tetap harus mengurusnya seperti yang di wasiatkan Papa.”

“Terus aku? Baby Bear’s? Mau kamu tinggalin gitu aja?” Dia menunjuk dirinya sendiri tidak terima.

“Kamu kan memutuskan untuk nggak menceraikan Mbak Seva. Jadi, walaupun aku pergi, kamu bisa meneruskan rencana kalian.” Semoga ini menjawab pertanyaan kalian atas percakapanku dengan Mas Abhi malam itu.

Mas Abhi tampak menyipit. “Aku udah jelaskan, Cha. Aku memang nggak menceraikan dia, tapi aku juga nggak akan kembali kepadanya. Saat lihat kondisi anaknya, kamu akan ngerti kenapa aku melakukan ini.”

Aku menahan luapan emosi, meskipun sudah berusaha menerima, tapi tetap saja. Keputusannya mencabik-cabikku. Tapi di lain sisi, entah kenapa aku juga merasa tidak tega jika harus memaksanya. Di sini, akulah istri kedua, yang masuk ke dalam pernikahan Mbak Seva dan Mas Abhi, lalu menumbuhkan perasaan tanpa permisi. Dan aku tidak mau berlaku antagonis atas hidup Mbak Seva yang sudah membantuku sebegitu banyak.

Dia seorang diri, memiliki seorang anak yang sedang sakit, tidak mungkin juga aku memaksa Mas Abhi yang masih berstatus sebagai suaminya, yang masih dicintai oleh Mbak Seva, menceraikannya saat ini juga.

Aku sebenarnya lelah, ingin sekali bersikap egois tapi nuraniku melarang.

“Terus mau gimana? Kamu kan, malam itu udah setuju.” Dia mendesak.

Aku menatapnya tanpa ekspresi. “Aku diam, bukan berarti aku setuju.”

Dia segera bangkit. Menjambak rambutnya dengan kasar dan frustrasi. “Kamu tau, aku cuma akan membantunya secara finansial aja sampai setidaknya kondisi Juwi membaik. Aku nggak akan menemui Sevanya seandainya itu yang kamu mau.”

Itu yang aku mau? Dia bicara seperti seolah-olah aku yang memaksanya. Senyumku terbit dengan miris. “Apa hak aku memintamu berhenti menemui istri kamu sendiri? Kamu bebas menemui Mbak Seva kapanpun kamu mau. Selama kamu nggak menceraikannya, Mbak Seva tetap istri kamu, kamu masih berkewajiban memberinya nafkah lahir batin dan bertanggung jawab.”

Dia berdiri. “Kamu bicara seperti itu, seolah nggak keberatan dengan keputusanku, tapi akhirnya tetap memilih pergi karena silau dengan harta yang ditinggalkan Papamu?” Matanya menajam. “Meninggalkan suami dan mencampakkan anak kamu sendiri, tidak memikirkan perasaan Mamaku yang sudah terlanjur sayang sama kamu hanya demi harta. Rendah.”

Second Wedding  [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang