SALSHA
***
Asing.
Itu yang aku rasakan meski sudah dua hari terkurung dalam rumah mewah ini. Selama dua hari itu pula lelaki yang bertanggung jawab atas kehamilanku ini sama sekali tidak menampakan batang hidungnya.
Namun biarkan saja. Aku bukanlah tipe perempuan cengeng yang senang mengeluh meskipun masih dalam keadaan hamil seperti sekarang. Untung saja bayi di dalam perutku tidak rewel dan banyak mau. Tidak ada morning sickness, atau ngidam yang aneh-aneh.
Nah, berbicara mengenai terkurung dalam rumah mewah, Ibu Riana memasang pengawasan ketat melalui pelayan-pelayan yang mengatasi keperluanku. Aku tidak diizinkan melangkahkan kaki seincipun dari gerbang depan. Hanya duduk-duduk di taman belakang yang dikelola Pak Aryo dan Bu Mun. Sepasang suami istri yang biasa aku ajak mengobrol.
Kendati aku cukup akrab dengan kedua orang itu, tapi aku tetap tahu bahwa mereka tetap anak buah Ibu Riana dan selalu melaporkan setiap percakapanku kepada beliau. Ya, aku tidak masalah juga, sih. Toh selama ini aku tidak pernah berbicara yang aneh-aneh.
Namun, setenang apapun kehamilanku, tetap saja jiwa tidak tahu diriku merasa bosan. Terkurung dan tidak bisa menikmati dunia luar adalah mimpi buruk. Belum lagi aku ingin sekali bertemu Endra dan menceritakan segala keluh kesahku kepadanya. Tapi aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk itu. Hanya berhubungan lewat ponsel. Ngomong-ngoming, Endra selalu menghubungiku setiap malam.
Aku selalu berpikir disaat rasa bosan itu mendera seperti sekarang, bahwa kecerewetan Mbak Mugi dan Cici mungkin lebih baik daripada sendirian tanpa teman. Aku rindu suasana kantor. Meskipun kadang akan terasa hening karena sibuk dengan komputer masing-masing, tapi setidaknya aku tahu bahwa aku tidak sendirian.
Mendesah, aku memilih untuk kembali berbaring setelah selesai mandi. Dengan telapak tangan menyentuh perut, aku mengusapnya pelan. Tidak bisa menyembunyikan perasaan hangat yang tiba-tiba menyelusup ke dalam dada saat menyadari ada nyawa lain yang bersemayam di dalam perutku saat ini.
Aku tidak sendirian, ternyata.
Janin di dalam tubuhku ini akan selalu bersamaku setidaknya sampai sembilan bulan ke depan.
Mengenai Mbak Seva, dia tidak lagi menghubungiku. Entah masih marah, atau memilih abai, aku tidak tahu. Tapi aku menduga kalau ketidak hadiran Pak Abhi selama dua hari ini pasti ada hubungannya dengan kemarahan Mbak Seva.
Wajar saja. Memang seharusnya dialah orang pertama yang kami beritahu mengenai kehamilan ini. Bukan malah keluarga Subrata dan berakhir menjadikan aku layaknya tawanan.
Knop pintu yang diputar mengalihkanku dari lamunan sesaat. Aku bergerak untuk duduk saat sosok yang selama dua hari ini menghilang muncul dengan kemeja putih dan celana bahan, pakaian yang biasa dia pakai saat di kantor.
Mata yang terlihat sayu itu menatapku disertai senyum tipis yang tampak dipaksakan. Wajahnya terlihat lelah meski aku bisa melihat rambut hitamnya yang basah sehabis mandi.
Langkah itu perlahan mendekat, sebelum kemudian duduk di tepi kasur, menghadap aku yang kini menyandarkan punggung pada kepala ranjang.
"Sehat?" sapanya untuk kali pertama. Setelah lebih dekat, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana lingkaran hitam itu menghias di sekitar matanya. Juga jambang-jambang halus yang mulai membayang.
"Bayinya baik. Dia sama sekali nggak rewel." Pasti itu yang dia ingin tahu. Tidak mungkin dia penasaran dengan keadaanku pribadi, kan?
Kepala Pak Abhi mengangguk kecil. "Bagus kalau begitu." Dia bergumam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Wedding [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] *** Menurut Salsha, hal yang paling berharga setelah dia kehilangan harta, warisan, atau bahkan orang tuanya adalah Nia. Adik semata wayang dan juga keluarga satu-satunya yang dia miliki. Saat usianya 20, kehidupannya jungkir b...