***
Yang Sevanya ingat, sejak awal dia tidak pernah sekalipun terlihat akur atau merasa akur dengan sang mertua. Tidak tahu apa sebabnya, namun dari mereka menikah, tidak sekalipun Riana sudi tersenyum padanya. Hanya kesinisan dan dengusan kesal yang didapat saat mereka berhadapan.
Sevanya pertama kali bertemu dengan Abhi adalah saat empat tahun lalu. Di mana pria itu baru saja pulang dari Australia setelah lulus dari Monash University, dan bekerja menjadi direktur marketing di perusahaan make up milik kakaknya yang terkenal.
Keduanya terhubung melalui kerjasama bisnis di mana perusahaan Abhi menawarkan investasi terhadap butiknya.
Mereka akhirnya dekat, menjalin hubungan selama satu tahun sebelum memutuskan untuk menikah.
Tidak mudah untuk mencapai jenjang sakral itu karena kedua pihak keluarga tidak menyetujui. Meski akhirnya keluarga Seva luluh, namun tidak dengan keluarga Abhi yang sekeras batu. Seva sering merasa frustrasi jika mengingat mertuanya. Kata-kata pedas penuh hinaan selalu terlontar, belum makian serta kalimat rendahan yang kadang memakan hati.
Seva cukup sabar, awalnya. Sebelum semua itu hilang dan kemaran Seva sampai pada ujung di mana kalimat Riana tidak bisa dirinya terima lagi.
Adalah pada saat itu. Saat vonis sel telurnya mengalami infeksi dan tidak dapat dibuahi. Mertuanya itu datang di saat Seva sedang tidak ingin bertemu siapapun dan melakukan apapun selain menangis tersedu-sedu.
Riana muncul di pintu kamarnya yang saat itu tidak dikunci. Berjalan ke arahnya dengan dagu terangkat sombong. Sevanya ingat, senyum di bibir itu tampak meremehkan, seolah kejadian di mana Seva tidak bisa mengandung, sudah diduganya sejak lama.
"Saya sudah bilang, kan? Kamu itu dari awal memang tidak berguna. Setelah berhasil memperdaya anak saya, sekarang bahkan tidak bisa hamil?" Dia tersenyum sinis. "Lalu apa gunanya kalian meneruskan pernikahan ini kalau memberi hal sekecil keturunan aja kamu nggak bisa?"
Seva yang duduk di tepi ranjang memunggungi kedatangan Riana mengepalkan tangan di sisi tubuh. Air matanya bahkan belum kering, namun ibu mertuanya itu seolah sudah tidak bisa menunggu lagi untuk mencaci makinya.
"Seharusnya dari awal, saya dengan keras menentang pernikahan kalian. Pernikahan yang kamu paksakan, tetap akan bawa sial ke depannya."
Habis sudah kesabarannya. Sevanya segera berdiri. Dengan urat-urat menonjol di sekitar leher dan kening, dia menatap Riana tajam, tatapan yang belum pernah dia perlihatkan kepada mertuanya itu. "Aku nggak pernah sekalipun memaksakan pernikahan ini, Ma!"
Riana tersenyum tipis, namun matanya langsung berkilat. "Dengan meninggalkan suamimu yang buta itu demi menipu anak saya yang tidak tahu apa-apa?" Kepalanya mengangguk-angguk. "Tentu, suka rela sekali pernikahan berkat tipuanmu ini."
"Kalau gitu, katakan saja ke Mas Abhi! Aku udah nggak peduli lagi seandainya sekarang Mama mau membocorkannya! Mumpung aku udah hancur, ditambah kehancuran sekali lagi rasanya nggak masalah." Sevanya berteriak di sela tangisnya. Dia lelah sekali. Setiap saat diteror mertuanya dengan kata-kata yang begitu kejam. Setiap apa yang terlontar pasti akan mencabik hatinya sedemian rupa. Dia sudah tidak tahan.
Namun, atas semua ocehan itu, Riana justru menggeleng. Senyumnya masih belum luntur, seolah hatinya sama sekali tidak tergerak menyaksikan air mata serta kesedihan yang ada di wajah menantunya. "Saya pengin Abhi menyadari kebodohannya sendiri."
Dan setelah Riana pergi, Seva langsung berjongkok, menjambak rambutnya dengan kasar. Raungannya terdengar menyayat hati.
***
Wanita dengan gaun hitam bertali tipis itu berdiri di balkon kamarnya dengan gelas wine di tangan kanan. Wajah datarnya yang cantik tak termakan usia, menatap lurus ke arah pintu gerbang yang membuka saat satu Range Rover hitam hendak masuk ke dalam.
Dia menyesap wine nya dengan tenang.
Putra dan menantunya sudah kembali. Setelah dua hari rumahnya tampak sepi tanpa ada suara televisi yang biasa Salsha tonton.
Riana pemilik hati yang keras dan sulit berempati. Sejak kecil dia dididik layaknya ratu yang harus kuat tanpa bantuan siapapun. Tidak boleh lemah dan tidak boleh mudah terpedaya dan termanipulasi oleh orang-orang munafik di sekitarnya. Itu sebabnya dia jarang sekali menunjukan kelembutannya kepada orang lain.
