Jika; 30

6.4K 822 96
                                    

Second Wedding | 30

***

Tengah malam entah pukul berapa, aku terbangun saat merasakan wajah seseorang menelusup masuk ke dalam sela-sela pundak dan leher ku. Wangi shamponya sama seperti wangi shampo milikku, dan hangat tubuhnya yang familiar.

Mataku mengerjap begitu merasakan napas hangat seseorang menerpa leherku.

“Bapak dari mana?” Aku tahu dia nggak pulang ke rumahnya selama tiga hari ini. Itu sebabnya tadi Mbak Seva bertindak nekat dengan membawaku pergi.

Pria yang masih memelukku, masih belum melepaskan setelan kerjanya menggumam, “Dari Bandung.”

Keningku mengernyit. “Ngapain?”

“Ada sesuatu yang harus aku urus,” jawabnya tanpa menjelaskan panjang lebar.

Suaranya yang terdengar enggan menjawab pertanyaan ku membuatku kesal. Aku hendak menyingkirkan lengannya yang membebat tubuhku, tapi dia justru mengeratkannya.

“Sebentar.” Nadanya memelas. “Aku kangen.”

Makin nggak jelas aja. Tapi aku tetap membiarkan wajahnya tenggelam dalam bahuku.

“Tadi Mbak Seva ke sini,” kataku setelah hening beberapa saat. Dia cuma ham hem aja. “Bapak sama sekali nggak pulang ke rumah dan kasih kabar Mbak Seva?”

Pria itu mendesah. “Bisa nggak, jangan bahas Seva dulu? Aku capek banget, Cha. Butuh banget disayang-sayang.”

“Ya kalau maunya disayang-sayang, Bapak seharusnya pulang. Minta elus-elus Mbak Seva.”

Terdengar decakan sebelum Pak Abhi mengangkat wajah. “Aku kan, juga kangen sama Dedek, Cha. Terus coba deh, nggak usah manggil Bapak-bapak lagi, emang aku bapak kamu apa?” Dia kembali merebahkan kepalanya di bahuku.

“Kalau yang panggil Bapak itu dianggap anak, berarti semua orang kantor jadi anak Pak Abhi, gitu?”

“Mereka kan, karyawanku. Sedangkan kamu istriku. Lagi pula, anak saya belum lahir.” Dia mengusap sekilas perutku yang mulai menjembul. Dia kembali mengangkat wajah. “Baru seminggu nggak dipegang, kok udah gede aja, ya?”

Aku mengedik. Sedikit heran juga sebenarnya karena kandunganku yang baru berumur sebulan sudah menunjukkan perkembangan pesat. Dan sepertinya Pak Abhi menyadarinya juga.

Dia bergerak menyingkap selimut yang menutup tubuhku sebelum kepalanya bergerak turun. Kemudian menempelkan telinganya pada perutku. Aku masih memperhatikannya saat dia bicara, “Ayah di sini.”

Tentu saja tidak ada jawaban dari perutku. Aku mengulum senyum melihatnya bicara sendiri seperti itu.

“Kayaknya ibumu makan banyak, ya, sampai kamu udah sebesar ini?” Dia terkekeh sebelum mendekatkan kepalanya lagi. Tidak tahu saja dia, kalau pagi hari makanan adalah hal yang paling susah untuk ku telan.

Dan hal yang memalukan terjadi, saat sedang sibuk bermonolog dengan perutku dengan dalih mengajak ngobrol si jabang bayi, perutku berbunyi. Cacing-cacing di dalam sana seolah tidak mau diajak kompromi untuk tidak membuatku malu.

Wajahku panas saat melihat kepala Pak Abhi terangkat dengan kening mengernyit. “Kamu lapar?”

Aku tidak menjawab karena saking malunya.

“Ayo. Kalau cuma nasi goreng dan telur dadar saya bisa.” Untungnya dia cukup peka untuk tidak membiarkan aku kelaparan.

Aku mengekor di belakangnya menuruni tangga berjalan menuju dapur. Sampai sana, aku duduk di stool bar sambil memperhatikannya masak. Aku nggak mau duduk di kursi makan lagi karena trauma mengingat perihal Pak Abhi menendang kursi.

Second Wedding  [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang