Jika 2

6.1K 632 7
                                    

Bab 2

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bab 2


***


Memang, tidak heran kenapa banyak manusia di dunia ini yang sering menanyakan ketidakadilan yang diberikan oleh-Nya. Masalah hanya akan datang sesuai dengan kemampuan yang kita miliki, kata-Nya. Tapi masih banyak manusia-manusia yang selalu gagal menerima masalah yang terlalu berat. Mengakhiri diri sendiri, contohnya.


Dan itu juga yang membuat Salsha bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Sebesar apa kapasitas yang dimilikinya untuk menanggung beban yang diberikan Tuhan.

Kedua orang tuanya meninggal akibat kecelakaan pesawat saat dirinya berumur 19 tahun. Perusahaan milik kedua orang tuanya bangkrut. Sanak saudara yang tadinya menjadi parasit dan bermulut manis membuang mereka. Memperlakukan Salsha ataupun Nia seolah mereka tidak mengenalnya. Dan belum sampai di situ, setelah dirinya kesusahan mencari biaya dengan kerja siang malam untuk melanjutkan hidup, Nia di vonis mengidap penyakit ganas.

Miris sekali.

Dan sekarang. Salsha harus kembali mendengar vonis dokter yang tak kalah mencengangkannya.

"Tumornya sudah mulai merambat sedikit demi sedikit, bisa dilihat." Tangan dokter itu menunjuk pada layar monitor. Salsha yang tidak begitu mengerti hanya bisa melihat benda-benda dengan bentuk segi enam yang tidak beraturan, juga benda lain yang terlihat lunak yang tadi ditunjukkan dokter.

"Sebelum semuanya terlambat dan sel tumor merambat semakin cepat, kita mau tidak mau harus melakukan pengangkatan segera. Ini masih bisa diatasi karena masih dikategorikan stadium awal," lanjut dokter.

Salsha menggigit bibirnya. Apa ini artinya Nia harus operasi? Dan itu artinya uang yang dirinya butuh kan pun tidak sedikit. Tentu, tabungan yang ada di dalam rekeningnya saja tidak cukup.

Endra langsung berdiri saat di keluar dari ruang dokter.

"Gimana, Cha?" tanyanya dengan nada khawatir yang kental.

Salsha melangkah lesu, dan kembali duduk. "Nia harus operasi," gumamnya dengan kepala menunduk.

Dia bisa mendengar pria di sebelahnya mendesah keras.

"Gue bakal ngajuin pinjaman ke Bank." Cowok itu berujar tiba-tiba.


Salsha membelalak. "Lalu kita punya apa buat jaminan, Dra? Gue bener-bener udah nggak punya apa-apa lagi."

"Mobil gue bisa dijadiin jaminan. Mesinnya masih bagus. Kalau diajuin 30 juta, masih bisa."

Dan kembali membuat Endra kehilangan barang kesayangan yang dengan susah payah dia dapatkan? Tentu tidak bisa. Salsha menjadi saksi hidup bagaimana Endra dengan mati-matian mengkredit mobil itu.

"Nggak, gue nggak bisa."

Lalu Endra mendesah lagi. "Jangan keras kepala, Cha. Ini demi Nia."

"Tetep, Ndra. Gue nggak mau ngerepotin lo lebih jauh lagi. Please ngerti."

"Terus apa yang akan lo lakuin? Lo nggak berniat jual diri atau jadi peliharaan gadun, kan?" Endra bertanya emosi.

Mata Salsha sudah berkaca-kaca. Dia meluruskan kakinya dan menyandarkan punggungnya pada kursi tunggu di rumah sakit. Tiba-tiba merasa lelah sekali.

Matanya terpejam dengan kepala mendongak.

"Dengan lo nolongin gue, lo bisa sembuhin Nia, Cha."

Lagi, suara Mbak Seva berdengung di kepalanya.

Apa ... Memang ini satu-satunya jalan?

Salsha menggigit bibirnya kuat. Haruskah dia menerima tawaran gila Mbak Seva?