Dia kira, Salsha akan seperti kebanyakan orang yang ketakutan jika berada di dekatnya. Namun tidak, perempuan itu memang nampak segan dan takut pada awalnya, namun dia tetap berani mendekat, meneminya menonton TV, menyapanya saat tidak sengaja berpas-pasan di dalam rumah meski berakhir diabaikan, menawarkan teh hangat di pagi hari namun tidak kunjung mendapat jawaban, apa lagi? Riana tidak ingat. Namun perhatian sekecil itu terasa sangat berharga di saat dia merasa haus akan perhatian anak-anaknya.
Salsha juga berbeda dengan Sevanya. Jauh berbeda. Keduanya sama-sama mendapati raut sinisnya, sama-sama dilempari kalimat pedasnya, sama-sama dicabik-cabik oleh Riana. Namun, jika Sevanya yang pada awalnya terus bersikap palsu dengan senyum yang Riana tahu hanya manipulatif belaka di balik kejengkelannya yang luar biasa, Salsha memilih memperlihatkan langsung ketidak sukaannya terhadap kekasaran Riana. Dia melengos, mendengus, berdecak, apapun itu jika sikap ibu mertuanya mulai kelewatan.
Dan yang pasti ... Salsha tidak mandul. Bahkan sebentar lagi dia akan memberinya seorang cucu. Riana tahu hanya tinggal menunggu waktu untuk Abhi menyadari perasaannya sendiri terhadap istri keduanya itu. Dan setelah itu ... Akan dia pastikan Sevanya lenyap dari hidup putranya saat itu juga.
Karena bagaimanapun ... Dia tidak sudi punya menantu yang pernah mengkhianati suaminya hanya demi menikah dengan pria kaya.
***
"Bapak nggak pulang? Mbak Seva nggak marah emang, Bapak ngintilin saya terus seharian ini?" Salsha berjalan ke cermin sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk. Dia melirik sosok lain yang menyandar di tepi ranjang namun belum menanggalkan jas kerjanya itu.
Abhi beranjak, menopang berat badannya dengan kedua siku, dia melihat Salsha dengan mata menyipit. "Kamu dari kemarin ngusir saya mulu. Kenapa, sih? Rumah, rumah saya."
Salsha memutar bola mata di tempatnya. "Kemarin waktu di apartemen saya tetep aja tuh, diusir nggak mau pulang. Nggak kangen Mbak Seva apa?"
Dengan kasar, pria itu kembali menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur. "Kangen. Tapi dia lagi nggak mood akhir-akhir ini. Saya deketin, tapi malah marah-marah." Salsha bisa melihat mata pria yang menerawang ke atas lewat pantulan kaca. Sebelum kemudian, kepala Abhi menoleh meliriknya. "Nanti kalau bad mood Sevanya udah ilang, saya pasti pulang kok, Cha." Dia terkekeh. "Kamu kayaknya risih banget kalau ada saya."
Dan kini, justru mood Salsha yang terjun bebas. Dia tidak tahu apa yang salah dari perkataan Abhi, atau mungkin kenyataan bahwa dia hanya dijadikan pilihan kedua di saat pilihan pertama tidak ada memang tidak mengenakan. Walau sampai kapanpun Salsha akan menjadi yang kedua. Mau sekarang, atau sampai kapanpun itu.
Salsha merasakan pundaknya disentuh hangat saat matanya tengah asyik menatap bayangan dirinya sendiri, kini bertambah sosok lain yang menunduk di belakangnya. Wajah pria itu tenggelam di bahunya, hingga Salsha hanya bisa melihat rambut hitamnya saja.
"Kamu pake sabun yang mirip aku? Wangimu sama kayak aku." Abhi berbisik dengan napas berat. Tidak peduli dengan si pemilik bahu yang dia endusi merasa merinding saat nada sensual keluar dari mulutnya.
Namun tidak. Salsha tidak akan tergoda bujuk rayu pria itu lagi karena masih kesal yang penyebabnya masih misteri.
Dia berbalik, menyebabkan Abhi mengangkat wajah sambil mengangkat alis saat menemukan wajah datar tanpa ekspresi milik istrinya.
"Sekarang, saya yang nggak mood. Jadi, Bapak bisa keluar juga?"
Kalau pria itu bisa pergi hanya karena Sevanya tidak dalam keadaan suasana hati yang baik, seharusnya terhadap Salsha, Abhi juga sama, kan?
***
Ceritakan dong adegan apa yang paling nggak bisa kalian lupa dari cerita ini?
Heheu.
Vidia,
20 Mei 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Wedding [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] *** Menurut Salsha, hal yang paling berharga setelah dia kehilangan harta, warisan, atau bahkan orang tuanya adalah Nia. Adik semata wayang dan juga keluarga satu-satunya yang dia miliki. Saat usianya 20, kehidupannya jungkir b...