Jika; 18

5.1K 667 16
                                    

SALSHA

***

"Apa saya bilang? Akibat kamu yang selalu bodoh dan keras kepala, kamu bisa saja membunuh janinmu sendiri."

Omelan Ibu Riana adalah hal pertama yang aku dengar setelah menginjakkan kaki di ri lantai ruang tamu. Pria paruh baya yang wajahnya menolak tua itu sudah menunggu di kursi tunggal sambil melipat kaki. Aku meringis melihat wajah sinisnya.

"Besok dia nggak aku izinin ke kantor lagi, Ma." Pak Abhi yang menjawab. Dia ikut pulang bersamaku ke rumah orangtuanya setelah keadaan kantor mulai sepi.

Aku bisa melihat Mama mertuaku dalam tanda kutip itu memutar bola mata. Namun kemudian mengangguk menyetujui perkataan putranya. Tatapannya kembali sinis saat matanya menangkapku sebelum melengos meninggalkan ruang tamu.

Yang bisa aku lakukan hanyalah menahan dongkol. Sepertinya tawaran Mbak Seva untuk tinggal di rumahnya patut ku pertimbangkan meskipun aku harus menjaga diri supaya tidak terjatuh dalam jerat pesona atasanku ini.

"Ayo ke kamar. Kamu butuh istirahat," katanya sebelum dengan lembut merangkul bahuku saat hendak menaiki tangga.

Bohong kalau aku tidak terbawa perasaan saat diperlakukan dengan lembut seperti ini, atau seperti biasanya. Para wanita, khususnya yang seperti aku, yang sudah lima tahun tidak pernah merasakan kasih sayang dari orangtua, tentu akan tersentuh saat seorang pria memperlakukanku dengan soft.

Bukan, aku bukan jatuh cinta atau apa. Ini hanya perasaan haru, atau sejenisnya. Lagi pula aku cukup tahu diri karena pastinya Pak Abhi memperlakukanku demikian hanya untuk menghormati istri serta ada janinnya di dalam tubuhku.

"Bapak nginap di sini?" tanyaku saat kami sudah berada di kamar dan melihat Pak Abhi menutup pintu.

Lelaki itu tersenyum tipis kemudian berjalan mendekat, sebelum menghempaskan tubuhnya yang masih terbalut kemeja kusut ke atas kasur dengan kaki menjuntai ke lantai karena dia belum melepas sepatunya. Dalam diam aku bisa mendengarnya bergumam. "Saya kangen."

Jantungku berdegup dengan tiba-tiba. Aku menatapnya dengan mata mengerjap.

Pak Abhi bangkit, menatapku masih dengan senyumnya. "Kangen tidur di kamar ini," lanjutnya.

Ooh, aku kira apa.

Segera aku memalingkan wajah kemudian berjalan menuju lemari. Memanggil beberapa helai baju. "Saya mandi dulu, kalau gitu." Kemudian aku masuk ke dalam kamar mandi dan masuk ke sana.

Dua puluh menit aku menghabiskan waktu untuk membersihkan diri. Aku keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut sepunggungku menggunakan handuk berjalan menuju meja kerja milik Pak Abhi yang kini sudah terisi beberapa skin care milikku di atasnya. Tidak ada kaca. Aku cukup membutuhkan kaca kecil yang sering aku bawa ke mana-mana.

"Salsha."

Pria itu memanggil ketika aku sedang menggulung celana piama yang aku pakai, bersiap mengoleskan lotion di sana. "Ya?"

"Kamu masih berhubungan dengan Endra?"

Gerakanku terhenti. Dengan alis mengernyit aku menoleh menatapnya yang masih berbaring dengan baju kerja yang belum diganti. Mendengar pertanyaannya, jawabanku hanya anggukan ragu. "Kenapa?"

"Ada telepon dari Endra," ucapnya. Aku meliriknya sekilas sambil menggosok kedua kakinya dengan lotion. Mata Pak Abhi tertumpu pada ponselku yang tergeletak di atas nakas di samping ranjang.

"Dua hari ini saya susah tidur. Biasanya ngobrol sama Endra." Mengoles lotion selesai, aku menuju ranjang dan memasukkan diri ke dalam selimut. Berusaha mengabaikan kerutan dalam di kening Pak Abhi. "Bapak nggak mandi?"

Pria itu menoleh seketika, "Kenapa nggak bilang kalau kamu sering susah tidur?" tanyanya lebih tepat disebut gumaman.

Aku ikut mengernyit.

"Seharusnya kamu kasih tau saya, saya ini suami kamu, Salsha. Kalau kamu lebih memilih menghubungi laki-laki lain, apa gunanya saya?"

Kenapa dia jadi marah-marah hanya karena aku mengangkat telepon dari Endra? "Bapak sibuk dua hari ini." Sibuk membujuk istrinya yang merajuk.

"Tapi emang harus Endra?"

Aku tidak mengerti kenapa pertanyaan itu terdengar begitu frustrasi. Memang apa masalahnya kalau Endra meneleponku tiap malam? Bukankah berlebihan kalau dia sampai melarangku untuk hal-hal yang terlalu personal? Hubungan kita tidak seintim itu untuk merasa cemburu satu sama lain, kan?

"Kenapa memang kalau Endra?" Aku balik bertanya. Menyebalkan rasanya saat mendapat tatapan penuh tuduhan seperti itu.

Aku bisa melihatnya memejamkan mata. Sedang menahan emosi, mungkin? Tapi kenapa?

"Saya nggak pengen dengar nama Endra lagi di antara kita."

"Kan Bapak yang nyebut duluan." Aku tidak terima disalahkan atas hal yang bukan aku yang memulainya.

"Saya nggak akan nyebut dia seandainya hp kamu nggak bunyi dan menampilkan nama Endra setiap waktu." Wajahnya berubah keruh.

Aku masih tidak mau kalah. "Lalu apa masalahnya? Toh saya juga nggak angkat teleponnya sekarang."

"Tapi malam-malam sebelumnya?"

Aku mendesah. Ini mulai menyebalkan. Kalau kami sama-sama keras kepala, niscaya perdebatan ini akan terus berlanjut sampai besok pagi. Untuk itu, aku menarik selimut dan merebahkan tubuh dengan sedikit kasar.

Sering kali aku lupa kalau aku tidak lagi sendirian di tubuh ini. Maka saat rasa keram itu datang, aku meringis. Mengelus perutku yang mengeras.

"Cha ...? Kenapa?" Suara dengan nada khawatir itu terdengar menyusul sentuhan lembut di bahu. Agaknya Pak Abhi mendengar suara rintihanku barusan.

Tanganku masih meremas baju bagian perut kala Pak Abhi menyibak selimut dan membalik tubuhku sehingga terlentang. Wajahnya tampak pucat sekaligus cemas.

"Sakit banget?"

Aku menggeleng. "Nggak terlalu. Cuma agak kencengan."

"Astaga ... Seharusnya saya emang nggak usah izinin kamu masuk kerja tadi pagi," katanya dengan mata tak lepas dari arah perutku.

"Bukan karena masuk kerja, ini gara-gara Bapak ngajakin saya debat padahal saya udah capek, tau." Tentu, tidak semudah itu menyalahkanku.

Kembali, pria itu mendesah frustasi. "Iya, oke, saya salah." Dia menyahut terima tidak terima. Aku tertawa dalam hati.

Lalu, tangkupan hangat telapak tangannya yang besar terasa di perutku. "Tapi beneran nggak apa-apa, kan?"

Aku kembali menggeleng.

Elusan lembut itu sampai ke dada hangatnya, membuat perutku rileks. Bayiku menyukai sentuhan ayahnya.

"Udah, Nak. Jangan tegang lagi, ya. Maafin kalau Ayah ceroboh." Kendati pria itu menyebutkan kata 'ayah', tapi matanya melirik ke arahku. Berniat menyindir atau bagaimana? "Baik-baik di dalam perut Ibu. Oke?"

Lalu, jantung di dalam rongga dadaku menghentak kuat saat Pak Abhi mendaratkan kecupan bertubi-tubi di atas perutku yang masih rata.

Aku memalingkan wajah, menyembunyikan wajahku yang bersemu merah.

Membiarkan ... Suamiku bercengkerama dengan anaknya.

***

Ada yang kangen?

Btw aku ada berita bagus, kalau Doctor Lover's akan segera tayang di Innovel mulai besok. Ayo, siapa yang masih kangen sama kisah Ken-Vivi bisa baca lengkap di sana, ada tambahan epilog dan bonus part juga lho hehehe. Ayo, cari akunku di; Vidiaeonni dan jangan lupa follow juga.

Love youuuuu.

Vidia,
25 April 2021.






Second Wedding  [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang