6. Kangen Kamu

475 97 33
                                    


= Banjarmasin, 2020 =

Yun merapikan tas. Beberapa barang sudah dimasukkan sedari semalam. Kendati begitu, saat akan berangkat, ia pastikan sekali lagi tidak ada barang yang tertinggal.

Ponsel, ada.

Buku kuliah, ada.

Dompet, ah.

Setiap melihat dompet, selalu ada perasaan ganjil. Memang benar, isinya pas-pasan. Meski cukup untuk biaya sehari-hari anak kuliahan, tapi siapa pun akan lebih senang bila memiliki uang lebih banyak. Paling tidak bila ada tas, sepatu, atau baju yang ingin dibeli tidak perlu mengumpulkan sisa uang jajan selama berbulan-bulan.

"Ada kuliah, Yun?" tanya Suryani, ibu angkatnya.

"Iya, Bu," jawab Yun singkat, meski kemudian segera diralat. "Oh, enggak. Saya mau ke perpus buat cari bahan tinjauan pustaka."

"Oh, iya. Kamu udah skripsi, ya," balas Suryani dengan senyum bangga. Mungkin karena telah mengasuh Yun selama bertahun-tahun dan akhirnya upaya itu sebentar lagi membuahkan hasil.

"Oh, iya. Kapan kakakmu datang buat kontrol?" tanya Suryani. "Jangan sampai terlambat. Nanti kambuh lagi, loh."

"Tanggal lima belas," jawab Yun lirih. Kakak satu-satunya itu sakit tak kunjung sembuh. Yun sampai kasihan pada neneknya yang telah renta, namun masih terbeban merawat cucu.

"Ya udah. Kamu fokus buat selesaikan skripsi, ya. Cari nilai yang bagus."

Yun mengangguk lalu menunduk. Dalam hati merasa malu karena beberapa mata kuliah nilainya pas-pasan. Lihat saja metodologi penelitian. Nilainya C. Rasanya ingin menangis. Sudah dibela-bela lembur belajar, tetap saja segitu hasilnya. Cepat-cepat ia keluar kamar karena takut Suryani menanyakan perkembangan bimbingan skripsi. Oh, tidaaak!

"S–saya berangkat, Bu," pamit Yun.

Walau keheranan dengan sikap terburu-buru tersebut, Suryani tersenyum. "Hati-hati, jangan ngebut."

"Iya, Bu!" sahut Yun dari teras.

Sepeda motor matik berumur sepuluh tahun pemberian Masdi, ayah angkatnya, melaju kencang menuju Banjarbaru, tempat kampus Fakultas Kesehatan Masyarakat Unversitas Lambung Mangkurat berada. Dari Banjarmasin di daerah Pal. 6, ia harus menempuh perjalanan sekitar setengah jam untuk sampai. Mula-mula cukup melelahkan, namun setelah hampir empat tahun dijalani, jarak tempuh itu tidak terasa berat lagi. Paling-paling bila hujan, agak sedikit menyiksa.

Sudah sekitar delapan tahun Yun hidup atas pertolongan orang tua asuh. Terhitung semenjak kedua orang tua berpisah, hidupnya terlunta. Sang ayah menikah lagi dengan janda beranak dua yang memiliki banyak sawah, tak lama setelah bercerai. Sekarang ia tinggal ikut istri baru di daerah Anjir, sekitar satu jam perjalanan dari rumah lama mereka di Basarang. Sedangkan ibunya lebih parah, menikah dengan pekerja kebun sawit yang sepuluh tahun lebih muda. Yun sampai tidak habis pikir, dari mana ibunya mengenal ayah tiri berondong itu. Mereka tinggal di base camp perkebunan di daerah pelosok Sampit. Cukup jauh dari rumah kakeknya, sekitar sepuluh jam perjalanan.

Yun masih merasakan sesak kendati peristiwa itu terjadi sembilan tahun yang lalu, saat usianya tiga belas. Ia tidak menyalahkan ibunya bila meminta cerai. Ayah kandungnya ringan tangan. Mudah sekali memukul atau menendang meski hanya bertengkar masalah kecil. Suatu malam, sang ayah yang berdarah Jawa itu menyebut ibunya lonte[1]. Yun tidak pernah mendengar istilah itu, tapi beberapa tahun kemudian, ia paham apa artinya. Yaitu setelah teman-teman sekelas mem-bully 'anak lonte'.

"Yun, kalau kamu lulus SMP nanti, Nenek tidak mungkin sekolahkan kamu lagi," ujar nenek yang mengasuhnya, ibu dari ibunya. "Habis lulus, kamu nikah saja sama anak dari RW 7. Namanya Radi. Mau, ya?"

Magamon InsafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang