***
Salsha sudah kembali ke kantor empat hari setelahnya. Duduk manis di kubikel mengerjakan apa yang yang tertunda setelah tadi dirinya banjir pelukan dan usapan ketabahan dari teman-teman kantor yang dekat dengannya.
Ya, tidak apa-apa. Dia sudah mencoba menerima. Menangisi kepergian adiknya terus menerus tidak akan membuat Nia bahagia di alam yang lain sana. Dia hanya perlu mendoakan, mengenang dan merelakannya. Seperti yang dikatakan Pak Abhi.
Ah, bicara tentang lelaki itu, apa dia belum datang? Kepala Salsha menoleh ke arah pintu yang tertutup rapat, pintu di mana ada ruang kerja milik Abhi di baliknya.
Setelah malam kejadian di pantri waktu itu, Abhi masih tetap menginap di apartemennya setiap malam. Bersama Endra dan juga Seva yang turut serta.
Mengenai perjanjian, seperti yang Salsha ataupun Abhi duga, tentu Seva tidak akan melepaskannya begitu saja. Tetap memohon meminta bantuan yang kali ini dengan dalih sudah terlanjur dan tidak dapat dibatalkan lagi.
Salsha dan Abhi sudah menikah, dan akan sangat repot jika mereka memutuskan bercerai dan mencarikan Abhi perempuan lain untuk dinikahi lagi. Salsha masih ingat ekspresi keruh Abhi saat Seva mengatakan itu di depannya. Tentu pria itu merasa terhina dan tidak berharga.
Dan merasakan aura hitam yang menguar dari tubuh atasannya, Salsha segera mengiyakan. Toh, dia juga harus membayar tuntas hutangnya atas pengobatan Nia. Dan yang paling penting ... Dia tidak mau Abhi dipaksa menikah dengan perempuan lain, lagi.
"Liatin apa, Mbak?" Suara Cici menginterupsi.
Salsha segera mengalihkan pandang dari pintu kerja Abhi. Balik menatap layar laptopnya yang terbuka. "Nggak liatin apa-apa."
Sebenarnya ke mana pria itu? Setelah pagi biasanya dia selalu melihatnya menyeduh kopi di ruang tamu apartemennya bersama Endra sebelum berangkat kerja, hari ini dia belum melihatnya sama sekali. Hanya ada Seva yang berkutat di dapur menyiapkan sarapan, juga Endra yang duduk di pantri menunggu. Salsha belum melihat Abhi sama sekali pagi ini.
Padahal ... Ada yang ingin Salsha sampaikan. Penting. Sangat penting.
Kemudian matanya langsung membola begitu lift berdenting dan menampilkan sosok yang dicarinya. Suaminya, ah bukan, atasannya itu datang dengan kemeja putih tanpa dasi dengan jas yang menyelimutinya seperti biasa.
Dan Salsha hampir saja loncat dari kursi dan menghampiri seandainya tidak ingat jika dirinya sekarang masih berada di kantor, tidak seharusnya dia langsung menghampiri pria itu tanpa menimbulkan kecurigaan.
Maka dari itu, saat mata keduanya tidak sengaja bertemu, Salsha langsung mengalihkan tatapannya pada laptop. Berpura-pura tidak melihat apa-apa.
Namun segera setelah pria itu hilang di balik pintu ruang kerjanya, Salsha segera meraih ponsel, mengentikkan pesan di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Wedding [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] *** Menurut Salsha, hal yang paling berharga setelah dia kehilangan harta, warisan, atau bahkan orang tuanya adalah Nia. Adik semata wayang dan juga keluarga satu-satunya yang dia miliki. Saat usianya 20, kehidupannya jungkir b...