Tapi bagaimana dengan harga dirinya?

Lalu bayangan Nia yang pingsan dengan darah segar mengalir dari hidungnya kembali muncul. Salsha ingat betapa cemasnya dia saat menyadari kulit tubuh Nia yang dingin dan pucat.

Persetan dengan harga dirimu, Cha. Harga dirimu tentu nggak seberapa dibanding kesembuhan Nia!


***


Salsha kembali bekerja seperti biasa keesokan harinya. Meskipun malam ini dia tidak pulang ke apartemen, dan harus ke rumah sakit karena adiknya masih belum diizinkan pulang.

Dia juga sudah menghubungi Mbak Seva. Mengabarkan kalau dirinya perlu bicara saat jam makan siang nanti.

"Review proyek dari produk sunscreen sudah selesai?" Suara berat yang berada di ujung ruangan itu menginterupsi.

Salsha menoleh.

Dia. Abhinarko Subrata, berdiri dengan setelan kemeja rapinya. Berjalan menghampiri Satria.

"Sudah 60%, Pak. Nggak sampe dua hari semua beres."

Salsha tersenyum saat melihat jawaban menggebu-gebu dari pria itu.

Lalu dia melihat Pak Abhi berjalan kearah Mbak Mugi, yang juga salah satu senior yang masih satu tim dengannya.

Dan hanya sampai situ. Abhi berbalik dan berjalan menuju kubikelnya sendiri.

Salsha menghembuskan napas lega. Untung pria itu tidak ikut mengecek pekerjaannya. Karena bagaimanapun, Salsha tahu kalau yang selalu dipantau Abhi hanyalah pekerjaan penting dari dua leader kesayangannya itu.

Pak Abhinarko tentu menjadi idola banyak pegawai wanita di kantornya ini. Sifatnya ramah, selalu menebar senyum. Dan hanya mengulum bibir saat para pegawai-pegawai itu mulai menggombal.

Tapi tentu hanya sebatas menggombal, karena pegawai-pegawai di sini tidak buta untuk tidak menyadari kalau jari manis Pak Abhi sudah terisi. Tanda kalau bos idola mereka itu sudah menikah.

Dengan Mbak Seva. Sahabat sekaligus senior Salsha saat di kampus. Bahkan Salshapun turut hadir dipernikahan keduanya yang digelar dua tahun lalu.

Memikirkan Mbak Seva, Salsha kembali mendesah.


***


Ya, di sini dirinya berakhir.


Kembali ke warteg tempat biasa dirinya makan siang dan kembali ditemani perempuan berhijab dengan senyum manisnya itu.

Di awal, Salsha sudah menceritakan keadaan Nia yang kemarin pingsan. Sampai vonis dokter yang mengharuskan adiknya itu operasi.

Dan Seva mengangguk simpati sambil menggenggam tangannya berusaha menguatkan.

"Pilihan lo udah tepat, Cha," ucap Seva dengan senyum menenangkan. "Lo hanya harus nikah sama Mas Abhi dan mengandung anaknya. Dan Nia bisa berobat maksimal."

Tapi, Salsha masih bimbang. "Apa ... Pak Abhi udah setuju sama rencana lo, Mbak?"

Seva masih setia dengan senyumnya. "Gue bakal bujuk. Daripada dia terus disodorin cewek-cewek nggak dikenal sama orang tuanya, lebih baik sama lo, kan? Gue percaya sama lo, Cha."

Percaya? Salsha tertawa sinis dalam hati. Tidak peduli seberapa cantik dan santunnya Mbak Seva, tapi Salsha masih merasa wanita didepannya ini gila. Bagaimana bisa dia berpikiran menyodorkan suaminya kepada dia hanya karena tidak mau melihat suaminya dipamerkan kepada wanita lain?

"Oke, gue bakal mengatur pertemuan setelah gue berhasil bujukin Mas Abhi."

Dan Salsha tentu merasa sama gilanya karena sudah menerima tawaran Mbak Seva.


***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


27 November 2020.


Second Wedding  [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang