Jika; 34

5.7K 827 147
                                    

Second Wedding | 34

***

“Aku nggak nyangka Mama bisa masak juga,” kataku sambil menopang dagu di meja pantri mengamati Mama mertuaku yang sibuk memecah telur.

Dibantu beberapa pelayan, beliau bilang ingin memamerkan keahliannya membuat telur gulung yang kata Papa Bhakti rasanya juara itu.

“Mama mau masak itu sesuatu yang langka, Cha. Terakhir saya cobain telur gulungnya waktu dia hamil Ranis terus saya ngidam masakannya.” Papa Bhakti yang duduk di sampingku menjelaskan.

Ini baru pukul delapan malam, tadi saat menonton TV aku mengeluh kelaparan dan menu makan yang disiapkan pelayan (berupa sup daging sapi) ternyata tidak bisa diterima oleh perutku. Jangankan menelannya, mencium aromanya saja rasanya mau muntah.

Dan dari situ Mama Riana berinisiatif memasak, alih-alih menyuruh pelayan. Katanya, cucu tersayangnya harus bisa membedakan masakan sang nenek.

Aku, sih senang-senang saja diperlakukan spesial begitu. Kapan lagi coba, sosialita elegan istri konglomerat ternama mau repot-repit masak padahal aku nggak lagi ngidam sama sekali?

“Wah, tumben lihat Mama berkawan sama teflon.” Suara Mas Edwyn menyahut. Dia menarik kursi stool dan duduk di sebelahku. Jadi posisinya itu aku di tengah, di antara Papa Bhakti dan Mas Edwyn.

“Kalau kamu mau, masak sendiri.” Mama Riana yang membelakangi kami dengan apron bunga-bunga yang pernah dipakai Mas Abhi menjawab.

Aku geli saat melihat ekspresi Mas Edwyn yang cemberut. Sangat tidak cocok dengan wajahnya yang mulai ditumbuhi jambang-jambang halus. “Sekali-kali, Ma. Aku nggak ingat kapan terakhir kali makan masakan Mama.”

“Itu karena kamu jarang di rumah. Papamu juga protes barusan.”

Suara kekehan Papa Bhakti terdengar. “Jadi, mulai sekarang kita harus sering-sering di rumah, Wyn, biar Mama semangat masak. Apa lagi ada Cacha.”

Mama Riana mendengus. “Edwyn kan, bisa minta masakin pacarnya.”

Mas Edwyn yang sedang meneguk air putih tersedak. “Pacarku kan, nggak bisa masak, Ma.”

Aku mengulum senyum. Keluarga ini tidaklah sedingin yang aku kira. Meski awalnya aku menduga begitu, tapi ternyata kehangatannya tidak kalah dengan keluargaku dulu.

***

Pukul sembilan malam, Mas Abhi belum pulang sejak dia pergi siang tadi untuk menyelesaikan urusannya dengan Mbak Seva.

Aku tidak tahu sepelik apa masalah yang mereka berdua alami, tapi aku juga selalu berharap sepelik apapun itu, segera menemukan penyelesaian.

Meskipun, aku sedikit takut jika akhirnya mereka membatalkan keputusan cerai dan memilih bersama. Lalu ... Bagaimana dengan aku?

Dan untungnya, di saat aku kalut dengan isi kepalaku sendiri, pintu kamar itu terbuka. Menampilkan sosok yang beberapa saat ini aku tunggu-tunggu masuk dengan wajah lelah dan langkah kuyu. Apa yang terjadi? Apa penyelesaian mereka tidak berjalan lancar?

Aku yang awalnya duduk di tepi ranjang langsung bangun begitu melihat dia mendekat. Aku khawatir.

Saat hendak membuka mulut hendak bertanya, dia meraih bahuku dan wajahnya tenggelam di leherku.

“Aku habis dari Bandung,” katanya menggumam. Aku mengangkat tanganku untuk mengelus punggungnya, memberi isyarat bahwa aku mendengar keluh kesahnya. “Ketemu Juwi dan memang keadaannya separah itu.”

Keningku mengernyit. “Juwi?” Aku baru mendengar nama itu.

“Anak perempuan Sevanya yang selama ini disembunyikan dari aku.”

Second Wedding  [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang